AKU baru berusia empat belas tahun ketika dunia mulai runtuh.
Batavia dulu adalah dunia kecilku yang sempurna, meski bagi orang lain mungkin kota ini tak lebih dari tempat pelarian kaum miskin dan pedagang kelas dua. Bagiku, Batavia adalah tempat di mana matahari selalu terbit dengan warna keemasan, mengintip dari sela-sela gedung kolonial yang megah. Di Senen, aku biasa berdiri di gang kecil, di belakang rumah sewa kami yang reyot, memandang gedung-gedung tinggi milik orang Eropa dan membayangkan suatu hari nanti aku bekerja di sana. Berpakaian rapi, duduk di balik meja kayu jati, mengetik surat-surat penting. Setidaknya, itulah mimpi-mimpi kecil yang kubangun di sela hiruk-pikuk pasar dan suara riuh tawa anak-anak di gang kami.
Ayahku seorang buruh pelabuhan di Tanjung Priok. Dia bukan pria yang banyak bicara, tapi selalu pulang dengan senyum lelah, seolah menyimpan semua beban dunia di bahunya. Meski begitu, di mataku dia seorang pahlawan. Tiap kali pulang membawa hasil kerjanya, meski sekadar sebungkus nasi dan tempe, dia melangkah dengan percaya diri. Kami tidak pernah kaya, tapi kami tidak pernah kelaparan. Sampai krisis itu datang.
Aku tak mengerti pada awalnya. Bagaimana mungkin sesuatu yang terjadi jauh di negeri asing, di tempat-tempat yang hanya kutahu dari cerita dan buku-buku sekolah, bisa menghancurkan hidup kami di sini? Ayah pulang dengan wajah murung, kali ini tanpa senyum. Dia tidak bicara selama berhari-hari, hanya duduk di sudut rumah, memandang ke lantai. Ibu juga tidak banyak bicara, meski aku tahu dari sorot matanya bahwa sesuatu yang besar dan mengerikan sedang terjadi. Tapi tak ada yang memberi tahu aku apa.
Lalu hari itu tiba. Ayah pulang lebih awal dari biasanya, berjalan pelan, seolah kakinya berat. Aku tahu ada sesuatu yang salah.
"Kami tidak bisa bekerja lagi," katanya singkat.
"Pelabuhan tutup."
Hanya itu. Tak ada penjelasan lebih lanjut. Tak ada harapan.
Malam itu, aku mendengar ibu menangis. Ayah duduk diam di dekat jendela, memandangi kegelapan di luar, seolah mencari sesuatu yang hilang. Dan saat itulah aku tahu, hidup kami tak akan pernah sama lagi.
Pelabuhan Tanjung Priok, tempat ayah menghabiskan seluruh hidupnya, kini tak lebih dari kuburan kapal-kapal yang tak lagi berlayar. Perdagangan berhenti. Tak ada kapal yang datang, tak ada barang yang perlu dibongkar. Dan dengan itu, harapan kami untuk terus hidup ikut tenggelam. Aku tak mengerti sepenuhnya, tapi aku tahu kami semakin sering makan hanya dengan nasi dan garam. Kadang-kadang tak ada garam.
Satu demi satu, teman-temanku di gang kecil itu berhenti datang. Mereka ikut menghilang, seperti kapal-kapal di pelabuhan yang tak pernah kembali. Beberapa keluarga pindah ke kampung-kampung jauh di luar Batavia, mencari cara lain untuk bertahan hidup. Kami, yang tetap tinggal, hanya bisa menunggu. Menunggu sesuatu yang tak pernah dijanjikan. Menunggu keajaiban yang tidak pernah datang.
Aku berhenti memandang gedung-gedung tinggi itu. Mimpi tentang bekerja di kantor megah mulai pudar, seiring dengan mimpi ayah yang hancur. Kini, Batavia bukan lagi kota yang penuh cahaya bagi seorang anak perempuan seperti aku. Batavia berubah menjadi tempat di mana mimpi-mimpi datang untuk mati.
