PELANGGAN aneh pernah datang di malam yang sama seperti malam-malam lainnya. Tidak ada yang istimewa ketika dia masuk ke dalam kamar, seperti pria-pria lain sebelum dan sesudahnya. Dia sedikit lebih tua dariku, mungkin sekitar dua atau tiga tahun. Penampilannya biasa saja, tidak ada yang mencolok. Pakaiannya tidak rapi, tapi juga tidak lusuh. Namun, ada sesuatu dalam cara dia melangkah masuk yang membuatku mengangkat alis, meski hanya sejenak.
Biasanya, pria-pria datang dengan pandangan mata yang jelas—sebagian penuh keinginan, sebagian lainnya penuh kecemasan. Tapi pria ini berbeda. Matanya tampak tenang, seolah dia tidak terburu-buru untuk melakukan apa pun. Dia duduk di tepi ranjang tanpa bicara, hanya menghela napas panjang, seolah ingin menghilangkan beban yang entah berapa lama telah dia bawa.
Aku menunggu beberapa saat, menunggu dia memulai percakapan atau mungkin mendekatiku seperti yang biasa dilakukan para pria itu. Tapi dia tetap diam, hanya duduk di sana, mengamati dinding ruangan dengan tatapan hampa.
"Lelah?" tanyaku, mencoba memecahkan kebisuan yang mulai terasa aneh.
Dia tersenyum tipis, bukan senyum yang biasa kutemui, tapi senyum yang tampak tulus, seolah-olah senyum itu ditujukan bukan untukku, melainkan untuk dirinya sendiri.
"Aku sudah lelah sejak lama," katanya pelan, hampir seperti berbisik. Aku tidak tahu harus membalas apa, jadi aku hanya diam, menunggu kata-kata berikutnya.
Dan dia mulai berbicara. Bukan bicara yang dimulai dengan desakan atau pujian kosong seperti yang biasa kulakukan dengan pelanggan lain, tapi bicara yang seolah-olah kami sedang berada di ruang tamu, bukan di kamar bordil. Dia berbicara panjang lebar, tentang hidupnya, tentang pekerjaannya yang membosankan sebagai pegawai kantor, tentang keluarganya yang hancur. Kata-katanya mengalir seperti arus sungai yang tenang, dan aku hanya duduk di sana, mendengarkan.
Semakin lama dia bicara, semakin aku menyadari bahwa aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia telah membayar untuk tubuhku, namun dia tak menunjukkan keinginan untuk menyentuhku. Pria-pria biasanya tidak datang untuk bicara. Tapi pria ini, yang kemudian aku tahu bernama Samsu, sepertinya hanya butuh telinga yang mendengarkan. Dan aku, meski terbiasa melayani pria-pria yang memanfaatkan tubuhku, tak pernah benar-benar terbiasa untuk mendengarkan cerita hidup orang lain.
Di tengah-tengah pembicaraan, tiba-tiba dia menoleh padaku dan bertanya, "Siapa namamu?"
Aku terdiam sejenak, kaget oleh pertanyaannya. Tak ada seorang pun yang pernah menanyakan namaku. Aku adalah bayangan, aku adalah tubuh, aku bukan seseorang yang perlu dikenal atau dipanggil dengan nama. Tapi pria ini—Samsu—memecahkan tembok itu dengan pertanyaan sederhana.
Aku berpikir sebentar. Nama asliku sudah lama tak kuucapkan. Nama itu terasa asing di lidahku sekarang. Jadi, aku memberinya nama yang biasa kupakai di tempat ini.
"Nona," jawabku singkat.
Dia mengangguk pelan, lalu tersenyum, seperti menyimpan informasi itu dalam hatinya.
"Nona," katanya, seolah mencicipi nama itu di lidahnya, mencoba merasakan bagaimana bunyinya di bibirnya. "Aku Samsu," lanjutnya.
