Kaf tidak tahu kalau nona yang disebutnya Nona Titu adalah Nyala. Saat awal berdirinya Virtual Fake-action, ia pernah mengumpulkan timnya untuk membahas khusus tentang Nyala.
“Kalian boleh melayani tamu siapa pun. Tapi kalau ada tamu yang bernama Nyala, dan memilih avatar kalian. Kalian harus menolaknya,” jelas Kaf.
“Kenapa harus menolaknya?”
“Siapa Nyala?”
Kembara dan Elmo bicara nyaris bebarengan.
“Satu-satunya perempuan yang menolak Kaf,” ucap Payau dengan nada serius, tapi yang terdengar malah seperti ejekan. Kembara menahan cekikikan, hingga seluruh tubuhnya yang tambun bergoyang-goyang.
“Bukan urusan kalian. Pokoknya, kalian tolak. Biar aku yang jadi pemandunya.”
“Kalau saat yang bersamaan Bos juga sedang ada tamu? Dan kita semua harus menolaknya, bagaimana kalau ia pindah wisata, ke tempat lain?” tanya Elmo.
“Gak akan.”
“Gak akan apanya nih Kaf?” tanya Payau.
“Gak akan dia pindah tempat wisata lain. Mengerti semuanya?” Kaf memandangi ketiganya. Ketiganya mengangguk.
“Oke silahkan dilanjut…”
Kaf berjalan keluar ruangan. Elmo dan Kembara menatap Payau.
“Jadi Nyala itu siapa?”
“Bos tidak konsisten, dia melarang kita flirting, dia sendiri..”
Dari luar terdengar teriakan Kaf.
“Baca pasal kontrak kerja kalian! Membicarakan di belakang Bos, kena sangsi pemotongan gaji!”
&&&
Nyala tidak tahu apa yang ia rasakan. Antara kesal, marah, tapi juga menikmati. Sesorean di Pantai Pandawa membuat ia ingin melakukan perjalanan lainnya lagi. Nyala membuat list tempat mana saja yang ia ingin kunjungi. India justru tidak ada di list-nya. Karena Nyala ingin benar-benar ke sana. Bukan hanya imajinasinya saja yang berada ke sana. Dari sekian list yang ia buat, Nyala menetapkan kalau ia ingin ke Montmartre, Paris. Tempat lokasi karakter Amelie bekerja. Ia membayangkan berada di kafe tempat Amelie bekerja, komedi kuda putar, stasiun bawah tanahnya. Ya, Nyala mantap memilih Montmartre. Kini Nyala dihadapkan pada avatar yang akan dipilihnya. Apakah ia akan memilih Tarung? Nyala mencoba memikirkan tanpa emosi. Mungkin sebaiknya, ia tahu Kaf yang sesungguhnya seperti apa. Ia akan bikin ulah dan melihat bagaimana sikap Kaf menanganinya. Nyala lalu mengklik avatar Tarung.
&&&
Rue Lepic. Montmartre. Paris. Nyala dan Tarung berjalan di jalanan yang berjajar kafe dan toko. Mata Nyala berbinar-binar, saat ia melihat jajaran beberapa toko yang familiar, yang ia lihat di film Amelie. Nyala mempercepat langkahnya, Tarung mengikuti langkah cepat Nyala. Hingga mereka sampai di depan Café des deux Moulins. Kafe tempat karakter Amelie bekerja sebagai pramusaji. Nyala tampak tak sabar, mau masuk ke dalam kafe.
“Hei mau kemana Nona? Tidak bisa masuk,” cegah Tarung.
“Kenapa? Aku ingin melihat interior dalamnya…” kata Nyala, tak peduli tetap melangkah menuju pintu kafe. Tarung menghadangnya.
“Tidak bisa, karena tim kami tidak pernah masuk ke situ,” jelas Tarung.
“Aku tidak paham. Apa hubungannya?” ucap Nyala dengan pandangan tidak mengerti.
“Semua perjalanan virtual ini berdasarkan database kami. Tempat-tempat yang pernah kami kunjungi dan kami rekam. Kami tidak pernah masuk ke dalam kafe itu.”
“Kamu, melewatkan set Amelie? Film terbaik sepanjang masa??? Ini jalan-jalan virtual macam apa sih? Apa tidak cari tahu dulu, apa yang terbaik di Montmartre?!!” Kalimat itu nyaris keluar dari bibir Nyala. Hanya ia ingat, kalau ia adalah Titu. Menyebut nama Amelie sama saja bunuh diri, karena bisa dipastikan Tarung alias Kaf akan curiga.
“Tapi bisa dipotret dari luar kan?”
Nyala dengan gusar mengambil ponselnya, lalu mulai memotret kafe itu dari luar. Para pengunjung saat itu, ramainya minta ampun. Tanpa sepengetahuan Nyala, Kaf senyum-senyum sendiri. Karena begitu keluar dari dunia virtual ini, Nyala tidak akan mendapatkan foto apa pun di ponselnya. Setelah selesai memotret, Nyala berjalan meninggalkan Tarung. Tarung mengikuti dengan santai Nyala yang berjarak beberapa meter di depannya.
Nyala dan Tarung menelusuri Rue Lepic hingga sampai di Rue Ravignan Place Emile Goudeau. Semacam squares yang terdapat gedung Le Bateau Lavoir yang merupakan melting plot modern art di awal abad ke 20. Gedung itu tempat kerja juga tempat tinggal, sekaligus tempat lalu lalangnya; komposer, penulis, aktor hingga pelukis, salah satunya Amedeo Modigliani yang tinggal di situ. Di situ pula, Pablo Picasso menghasilkan salah satu karyanya yang legendaris Les Demoiselles d’Avignon. Tarung menuju etalase, yang tepat berada di bawah tulisan Le Bateau Lavoir. Di situ terdapat foto Modigliani, Picasso, replika lukisan karya, hingga buku-buku. Semuanya di masa yang sama. Tarung menjelaskan pada Nyala apa saja yang ia ketahui tentang bangunan itu juga para tokohnya. Nyala menatap ke dalam etalase dengan tatapan polosnya.
“Aku gak paham soal lukisan.”
Rasanya Tarung ingin berkata lebih keras, “Kamu kira aku ngerti!” Ternyata selama adegan virtual di Place Emilie Goudeau, Kaf yang duduk di kantornya, sesekali membaca ringkasannya dalam buku catatan, tentang sejarah lokasi itu! Kaf lalu meletakkan buku catatan. Kini ia memejamkan mata. Tampak lega.
Nyala berjalan ke tengah area squares, yang terhitung amat kecil itu. Suasana tidak begitu ramai. Nyala duduk dan menengadah menatap langit di antara jajaran horse chesnut tree. Lalu ia menatap sekeliling. Ada dua anak muda sedang bermain musik. Sepasang sepatu Nyala ikutan bergoyang. Tarung duduk di dekatnya.
“Apa yang membuat kamu ingin jalan-jalan ke Montmartre?”
“Paris romantis.”
“Lebih spesifiknya, kenapa Montmartre?”
“Apa semua tamu kamu, kamu tanyakan hal pribadi seperti ini?”
“Ini pertanyaan pribadi?” tanya Tarung keheranan.
“Ya. Karena setiap orang bisa jadi menjelajah ke suatu tempat, karena mimpinya, karena kenangannya. Karena suatu alasan. Itu sifatnya pribadi.”
“Oke maaf.”