Ibuku dulu adalah perempuan yang menjaga harga dirinya seperti emas. Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan harga diri, waktu itu. Bagiku, harga diri ibu terletak di cara dia menyisir rambut panjangnya setiap pagi, di ujung jarinya yang lincah menyiapkan sarapan, dan di senyumnya yang tenang saat kami duduk bersama di meja makan, meski hanya dengan nasi putih dan tempe goreng. Bagiku, harga diri ibu adalah ketenangan dalam menghadapi kekurangan, seolah dia selalu punya cara untuk membuat segala sesuatu terasa cukup.
Tapi semua berubah. Perlahan, ibuku yang dulu tidak lagi tampak di hadapanku. Setelah ayah kehilangan pekerjaannya di pelabuhan, suasana rumah menjadi lebih senyap. Seolah-olah kehidupan yang dulu mengalir seperti arus sungai, kini berubah menjadi danau mati, tenang tapi dalam, menahan kesedihan di dasar air yang tak pernah terlihat. Ibu mulai sering pergi di malam hari. Tanpa kata, tanpa isyarat. Aku ingat, pertama kali dia pergi, aku tak menanyakannya. Mungkin karena aku tahu, ada hal-hal yang lebih baik tidak ditanyakan, bahkan pada usia empat belas tahun.
Dia pulang larut malam, ketika aku sudah berbaring di atas dipan kayu yang kami miliki. Aku tidak tidur. Aku menunggu di dalam gelap, mendengarkan derit langkahnya saat dia membuka pintu depan. Saat itu, aku tidak tahu apa yang dia lakukan di luar sana. Yang kutahu, dia membawa pulang uang. Uang yang membuat kami bisa makan lebih dari sekadar nasi dan garam. Uang yang membuat kami bisa membeli sedikit ikan asin, atau tahu. Tapi setiap kali ibu pulang, wajahnya berubah. Dia tidak lagi tersenyum seperti dulu. Kadang-kadang, dia hanya duduk di pojok rumah, membasuh kakinya dengan perlahan, menunduk seolah-olah sedang menghapus sesuatu yang tak bisa kulihat.
Lama-kelamaan, ibu semakin sering pergi. Semakin larut pulang. Tubuhnya yang dulu tampak tegar kini mulai lunglai. Aku melihat tanda-tandanya, tapi aku tidak berani bertanya. Mungkin karena aku takut akan jawabannya. Mungkin karena aku sudah bisa merasakan kebenarannya, meski belum memahami sepenuhnya. Di balik pakaian yang mulai lusuh, di balik senyumnya yang semakin pudar, ibu menjual sesuatu yang lebih dari sekadar tenaga.
Aku tidak tahu bagaimana semua ini dimulai. Mungkin ibu tidak pernah berniat untuk melangkah sejauh itu. Mungkin keputusasaanlah yang akhirnya menyeretnya. Tapi aku tahu, ketika ayah berhenti membawa uang ke rumah, ibu merasa dia harus mengambil alih. Dan di Batavia yang dilanda krisis, pilihan untuk perempuan seperti kami sangat terbatas. Kami tidak punya pendidikan, tidak punya keterampilan khusus. Kami hanya punya tubuh.
Setiap kali ibu pergi, aku terjebak dalam kebisuan yang panjang. Aku hanya bisa menatap langit-langit rumah kami yang rendah, mendengarkan suara tikus-tikus yang berlari di atas atap. Aku berbaring di dipan kayu, mendengarkan suara derak kayu tua di bawah tubuhku, sambil berharap ibu segera pulang dengan selamat. Di setiap langkah yang kudengar dari jauh, jantungku berdetak kencang, berharap itu adalah ibu. Tapi dia selalu pulang terlalu larut, dengan mata merah dan wajah lelah yang tak pernah dia jelaskan.
Aku pernah menangkap ibu menangis dalam diam. Suatu malam, ketika dia pulang dan mengira aku sudah tidur, aku mendengarnya terisak. Aku tidak berani bergerak, tidak berani membuat suara apa pun. Hanya bisa berbaring kaku di atas dipan, berpura-pura tertidur. Air matanya tumpah dalam kesunyian malam, dan aku hanya bisa mendengarkan tanpa tahu harus berbuat apa. Itu adalah malam-malam ketika aku mulai mengerti bahwa dunia ini tidak ramah pada perempuan yang tak punya apa-apa, kecuali harga diri yang mulai tergerus oleh kebutuhan hidup.