Pertama kalinya ada pria yang mengajakku berkenalan. Namanya, Samsu, terdengar sederhana. Tidak ada yang istimewa. Tapi entah kenapa, saat dia mengucapkan namanya, ada getaran kecil yang menjalar di tubuhku. Bukan karena suaranya, bukan karena dia tampan—dia tidak tampan—tapi ada sesuatu dalam sikapnya, sesuatu yang membuatku ingin mendengarnya bicara lebih lama.
Waktu berjalan begitu cepat malam itu. Samsu bercerita tanpa henti, tentang mimpi-mimpi yang tak pernah tercapai, tentang cinta yang tak pernah berhasil, tentang hidup yang berjalan tanpa arah. Aku mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Di antara kata-katanya, aku merasakan sesuatu yang aneh—bukan kebosanan seperti yang biasa kurasakan saat pria-pria lain berbicara. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin tahu lebih banyak, sesuatu yang membuatku merasa seperti aku bukan sekadar pelacur di matanya. Untuk pertama kalinya, aku merasa ada seseorang yang melihatku sebagai lebih dari sekadar tubuh yang bisa dibayar.
Ketika dia akhirnya berhenti bicara, ruangan itu terasa sunyi, seolah semua suara telah lenyap bersamanya. Dia menatapku, menunggu sesuatu. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, jadi aku hanya bertanya apa yang mungkin ingin kutanyakan sejak tadi.
"Kenapa?" tanyaku pelan, "Kenapa kau tidak menyentuhku?"
Samsu menatapku lama, tapi tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Dia hanya duduk di sana, memandangku dengan mata yang penuh rahasia, seolah pertanyaanku adalah sesuatu yang tidak bisa dijawab dengan kata-kata. Aku merasa canggung, seperti telah melanggar sesuatu yang tidak tertulis. Tapi sebelum aku sempat bicara lagi, Samsu bergerak. Dia berdiri, mendekat padaku, dan untuk pertama kalinya, dia menyentuhku—bukan dengan cara yang biasa dilakukan pria-pria lain.
Samsu menunduk, lalu mencium bibirku dengan sangat lembut. Ciuman itu begitu perlahan, begitu lembut, hingga aku hampir tak bisa merasakannya. Tapi getaran yang menjalar di sekujur tubuhku sangat nyata. Bibirnya tidak keras, tidak penuh nafsu, hanya sentuhan lembut yang penuh rasa misteri. Di saat itulah, aku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Bukan karena Samsu tampan, karena dia tidak tampan. Tapi ada sesuatu dalam sikapnya—sesuatu yang membuatku tertegun.
Ciuman itu hanya berlangsung sebentar, tapi rasanya seolah berlangsung selamanya. Saat Samsu menarik diri, aku masih terdiam, tak tahu apa yang harus kukatakan. Tubuhku bergetar, bukan karena ketakutan atau kegelisahan, tapi karena sesuatu yang baru—sesuatu yang membuatku sadar bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, ada pria yang melihatku sebagai lebih dari sekadar tubuh yang bisa disentuh. Ada sesuatu dalam cara Samsu memperlakukanku yang membuatku merasa aneh, merasa terhubung, meski aku tahu kami berasal dari dua dunia yang berbeda.
Dia tidak mengatakan apa-apa setelah itu. Hanya menatapku sebentar, lalu tersenyum tipis dan berjalan keluar. Langkah kakinya terdengar pelan, tapi di dalam hatiku, suara langkah itu terus menggema. Aku duduk di sana, masih terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Untuk pertama kalinya, seorang pria telah membayar, tapi tidak menyentuhku dengan cara yang biasa. Dan yang tertinggal bukanlah rasa biasa yang selalu kurasakan setelah pria-pria itu pergi, melainkan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata.
Aku ingin bertanya lebih banyak. Ingin tahu kenapa Samsu berbeda, kenapa dia memilih untuk hanya berbicara dan menciumku dengan begitu lembut. Tapi dia sudah pergi, meninggalkan keheningan yang sulit dijelaskan. Aku merasakan kehangatan yang tersisa dari ciumannya, dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa terasing dari tubuhku sendiri.
