Nona Yang Ingin Ditemukan & Tuan Yang Lelah Mencari

Talu Bumi
Chapter #25

Ada yang Patah Ada yang Tumbuh

Nyala terkapar di ranjang kamarnya. Laptop dan kacamata VR nya tergeletak di dekatnya. Nyala memandang langit-langit. Ia menangis, sekaligus tertawa kecil. Nyala sendiri juga tak paham, mengapa saat sedang bahagia seperti ini ia mesti menangis sekaligus tertawa. Nyala bangun dari posisi telentang, lalu duduk. Ia mengecek ponselnya. Ada pesan masuk dari Dion. Nyala membacanya; “Nyala, bisa ketemuan? Ada yang mau aku bicarakan.” Dan ada pesan dari nomer yang belum ia simpan “Akhirnya, aku bisa dapat nomer ini, makasih ya. Kaf.”

Nyala menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Kali ini dengan ekspresi bimbang.

&&&

Nyala berhadapan dengan Debby duduk di kursi meja makan. Mereka tengah mengadakan meeting zoom dengan Asti, Belinda dan Ira yang berada di lain tempat.

“Nya, beneran ya. Kamu hutang cerita sama aku. Terakhir aku di kosan, kamu masih cupu, sekarang bingung hadapi dua laki-laki…” pekik Ira.

“Tiga! Bukan dua. Satu lagi temannya Cak Am. Namanya Heru,” ralat Belinda.

“Empat sebenarnya, ada yang namanya Erwan,” tambah Debby.

“Luar biasaaa!” teriak Ira.

“Bisa gak nih, diatur lalu lintasnya? Semrawut begini? Siapa yang mau jadi moderator?” tanya Asti.

“Debby saja, ia yang paling update situasi terkini Nyala,” jelas Belinda.

“Oke, Deb, kamu moderator ya. Prolog kan sudah ada di grup WA.”

“Kita mulai nih ya…jadi teman-teman, seperti yang aku share di grup WA kita, Nyala lagi berada di persimpangan. Ia bisa dikatakan dalam posisi belum sepenuhnya putus dengan pacarnya Dion. Apa ya istilah paling tepatnya? Dalam posisi istirahat, bisa terus atau putus. Kemudian ada lelaki satunya lagi namanya Kaf, orang baru. Seperti yang Nyala ceritakan di grup. Aku sih cenderung ke Dion ya, karena sejak awal pertemuan Nyala dengan Kaf sudah ada konflik…” tutur Debby yang tiba-tiba dipotong Asti.

“Itu yang aku gak setuju! Awal konflik tapi dalam perjalanannya, Nyala merasa nyaman dengan Kaf,” ucap Asti.

“Pertanyaan aku cuma satu, untuk apa sih, kita sampai zoom segala?  Buat membantu Nyala bikin keputusan?” tanya Belinda.

“Intinya, aku pro Kaf, Debby pro Dion,” jelas Asti.

“Terus aku sama Ira diminta pendapatnya, pro ke siapa? Hei mbak-mbak, ini keputusan menyangkut hidup seseorang. Hidupnya Nyala, biar ia yang menentukan,” lantang Belinda berkata.

“Setuju. Susah sih lain generasi. Generasi milineal kayak kita beda Bel, sama generasinya Mbak Asti sama Debby…” dukung Ira.

“Loh kok jadi aku yang disalahkan sih?” bela Asti, “Ini yang inisiatif ajak zoom-an itu siapa? Nya, ngomong! Diam saja.”

“Jadi, bagaimana nih? Agenda kita hari ini kan bahas tentang Nyala,” tanya Debby.

“Nya, kamu masih butuh pendapat aku sama Ira? Bagaimana kalau aku setuju sama Mbak Asti, Ira setuju sama Debby? Deadlock lagi,” ujar Belinda.

“Apa pun yang kalian omongkan hari ini, gak akan menggoyahkan keputusan aku sih..” jawab Nyala.

“Kalau begitu, ya gak perlu lah kita sampai ketemuan via zoom begini..” kata Belinda jengkel.

“Ya sudah, kita ngobrol saja. Update terkini. Grup WA kita juga jarang aktifkan,” ucap Ira. Semua sepakat.

Percakapan via zoom itu ramai dan lalu lalang pembicaraan tidak terkontrol. Nyala ikut larut di dalamnya, tapi dalam kepalanya bertumpuk banyak hal.

&&&

Entah mengapa semakin ke sini, Nyala melihat Dion menjadi mirip dengan Bapak. Bukan secara fisik. Walau keduanya sama-sama punya pesona. Tapi lebih kepada keduanya menikmati mendapatkan perhatian. Bapak pernah bercanda, kenapa ia memilih Ibuk. Karena Ibuk amat intens memberikannya perhatian. Hal ini pula yang tanpa sadar, Nyala lakukan kepada Dion. Dengan Nyala, kehidupan Dion menjadi lebih ringan. Nyala mengambil alih banyak hal. Nyala membereskan banyak hal. Kini Nyala merasa ia menjadi mirip Ibuk. Selalu memberi. Tapi bedanya, ia tak mau bernasib seperti Ibuk.

Kaf amat berbeda dengan Dion. Saat Nyala menyatakan ia suka menonton film Amelie, Kaf langsung menontonnya tanpa diminta. Kaf selalu ingin tahu apa yang dimaui Nyala. Dion tidak pernah melakukan hal itu. Kaf bisa menebak kalau sosok Titu adalah Nyala, hanya berdasarkan beberapa kejadian. Kaf pengamat yang detil, ia bukan cenayang. Tapi lebih dari itu, Kaf amat kukuh dengan keyakinannya. Ia meyakini kalau sosok Titu adalah Nyala. Karena Kaf meyakini, suatu saat Nyala akan kembali.

Nyala hanya perempuan yang ingin dicintai. Dan Kaf memberikan itu.

Sore itu, Nyala dan Dion duduk dalam sebuah kafe. Mereka duduk berhadapan, terhalang kaca bening bermotif bunga dan burung. Motifnya samar, namun indah.

“Ada yang mau aku katakan,” kata Dion.

“Aku juga mau mengatakan sesuatu,” kata Nyala.

“Ya sudah kamu duluan.”

“Kamu.”

“Kamu.”

Keduanya terdiam, canggung.

“Oke, aku mau membicarakan tentang hubungan kita.” Nyala merasa tenggorokannya tiba-tiba kering.

“Yon. Aku jatuh cinta sama kamu sejak lama. Kamu tahu itu. Aku pikir dengan aku mencintai kamu sejak lama, akan memudahkan aku. Tapi ternyata tidak. Mungkin karena jatuh cinta sama kamu sejak lama, di kepalaku telah terbentuk, bagaimana seharusnya hubungan kita. Ekspetasiku terlalu tinggi. Mungkin karena aku terlalu lama berdiam di dunia mimpi. Ternyata kemyataan tidak seperti dalam impian. Jatuh cinta sama kamu seperti menonton film klasik yang tata cahayanya cantik. Semuanya terlihat sempurna. Padahal tidak ada jatuh cinta yang sempurna. Aku memilih berhenti, karena impianku telah memakan semua kenyataan yang sebenarnya baik-baik saja. Aku jatuh cinta pada impianku sendiri. Dan ini gak adil buat kamu…”

Lihat selengkapnya