Tapi meski begitu, ibu selalu berusaha menyembunyikan semua itu dariku. Ketika pagi tiba, dia akan kembali ke perannya seperti biasa. Menyisir rambutnya dengan rapi, menyiapkan sarapan dengan tangan yang tampak tenang, meskipun aku tahu di balik ketenangan itu ada kelelahan yang mendalam. Kadang-kadang aku ingin bertanya, "Ibu, apa yang sebenarnya kau lakukan di luar sana?" Tapi pertanyaan itu tak pernah terucap. Mungkin karena aku takut mengonfirmasi sesuatu yang sudah kuketahui. Mungkin karena aku tahu, ibu akan melakukan apa pun untuk membuat kami tetap hidup. Dan aku tidak ingin menambah bebannya.
Ada malam-malam ketika ibu pulang dengan membawa makanan lebih dari biasanya. Sebungkus nasi dengan lauk sederhana, mungkin. Atau sepotong ikan asin yang dia beli di pasar malam. Dia akan memberikannya padaku dengan senyum tipis, seolah-olah semuanya baik-baik saja.
"Makanlah," katanya pelan, sambil mengusap rambutku. Aku makan tanpa bertanya dari mana makanan itu berasal, tanpa bertanya apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkannya. Kami hidup dari hari ke hari, dengan kenyataan yang tak pernah kami bicarakan.
Suatu malam, ibu kembali lebih larut dari biasanya. Wajahnya pucat, lebih dari biasanya. Aku pura-pura tidur seperti biasa, tapi kali ini aku merasa ada yang berbeda. Ibu duduk di sudut ruangan, memegang kakinya, memijat perlahan dengan tangan yang gemetar. Aku menatapnya dari celah kecil di antara kelopak mataku, melihat bagaimana air mata mengalir perlahan di pipinya. Di antara suara tangis yang tertahan, dia berbisik sendiri, kata-kata yang tak bisa kudengar jelas. Tapi aku tahu, itu bukan doa. Itu adalah keluhan, barangkali juga penyesalan. Saat itulah aku tahu, ibu telah terseret terlalu jauh dalam keadaan ini, dan tidak ada jalan kembali.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti bahwa ibu menjual dirinya untuk kami. Untuk aku. Aku ingin membencinya, tapi aku tidak bisa. Bagaimana mungkin aku membenci perempuan yang telah melakukan segalanya demi memastikan kami tetap hidup? Ibu adalah perempuan yang kuat, tapi bahkan kekuatan sebesar itu tidak mampu melawan kenyataan dunia yang kejam. Dia adalah korban dari situasi yang tak pernah dia minta, sama seperti aku yang terjebak di dalamnya.
Aku tidak tahu berapa lama ibu akan terus melakukan ini. Tapi satu hal yang kutahu pasti: aku tidak akan pernah melihatnya sama lagi. Ibuku, perempuan yang dulu menjaga harga dirinya seperti emas, telah terseret oleh keadaan, dan aku, anak perempuannya, harus belajar menerima kenyataan bahwa dunia ini tidak adil bagi perempuan seperti kami.
---
Suatu malam, ibu pulang lebih cepat dari biasanya. Aku duduk di sudut ruangan, mencoba mengikat rambut yang mulai memanjang seperti milik ibu dulu, tapi tak pernah sehalus itu lagi. Di tangannya, selembar uang lusuh yang tak banyak, tapi cukup untuk kami bertahan beberapa hari. Tatapannya berbeda malam itu—tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ada keheningan yang mengambang di antara kami, tebal dan berat. Dia menatapku dengan mata yang tampak mengisyaratkan sesuatu, mungkin sebuah keputusan yang telah lama dia timbang-timbang.
"Besok, kau ikut aku," katanya singkat, tanpa penjelasan lebih lanjut. Aku terdiam, mengangguk perlahan. Tidak ada gunanya bertanya. Dalam perut yang lapar dan baju yang semakin lusuh, pertanyaan tidak lagi punya tempat. Esoknya, aku dibawa ke tempat yang selama ini hanya ibu yang pergi. Tempat yang selalu menjadi misteri, ruang gelap di balik malam yang semakin panjang.