Samsu telah pergi, tapi kehadirannya masih terasa. Di malam yang sunyi itu, aku mulai berpikir, mungkin ini bukan tentang fisik semata. Mungkin, sesekali, ada pria yang melihat lebih dari sekadar tubuh. Mungkin, ada yang mencari sesuatu yang lebih dalam dari pelarian sementara.
Dan aku bertanya-tanya, apakah Samsu akan kembali?
---
Ketika tentara Jepang tiba, Batavia yang dulu sudah hancur oleh depresi ekonomi, kini hancur lebih jauh oleh perang. Kota ini, yang pernah menjadi pusat perdagangan dan kehidupan, sekarang dipenuhi oleh bayang-bayang ketakutan. Orang-orang berjalan dengan langkah yang lebih pelan, seperti berhati-hati agar tidak menarik perhatian. Tidak ada yang bicara terlalu banyak, tidak ada yang tertawa lepas lagi. Kehidupan seperti menyusut, bersembunyi di balik tembok-tembok rapuh dan di gang-gang gelap. Di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang, kami hidup dalam ketakutan yang baru.
Aku tahu, sejak pertama kali melihat mereka, para tentara itu datang bukan hanya untuk menguasai kota. Mereka datang untuk mengambil lebih dari sekadar tanah dan bangunan. Mereka datang untuk mengambil kami—perempuan-perempuan yang tak lagi punya apa-apa selain tubuh. Tubuh yang dulu kami pikir bisa menjadi alat untuk bertahan hidup, kini menjadi sasaran empuk. Aku sudah tahu bagaimana dunia ini bekerja, bagaimana tubuh perempuan selalu menjadi alat terakhir dalam situasi yang putus asa. Tapi di bawah kekuasaan Jepang, rasanya berbeda. Ada sesuatu yang lebih dingin, lebih tak manusiawi dalam cara mereka memperlakukan kami.
Para tentara datang dengan wajah tanpa ekspresi. Mata mereka kosong, seolah-olah tidak ada apa pun yang bisa menyentuh mereka. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kami mengerti, tapi kami tahu maksud mereka. Mereka mengambil alih tidak hanya kota, tetapi juga kehidupan kami. Mereka datang dengan senjata, tapi lebih dari itu, mereka datang dengan kekuatan yang tak bisa kami lawan. Kekuasaan mereka bukan hanya tentang peluru dan bom, tapi tentang rasa takut yang mereka tanam di setiap sudut kota ini.
Aku sudah berada di usia dua puluh lebih, tapi dunia ini terasa lebih kejam daripada ketika aku pertama kali menjual tubuhku. Di bawah kekuasaan Belanda, meskipun hidup kami sulit, ada aturan yang masih bisa dipahami, bahkan dalam kekacauan. Tapi Jepang? Mereka datang dengan aturan baru yang tak tertulis, dengan hukum yang tak bisa kami lawan. Dan bagi perempuan-perempuan seperti kami, hukum itu lebih menakutkan daripada sekadar ancaman penjara. Kami tahu, tubuh kami bukan lagi milik kami sendiri. Tubuh ini, yang sudah bertahun-tahun diperdagangkan, kini menjadi barang rampasan perang.
Setiap hari, aku melihat para tentara Jepang patroli di jalan-jalan. Mereka berjalan dengan disiplin yang kaku, senapan tergantung di bahu mereka, mata mereka menatap lurus ke depan. Tapi ada saat-saat ketika aku menangkap tatapan mereka yang berbeda. Ketika mata mereka bertemu dengan mata kami, perempuan-perempuan yang berdiri di sudut-sudut jalan, tatapan itu berubah. Seperti binatang buas yang melihat mangsa. Ada ketegangan yang tak terucapkan di udara. Kami tahu mereka bisa mengambil kami kapan saja, tanpa peringatan. Kami tahu, dalam satu detik, mereka bisa merenggut apa yang tersisa dari diri kami—martabat, rasa aman, bahkan hidup itu sendiri.
