Nyala berada di persimpangan. Nyala bercerita pada Debby tentang Virtual Fake-action dan avatar Tarung. Selama ini, Nyala tidak bercerita tentang jalan-jalan dunia mayanya, apalagi tentang Kaf. Nyala bercerita tanpa ada yang dikurangi atau dilebih-lebihkan. Termasuk tentang memakai kartu dan data Titu, dan ia masuk ke VF sebagai Titu. Debby mendengarkan semua cerita Nyala, tanpa menyela pembicaraan sedikit pun. Kecuali kalau ada bagian cerita yang ia tidak paham, ia baru bertanya. Setelah Nyala bercerita keseluruhan cerita. Kini giliran Debby yang berbicara.
“Dion ada di kehidupan nyata, Kaf ada di dunia maya. Apa pun alasannya, menurut aku Kaf tidak ada di kehidupan kamu, Nya. Ia eksis, kalau kamu login, masuk ke aplikasi itu. Ia tidak tahu kehidupan kamu yang sebenarnya…”
“Selama perjalanan itu, kami bukan hanya ngobrol tentang lokasi yang kami datangi. Kami bercerita tentang hal pribadi. Tentang Bapak, tentang Papahnya,” bantah Nyala.
“Tapi ingat, kamu masuk sebagai Titu. Yang ada di hadapannya sosok Titu. Bukan kamu, Nya.”
Nyala tersadar, ia tahu tentang itu, hanya saja…
“Kalau pun avatar Tarung atau Kaf, menatap kamu dengan tatapan yang tidak biasa, yang ada di kepalanya Titu. Bukan kamu,” jelas Debby menohok, “Kamu gak bisa membandingkan dua hal yang tidak setara. Aku bukannya pro Dion. Tapi itu kenyataannya,” tandas Debby.
Nyala tampak mau membantah, tapi tidak ada keluar pernyataan apa pun dari bibirnya.
“Kamu cerita ini semua, lalu minta pendapatku. Ini pendapatku. Lagipula sejak awal hubungan kamu sama Kaf jalannya sudah tidak bagus. Salah paham tentang foto, lanjut ke “satuhati” dan saat itu, kamu sudah memutuskan untuk tidak mau melanjutkan hubungan dengannya. Untuk apa kamu malah masuk ke aplikasi miliknya…kemudian main perasaan…”
Nyala terdiam, ia benar-benar kehilangan kata.
“Sudah malam Nya, kamu gak tidur?”
Nyala bangun dari tepi ranjang Debby, lalu melangkah ke pintu kamar. Perlahan, ia berbalik badan, menatap Debby.
“Kamu ingat, kamu bilang aku bukan asisten Dion.”
“Itu dua hal yang berbeda. Soal ini, kamu harusnya bisa memposisikan diri kamu sebagai pacar, bukan asisten yang mengurusi semua urusannya. Kamu komunikasikan sama Dion. Soal kamu merasa di persimpangan, kamu gak bisa membandingkan seseorang di dunia maya dan di dunia nyata.”
Nyala tersenyum tipis lalu melanjutkan melangkah ke arah pintu, lalu keluar kamar Debby. Debby hanya bisa menghela napas.
&&&
Nyala memikirkan pendapat Debby. Memang tidak pada tempatnya ia membandingkan seseorang di dunia nyata, dan yang lainnya di dunia maya. Apalagi yang berada di dunia maya, posisinya sebagai pemandu yang tentunya akan selalu bersikap sopan. Selain alasan penting lainnya, kalau Nyala merasa avatar Tarung menaruh perhatian, yang dilihatnya adalah Titu, bukan Nyala.
Nyala tidak lagi berkunjung ke VF. Ia mencoba menempatkan posisi kalau ia punya kekasih, Dion. Walau gencatan senjata antara Nyala dan Dion belum sepenuhnya terjadi. Entah mengapa Nyala merasa amarahnya belum juga hilang atas peristiwa di kuburan Ibuk. Mungkin tanpa sadar, Nyala merasa bersalah karena saat Ibuk meninggal, hubungannya dengan Ibuk belum sepenuhnya membaik. Hingga kalau ada yang “mencederai” Ibuk, maka kemarahannya berlipat ganda.
Titu heran karena selama beberapa waktu, Nyala tidak lagi meminjam kartunya untuk transfer jalan-jalan virtual di VF. Titu menelpon Nyala.
“Nya, kenapa gak pernah jalan-jalan virtual lagi?”
“Hmm.”
“Hmm apaan sih? Kamu masih marah, gara-gara ke Furano waktu itu?”
“Enggak…”
“Terus kenapa? Sudah gak penasaran sama avatar Tarung?”
“Aku rasa gak pada tempatnya sih, aku penasaran sama dia. Dia cuma eksis di dunia maya.”
“Heh, Kaf itu kan ada. Dia eksis lah…”
“Kalau pun dia eksis, dia kayaknya suka sama kamu Tu…”
“Ngaco…”
“Mungkin sikapnya memang begitu ke setiap perempuan. Mana kalau manggil pakai kata Nona lagi. Nona Titu…” ucap Nyala dengan nada sebal saat menyebut Nona Titu.
“Nya. Yang Kaf lihat, fisiknya memang aku. Tapi kan…kepribadiannya kamu. Beda banget lah kita berdua. Kamu kan mellow romantis agak-agak miris. Aku gak main perasaan, yang ada aku malah mempermainkan perasaan orang…”
“Laki-laki bukannya melihat fisik dulu ya?”
“Hmm, kebanyakan iya sih. Tapi bukan itu poinnya. Kalau kamu masih penasaran, lebih baik kamu tuntaskan rasa penasaran kamu…”
“Caranya?”
“Caranya? Ya…paling gak, jangan langsung menarik diri. Itu kan kesalahan kamu sewaktu sama Kaf di jodoh online. Begitu tahu dia orang yang maki kamu, langsung saja kamu tebas. Gak kasih Kaf kesempatan. Sekarang, kamu masih penasaran…”
Nyala diam saja.
“Jangan melakukan kesalahan yang sama dua kali, Nya.”
&&&
Nyala melamun menatap ke jalanan di sampingnya duduk Dion tengah mengemudi. Mereka telah memasuki kawasan kosan Nyala. Tiba-tiba…
“Nya…laundry aku gak lupa kan?”
“Ya ampun, lupa Yon. Tadi seharusnya makan siang sekalian aku ambil.”
Kebetulan tempat laundry Dion, berada tak jauh dari klinik Nyala.
“Haduh kamu gimana sih. Baju itu mau aku pakai besok.”
“Memang gak ada baju yang lain?”
“Gak, aku maunya pakai yang garis-garis biru itu. Ahh, kamu itu,” ucap Dion dengan mimik tak habis pikir. Kok begini saja bisa lupa.
“Ya sudah kita balik aja ke klinik.”
“Gak usah, kosan kamu sudah dekat,” ucap Dion dengan nada kesal.
Nyala mengerling ke Dion. Mobil berhenti di depan kosan Nyala. Nyala tidak juga beranjak turun dari mobil.
“Nya, bisa cepat turun gak? Aku harus balik ke laundry.”
“Maaf…”
“Bukan salah kamu. Namanya lupa,” ucap Dion mencoba tersenyum.
Nyala turun dari mobil. Mobil Dion langsung melaju. Nyala merasa dadanya sesak dan matanya mendadak panas.
Di rooftop Nyala duduk sambil menelpon Asti.