Aku masih terlalu muda untuk benar-benar mengerti, tapi terlalu miskin untuk bertanya. Dalam perjalanan itu, ada keheningan di antara kami. Ibu berjalan di depanku, langkahnya cepat, tegas, tapi ada sesuatu yang kurasakan mulai hilang dari dirinya—keteguhan yang dulu kukagumi, ketenangan yang dulu membuatku percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kami berjalan melintasi gang-gang kecil yang makin sepi, lampu-lampu jalan berkelip lemah, seperti cahaya yang hampir padam. Aku mengikuti ibu tanpa kata, mengintip dunia baru yang terbuka di depanku, penuh rahasia yang tak pernah kucoba pahami.
Ketika kami sampai di tujuan, tempat itu tidak seperti yang kubayangkan. Sebuah rumah besar tapi tak terawat, dengan cat yang mulai mengelupas dan jendela-jendela yang tampak enggan terbuka. Di luar, ada beberapa perempuan berdiri, wajah mereka terbingkai dalam cahaya remang-remang lampu jalan. Mereka tertawa, tapi tawanya terdengar kosong, seolah bukan mereka yang tertawa. Aku menatap ibu, tapi dia tidak membalas tatapanku. Hanya diam, langkahnya terus maju tanpa ragu.
Di dalam, aku mencium bau wangi yang tajam, tapi anehnya menyesakkan dada. Bau parfum murahan yang bercampur dengan asap rokok dan keringat, menciptakan atmosfer yang pekat, hampir memualkan. Aku menggenggam baju lusuhku erat-erat, merasa asing di tempat ini. Ibu melangkah ke seorang perempuan tua yang duduk di belakang meja kayu, tampak lelah tapi penuh wibawa. Mereka berbicara sebentar, suaranya lirih tapi tajam, dan aku tidak berusaha mendengarkan. Perempuan tua itu menatapku, seolah meniliku dari ujung rambut hingga kaki. Ada sesuatu di matanya—campuran antara simpati dan ketidakpedulian. Aku tahu, aku tidak istimewa di matanya. Hanya satu dari sekian banyak gadis yang dibawa ke sini.
Aku tidak paham sepenuhnya apa yang terjadi malam itu, tapi ada satu hal yang jelas: tubuhku bukan lagi milikku. Dunia yang selama ini kupikir keras, menjadi lebih kelam dari yang pernah kubayangkan. Di ruang itu, di bawah tatapan mata yang menilai, harga diriku ditimbang-timbang, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tatapan, sentuhan, dan tawaran yang terlalu rendah. Ibu berdiri di sampingku, diam, tak ada penjelasan, seolah-olah semua ini adalah sesuatu yang harus diterima begitu saja.
Ketika akhirnya aku dibawa ke ruangan yang lebih kecil, dingin dan lembab, aku tahu segalanya akan berubah. Perempuan yang menuntunku berkata bahwa ini hanya sementara, tapi aku tahu, dalam dunia ini tidak ada yang benar-benar sementara. Di tempat ini, setiap sentuhan, setiap pandangan, setiap tawaran adalah permanen—mereka meninggalkan jejak, meski tidak terlihat. Aku menatap ke cermin di pojok ruangan, melihat pantulan diriku yang mulai pudar. Gadis yang dulu memandang gedung-gedung tinggi Batavia dengan mimpi besar kini hanya melihat bayangan diri yang semakin kecil, semakin jauh dari dirinya sendiri.
Ketika malam semakin larut, pintu ruangan itu terbuka lagi. Seseorang masuk, seorang pria yang tak kukenal. Dia tak bicara banyak, hanya melepaskan jaketnya dan duduk di tepi ranjang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tapi tubuhku sudah tahu lebih dulu. Aku hanya diam, mengikuti gerakan yang seolah-olah sudah diprogramkan dalam diriku. Di momen itulah, aku merasakan sesuatu hilang dari diriku. Bukan hanya kepolosan, bukan hanya masa remaja, tapi juga sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang bahkan tak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
Malam itu, setelah semuanya selesai, aku terbaring di ranjang, merasakan kehangatan tubuh yang bukan milikku. Pria itu pergi tanpa sepatah kata, meninggalkan ruangan yang sunyi, hanya diisi dengan bau asap rokok yang memudar perlahan. Aku memandang langit-langit yang retak, berpikir tentang ibu, tentang keputusan berat yang membuatnya membawaku ke sini. Tentang pilihan yang mungkin sebenarnya bukan pilihan. Di dunia yang penuh keputusasaan, apa yang bisa diharapkan dari perempuan seperti kami selain bertahan?