Aku tak pernah merasa lebih rapuh daripada saat-saat itu. Dunia yang sudah keras sebelumnya kini terasa seperti perangkap yang tak bisa kutinggalkan. Tidak ada tempat untuk lari, tidak ada tempat untuk bersembunyi. Setiap hari adalah pertarungan untuk bertahan hidup, bukan hanya dari kelaparan atau kemiskinan, tapi dari ancaman yang lebih besar. Tubuh kami adalah sasaran empuk, dan kami tak punya perlindungan selain harapan bahwa mungkin malam ini kami tidak akan dipilih.
Ibu, yang dulu selalu memiliki pandangan penuh kekuatan meskipun hidup keras, kini terlihat lebih kecil. Tubuhnya mulai menua dengan cepat, dan ada kelelahan yang tak bisa dia sembunyikan.
"Kita harus bertahan," katanya padaku suatu malam, suaranya pelan tapi penuh kepasrahan.
"Apa pun yang terjadi, kita harus tetap bertahan."
Tapi aku tahu, dia juga tahu, bertahan kini berarti lebih dari sekadar menjual tubuh. Kini, kami hidup di bawah ancaman kekuasaan yang lebih besar, yang bisa mengambil apa saja dari kami tanpa perlawanan.
Para tentara itu tidak peduli pada siapa kami. Mereka tidak peduli bahwa kami punya masa lalu, bahwa kami pernah bermimpi. Bagi mereka, kami hanyalah bagian dari rampasan perang, barang yang bisa mereka ambil sesuka hati. Mereka datang tanpa suara, tanpa tanda, dan ketika mereka pergi, yang tertinggal hanyalah kehancuran. Kehancuran yang tak selalu terlihat di luar, tapi menghancurkan kami dari dalam.
Aku mulai mengerti bahwa ini mungkin tak akan pernah berakhir. Kekuasaan yang mereka pegang terlalu besar, terlalu mencekam. Setiap hari, ketakutan itu semakin dalam. Setiap kali seorang tentara melintas, ada ketegangan di udara, seolah-olah waktu berhenti dan hanya meninggalkan rasa takut. Dan dalam ketakutan itu, kami tahu bahwa tubuh kami adalah harga yang harus kami bayar untuk bertahan.
Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa terus hidup seperti ini. Aku tak tahu apakah tubuhku, yang sudah sering dijual, bisa bertahan dari kekerasan yang kini datang dari arah yang berbeda. Tapi satu hal yang pasti, kami tak lagi punya pilihan. Kami, perempuan-perempuan yang dulu mungkin masih bisa memilih kepada siapa kami menjual tubuh kami, kini hanya bisa menunggu, berharap bahwa malam ini bukan giliran kami.
Kedatangan Jepang membawa lebih dari sekadar perang. Mereka membawa kekuasaan yang menghancurkan apa pun yang tersisa dari kemanusiaan kami. Dan kami, yang pernah hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan, kini tenggelam lebih dalam ke dalam kegelapan yang baru. Dunia ini, yang pernah keras, kini menjadi tempat di mana tubuh kami tak lagi punya arti apa pun selain sebagai komoditas yang bisa diambil kapan saja.
---
Aku tak pernah bisa melupakan hari itu.
Hari ketika tentara Jepang datang ke rumah-rumah kami, membawa surat perintah yang isinya membuat dunia seketika runtuh. Mereka tidak datang dengan ancaman terbuka atau suara gaduh. Tidak, mereka datang dengan langkah-langkah yang pelan namun penuh kepastian. Mata mereka kosong, senyum mereka tipis, dan tangan mereka selalu siap pada pinggang di mana pistol terselip rapi. Mereka membawa kertas dengan tulisan Jepang yang tak kami mengerti, tapi tak butuh banyak waktu untuk memahami apa maksudnya. Kami harus menjadi ‘Jugun Ianfu’—wanita penghibur bagi tentara mereka.