Ketika aku kembali pulang bersama ibu, dunia di luar sana masih sama. Langit Batavia tetap kelabu, bangunan-bangunan tinggi tetap menjulang, tapi di dalam diriku, sesuatu telah berubah. Ada bagian dari diriku yang hilang, tertinggal di ruangan kecil itu, bersama pria yang tak pernah kutemui sebelumnya. Tapi meskipun aku kehilangan sesuatu, aku juga mendapatkan sesuatu—pemahaman bahwa harga diri, kehormatan, atau apa pun sebutannya, adalah hal yang bisa diperdagangkan. Dan dalam dunia seperti ini, di mana kami tidak punya apa-apa selain tubuh, harga diri bukan lagi barang yang tak ternilai.
Aku tidak menangis malam itu. Tidak ada air mata yang bisa keluar, karena kenyataannya terlalu dingin, terlalu keras untuk ditangisi. Aku hanya berbaring di dipan kayu, menunggu pagi tiba, menunggu ibu datang dan mengusap rambutku seperti biasanya. Tapi kali ini, aku tahu, sentuhannya tak akan lagi sama. Aku tak akan pernah lagi menjadi gadis kecil yang bisa berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi di luar sana.
Besoknya, aku kembali ke tempat itu, ke dunia baru yang mulai kuterima sebagai kenyataan. Aku tidak lagi bertanya-tanya, tidak lagi mencari penjelasan.
Ibu hanya berkata, "Kita butuh ini untuk bertahan," dan aku mengangguk. Pada hari itulah, tubuhku berhenti menjadi milikku, dan aku belajar bahwa dalam dunia yang penuh kelam ini, segala sesuatu bisa dijual, termasuk hal-hal yang dulu kupikir tak ternilai.
Waktu terus berlalu, dan aku semakin sering dibawa ke tempat itu. Aku semakin terbiasa dengan ruang kecil, dengan tatapan-tatapan pria asing, dengan harga diri yang ditimbang dan ditawar seperti barang dagangan di pasar. Batavia yang dulu terasa penuh cahaya, kini tenggelam dalam bayangan. Tapi aku tidak lagi peduli. Di dunia ini, hanya ada satu tujuan: bertahan. Dan untuk bertahan, kami harus rela menyerahkan sesuatu—entah tubuh, entah harga diri, entah mimpi-mimpi yang pernah kami bangun di dalam kepala.
Setiap kali aku pulang, ibu hanya menatapku sejenak, lalu kembali ke rutinitasnya. Tidak ada yang berubah, setidaknya di permukaan. Tapi kami berdua tahu, di bawah semua itu, dunia kami telah berubah selamanya.
---
Krisis ekonomi menjalar seperti wabah di Batavia. Bukan seperti wabah kolera yang datang dengan suara batuk dan demam tinggi, tetapi lebih halus—ia merembes ke dalam hidup kami, menjalar perlahan tanpa disadari, hingga suatu hari kami terbangun dan sadar bahwa dunia telah berubah. Dan perubahan itu tidak menguntungkan siapa pun, apalagi kami, perempuan-perempuan yang tak punya apa-apa selain tubuh dan harga diri yang kian tak berarti. Dunia yang dulu sudah keras, kini semakin tak adil. Setiap hari, aku melihat perempuan-perempuan muda sepertiku terpaksa keluar dari rumah-rumah kumuh, menyusuri jalan-jalan yang berdebu, menawarkan diri pada siapa saja yang bersedia membeli. Kami kehilangan segalanya—terutama harga diri.
Orang-orang di luar sana, yang hidupnya masih tergantung pada untung dan rugi, sibuk membicarakan tentang hal-hal besar yang tak pernah kami pahami sepenuhnya. Mereka bicara tentang uang yang tidak lagi ada, tentang pekerjaan yang hilang, tentang bagaimana kapal-kapal tak lagi datang ke pelabuhan. Tapi bagi kami, yang kecil dan tak pernah didengar, dunia ini tak pernah adil sejak awal. Bukan hanya uang yang hilang, tapi kesempatan untuk bertahan dengan bermartabat. Kami hanyalah angka di statistik yang tidak pernah tercatat, nama-nama yang tak pernah disebut. Kami hidup dalam bayang-bayang, bergerak tanpa suara, sementara dunia di luar terus berputar dengan gemuruh yang asing.
Batavia berubah. Kami juga. Jalan-jalan yang dulu hanya dilalui oleh pedagang dan kuli, kini dipenuhi oleh perempuan-perempuan yang terpaksa menukar tubuhnya untuk bisa makan. Malam-malam yang dulu sunyi, kini diisi dengan langkah kaki yang berat, mata yang lelah, dan bisikan tawar-menawar yang memalukan. Aku sering berdiri di tepi jalan, mengamati mereka. Perempuan-perempuan yang usianya tak jauh berbeda dariku, tapi dengan nasib yang lebih buruk atau mungkin sama saja. Beberapa dari mereka bahkan lebih muda, gadis-gadis belasan tahun yang matanya telah kehilangan cahaya, seolah dunia telah menghisap habis seluruh mimpinya. Kami semua tahu, di dunia yang seperti ini, tak ada lagi ruang untuk mimpi.
Aku tak pernah bertanya pada diri sendiri bagaimana aku bisa sampai di titik ini. Mungkin karena sejak kecil, aku tahu bahwa hidup ini tidak pernah menawarkan pilihan yang benar-benar bebas. Ketika aku mengikuti ibu ke tempat itu, aku sudah tahu, meskipun aku tak mengerti sepenuhnya. Batavia adalah kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi dan trotoar lebar, tetapi bagi kami, perempuan miskin yang hanya punya tubuh untuk dijual, kota ini tak lebih dari penjara yang tak terlihat. Di jalan-jalan sempit yang dipenuhi debu, kami adalah bayang-bayang. Orang-orang berjalan melewati kami tanpa melihat, atau mungkin sengaja berpura-pura tidak melihat. Karena melihat kami berarti mengakui bahwa ada ketidakadilan yang tak pernah mereka sentuh.
Setiap hari, aku mendengar bisikan orang-orang di pasar. Mereka bicara tentang harga-harga yang naik, tentang kebutuhan yang tak lagi bisa dipenuhi. Tapi bagiku, harga yang mereka bicarakan berbeda dengan harga yang kutanggung. Di setiap tawar-menawar yang kulakukan, harga diriku semakin murah, semakin bisa dinegosiasi. Dulu, aku berpikir harga diri adalah sesuatu yang tak ternilai. Sekarang, aku tahu bahwa itu hanya mitos yang diceritakan oleh mereka yang punya kemewahan untuk menolak kenyataan.
Krisis ekonomi menjalar, bukan hanya dalam bentuk angka di laporan pemerintah, tapi dalam bentuk wajah-wajah yang semakin tirus, mata-mata yang semakin dalam. Kami semua menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kami, tapi tanpa pernah benar-benar menjadi bagiannya. Aku tidak pernah dihitung, kecuali oleh pria-pria yang datang dengan uang lusuh di tangan mereka, menilai tubuhku seperti menilai barang dagangan di pasar.
"Kau masih muda," kata salah satu dari mereka, senyumnya mengerikan, "Kau masih laku." Aku tak tahu apakah itu pujian atau ancaman, tapi tak ada bedanya. Tubuhku sekarang adalah barang yang diperdagangkan, dan dunia ini adalah pasar yang tak pernah tutup.
Terkadang, di malam-malam yang sepi, aku mencoba mengingat seperti apa rasanya punya harapan. Dulu, sebelum semua ini terjadi, aku sering memimpikan sesuatu yang lebih. Aku ingin menjadi sesuatu yang berbeda dari ibu. Aku ingin belajar, bekerja, dan suatu hari mungkin bisa meninggalkan Batavia. Tapi mimpi-mimpi itu mati dengan cepat, terjebak di antara debu dan asap kota ini. Dalam gelapnya malam, aku tahu bahwa di dunia ini, kami bukanlah siapa-siapa. Kami tidak lebih dari bayang-bayang yang bergerak cepat, tanpa jejak, tanpa suara. Dan pada akhirnya, ketika semuanya berakhir, tak ada yang akan mengingat kami.