Kata-kata itu sendiri menggetarkan nyali, tapi maknanya jauh lebih kejam dari apa yang tertulis di atas kertas. Kami tahu apa artinya menjadi 'penghibur' bagi para tentara itu. Kami tahu, tubuh kami akan menjadi milik mereka, dan tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada harapan untuk melarikan diri. Dengan senyum dingin dan pandangan yang tajam, seorang perwira Jepang memandang kami, mengingatkan bahwa kami ada di sini untuk melayani negeri mereka.
Aku hanya bisa menangis dalam hati. Tubuhku gemetar, meski aku berusaha tetap berdiri tegak. Menangis di depan mereka hanya akan menunjukkan kelemahan, sesuatu yang tidak boleh ditunjukkan di hadapan musuh. Tapi air mata itu tetap ada di sana, menumpuk di dalam diriku, seperti luka yang tak akan pernah sembuh. Aku tahu bahwa melayani mereka bukan hanya soal menyerahkan tubuhku; itu berarti menyerahkan seluruh hidupku. Di dunia ini, di bawah bayang-bayang perang, aku hanyalah alat, sesuatu yang bisa dipakai dan dibuang.
Kami dipaksa masuk ke dalam truk-truk militer, dipisahkan dari keluarga, dari orang-orang yang kami cintai. Tangisan dan jeritan terdengar di mana-mana, tapi suara-suara itu seperti hilang ditelan debu jalanan. Truk itu melaju, meninggalkan Batavia yang hancur, membawa kami menuju tempat yang tak pernah kami kenal. Di belakang truk, kami duduk terdiam, saling memandang dengan ketakutan yang tertulis jelas di wajah kami. Tidak ada kata-kata, tidak ada penghiburan yang bisa menghapus rasa ngeri yang memenuhi hati kami. Yang ada hanya perasaan hampa, perasaan bahwa dunia ini telah meninggalkan kami.
Kami dibawa ke sebuah kamp, jauh dari keramaian kota. Ketika truk akhirnya berhenti, kami dipaksa turun, berdiri di hadapan para tentara yang menatap kami seperti binatang yang akan segera dijinakkan. Mereka tidak peduli bahwa kami punya nama, punya keluarga, atau pernah bermimpi tentang hidup yang lebih baik. Bagi mereka, kami hanyalah bagian dari rampasan perang, barang yang bisa digunakan sesuka hati. Kami dipisahkan, satu per satu, dan dijebloskan ke dalam kamar-kamar kecil yang dingin, lembab, dan tak berperasaan.
Di kamar itu, aku duduk di sudut, memeluk lututku, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apa yang akan datang. Waktu terasa lambat, dan setiap detik berlalu seperti mimpi buruk yang tak ada akhirnya. Pintu kamar terbuka dengan suara gemeretak, dan seorang tentara Jepang masuk. Tanpa sepatah kata, dia mendekat, tubuhnya besar dan kasar. Aku hanya bisa menunduk, mencoba menahan rasa takut yang mencekam di seluruh tubuhku.
Ini bukan pertama kalinya aku menjual tubuhku. Sebelum perang, sebelum semua ini terjadi, aku sudah mengenal bagaimana rasanya menjadi objek bagi pria-pria yang datang mencari pelarian. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, aku tidak lagi menjual. Kali ini, tubuhku diambil tanpa ada perjanjian, tanpa ada kata-kata yang bisa memberiku sedikit kuasa. Aku hanyalah alat di tangan mereka, dan itu lebih menyakitkan daripada apa pun yang pernah kualami.
Setiap malam, aku mendengar jeritan dan tangisan dari kamar-kamar di sebelah. Perempuan-perempuan lain yang bernasib sama, yang diambil dari rumah-rumah mereka, dipaksa melayani tentara Jepang seperti yang kulakukan. Jeritan itu menembus dinding-dinding tipis, menambah ketakutan yang sudah menumpuk di dalam diriku. Kami semua tahu, ini bukan tentang tubuh lagi. Ini tentang kehancuran batin, kehancuran yang tak terlihat tapi begitu nyata. Mereka menghancurkan kami sedikit demi sedikit, setiap malam, setiap kali pintu itu terbuka dan seorang tentara masuk dengan wajah tanpa ekspresi.
Aku tak tahu berapa lama aku bisa bertahan. Hari-hari berlalu seperti kabut, tak jelas dan tak berarti. Tubuhku terasa seperti benda asing, sesuatu yang tak lagi menjadi bagian dari diriku. Aku berusaha mengingat siapa aku sebelum semua ini terjadi—gadis yang punya mimpi kecil, yang pernah percaya bahwa hidup bisa lebih baik. Tapi bayangan itu semakin kabur. Kini aku hanyalah seorang Jugun Ianfu, perempuan yang hidup di bawah kendali tentara Jepang, yang tubuhnya adalah alat untuk memuaskan nafsu mereka.
Setiap kali seorang tentara masuk ke kamarku, aku merasa semakin kehilangan diriku. Setiap kali mereka pergi, meninggalkanku terbaring di ranjang yang dingin, aku merasa seperti hampa, kosong, tanpa jiwa. Apa yang tersisa dari diriku? Apa yang masih bisa kuklaim sebagai milikku? Bahkan tubuhku tak lagi menjadi milikku. Mereka mengambil segalanya. Kami dipaksa melayani mereka, dan dengan setiap pelayanan, mereka merenggut sedikit demi sedikit kemanusiaan kami.
Aku tahu ini tak akan berakhir dengan cepat. Jepang mungkin suatu hari akan kalah, perang ini mungkin akan berhenti, tapi luka yang mereka tinggalkan tak akan pernah sembuh. Kami akan selalu mengingat bagaimana rasanya menjadi perempuan yang dipaksa melayani tentara, bagaimana rasanya kehilangan kontrol atas tubuh kami sendiri. Kami akan selalu hidup dengan bayang-bayang itu, meskipun perang telah usai.
Ketika aku memikirkan masa depan, aku hanya bisa melihat kekosongan. Tak ada yang tersisa. Tak ada yang bisa kupegang sebagai harapan. Satu-satunya yang kupunya sekarang adalah kenyataan bahwa aku masih hidup, bahwa aku masih bisa bangun setiap pagi meski dengan tubuh yang penuh luka, baik di luar maupun di dalam. Dan dalam dunia yang hancur ini, mungkin itu sudah cukup.
Kami adalah Jugun Ianfu, perempuan yang diambil dari rumah-rumah mereka, dipisahkan dari keluarga, dan dipaksa melayani para tentara Jepang. Kami bukan lagi manusia di mata mereka. Kami hanyalah alat, benda yang bisa dipakai dan dibuang. Tapi meskipun begitu, di tengah-tengah kehancuran ini, aku berjanji pada diriku sendiri: suatu hari, aku akan menemukan kembali siapa diriku. Aku tak akan selamanya menjadi alat mereka. Meskipun mereka telah mengambil segalanya dariku, aku akan tetap bertahan. Aku harus.
---
Hari-hari sebagai Jugun Ianfu adalah neraka yang tak berakhir. Setiap hari dimulai dengan ketakutan, setiap malam diakhiri dengan penderitaan yang tak terlukiskan. Kami dipaksa melayani tentara Jepang, tanpa ada pilihan lain. Mereka datang, mengambil apa yang mereka mau, meninggalkan kami hanya dengan rasa hampa. Kami hanyalah tubuh-tubuh yang dipakai dan dibuang sesuka hati mereka, tidak lebih dari barang yang rusak. Seperti tanah yang dijajah, tubuh kami menjadi milik orang lain, diambil tanpa ampun, tanpa belas kasihan.