Orang-orang yang masih punya uang mungkin masih bisa memilih. Mereka bisa memutuskan apakah akan tinggal di rumah besar mereka, menunggu krisis berlalu, atau pergi ke tempat yang lebih aman. Tapi bagi kami, perempuan-perempuan yang tak punya apa-apa selain tubuh ini, tidak ada pilihan. Kami hanya bisa terus berjalan, mencari apa yang bisa kami tukarkan hari itu, bertahan satu hari lagi, berharap besok tidak lebih buruk dari hari ini.
Setiap kali aku keluar ke jalan, aku merasa dunia semakin menyempit di sekitarku. Ruang yang dulu terasa luas kini mengecil, menekan dari segala arah. Setiap langkah terasa lebih berat, setiap tarikan napas seperti menambah beban yang tak kasatmata. Aku sering melihat ke sekelilingku, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberikan sedikit rasa aman, tapi yang kutemukan hanyalah wajah-wajah lelah, sama seperti wajahku sendiri.
Di tempat-tempat gelap itu, di antara debu dan dinding-dinding lembab yang dipenuhi coretan, aku melihat sisa-sisa manusia yang terbuang. Kami adalah mereka yang tersingkir dari narasi besar dunia, mereka yang hidup di antara retakan dan celah. Tak ada yang peduli pada kami. Mereka bicara tentang angka-angka, statistik kemiskinan, tapi kami tak pernah menjadi bagian dari itu. Kami hidup, tapi seperti tidak pernah ada.
Kadang aku berpikir, apakah dunia ini memang diciptakan untuk tidak adil? Atau apakah ketidakadilan hanya terjadi karena orang-orang yang kuat memilih untuk tidak melihat yang lemah? Tapi di tengah-tengah debu jalanan Batavia, pertanyaan seperti itu tak punya tempat. Yang ada hanyalah bertahan hidup, satu hari demi satu hari, dengan harapan yang semakin tipis. Aku berjalan, terus berjalan, meski aku tahu, di dunia yang semakin gelap ini, aku tak punya tempat untuk berhenti.
Pada akhirnya, krisis ini tidak hanya mengubah dunia di luar, tapi juga dunia di dalam diriku. Harga diri, kehormatan, bahkan mimpi-mimpi yang dulu pernah kupunya—semuanya kini terasa asing, seperti kata-kata yang tak lagi punya makna. Aku hidup, tapi bukan untuk apa-apa lagi selain bertahan. Dan dalam dunia yang tak pernah adil ini, mungkin itulah satu-satunya cara untuk tetap ada.
---
Aku selalu teringat lelaki pertama yang membayar untuk tubuhku.
Dia tak banyak bicara ketika masuk ke kamar sempit itu. Wajahnya buram, hampir tidak bisa kuingat detailnya. Mungkin karena aku terlalu sibuk berusaha menahan gemetar di tanganku sendiri. Atau mungkin aku memang sengaja melupakan wajahnya, mencoba menghapus kenangan yang terlalu berat untuk disimpan. Tapi ada satu hal yang tak pernah bisa hilang dari ingatanku—mata lelaki itu. Mata yang tampak kosong, seolah sudah terlalu lelah untuk merasakan apa pun selain kesedihan. Mungkin dia seperti ayahku, yang juga kehilangan pekerjaan, kehilangan tujuan, dan kehilangan sesuatu yang lebih dalam lagi.
Saat itu, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tubuhku terasa kaku, seperti batu. Kami hanya berdiri saling berhadapan, aku di ujung ranjang, dia di dekat pintu. Dunia di luar kamar itu terus berputar—orang-orang berjalan di jalanan yang ramai, bunyi lonceng sepeda, suara-suara pasar yang bergemuruh. Tapi di dalam kamar, waktu seperti berhenti. Lelaki itu menatapku sekali lagi sebelum mendekat. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, tapi aku bisa merasakan beban yang dibawanya. Dia tampak lelah, seolah hidupnya sudah terlalu lama terjebak dalam sesuatu yang tak pernah bisa dia lepaskan.
Dia mulai dengan cara yang kikuk. Tangannya menyentuh pundakku, perlahan, seolah masih ragu. Mungkin dia juga merasakan ketegangan di tubuhku. Saat itu, aku belum mengerti apa yang sedang terjadi, tapi tubuhku sudah lebih dulu menolak. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap, tidak tahu bagaimana harus bergerak. Aku hanya berdiri di sana, menahan napas, menunggu sesuatu yang tidak aku pahami.