Aku tidak pernah bisa melupakan malam-malam pertama itu, ketika pintu kamar terbuka, dan seorang tentara Jepang melangkah masuk dengan wajah tanpa ekspresi. Tubuhnya besar, ototnya menegang di bawah seragam hijau yang kusut, dan langkahnya berat di atas lantai kayu yang berderak. Wajahnya kaku, seolah seluruh emosi manusia telah menghilang darinya. Aku menatapnya dengan rasa jijik, rasa takut yang sudah terlalu akrab, tapi tak ada apa pun yang bisa kulakukan. Aku tak bisa menolak. Tubuhku sudah tidak lagi milikku.
Dia tidak berbicara. Tidak perlu. Dalam keheningan itulah kekerasan terjadi, dalam diam yang menyesakkan, yang lebih menyakitkan daripada apa pun yang bisa mereka katakan. Mereka memperlakukan kami seperti milik, bukan manusia. Di setiap tarikan napas mereka, di setiap sentuhan yang mereka berikan, aku merasakan kehancuran. Mereka memaksa tubuhku tunduk, tapi yang paling parah adalah bagaimana mereka memaksa pikiranku untuk diam. Aku belajar untuk mematikan perasaanku. Aku harus melakukannya, karena kalau tidak, aku akan gila. Aku harus membiarkan tubuh ini menjadi alat, menjadi patung yang hanya menjalankan perintah. Jika aku merasa, jika aku mulai merasakan apa yang terjadi padaku, aku tahu bahwa aku tidak akan bertahan.
“Ini perang,” kataku pada diriku sendiri, berulang-ulang, mencoba menerima. Meski hati ini terus memberontak, aku mencoba menerima kenyataan bahwa ini adalah hidupku sekarang. Perang menghancurkan lebih dari sekadar kota dan bangunan; ia menghancurkan tubuh-tubuh dan jiwa-jiwa, perlahan, tanpa ampun. Aku hanyalah satu dari banyak perempuan yang terjebak dalam perang ini, dan tubuhku hanyalah satu dari banyak yang diambil tanpa perlawanan. Kami semua tahu, di dunia yang seperti ini, kami tidak memiliki hak atas diri kami sendiri.
Setiap malam, tentara-tentara itu datang dengan wajah penuh nafsu, tapi mata mereka tetap dingin. Nafsu itu bukan nafsu manusia yang normal; ini adalah nafsu yang diliputi kekuasaan, dominasi, dan kekejaman. Mereka tidak mencari cinta, tidak mencari kedekatan. Mereka hanya ingin memuaskan keinginan untuk menguasai, untuk menunjukkan bahwa mereka bisa mengambil apa pun yang mereka inginkan. Dan tubuh-tubuh kami adalah buktinya. Kami dipaksa tunduk pada kekuasaan yang tak bisa kami lawan, dan di tengah-tengah semua itu, aku mencoba untuk bertahan.
Aku mulai merasakan bahwa tubuhku tak lagi berarti apa-apa. Dulu, sebelum semua ini terjadi, aku mungkin masih berpikir bahwa tubuh ini memiliki nilai—bahwa meskipun aku menjualnya, aku masih memiliki kendali atas bagaimana dan kepada siapa. Tapi sekarang, tubuhku sepenuhnya diambil dari tanganku. Aku tidak memiliki kendali, tidak punya hak untuk berkata tidak. Mereka datang, mengambil, dan pergi. Dan setiap kali mereka pergi, aku merasa seperti sedikit demi sedikit hilang.
Setiap malam aku mendengar jeritan dari kamar-kamar di sebelah. Tangisan para perempuan lain, yang seperti aku, dipaksa melayani tentara-tentara Jepang tanpa pilihan. Jeritan itu menembus dinding kayu yang tipis, memenuhi udara dengan rasa takut yang tak pernah hilang. Kami semua berada di sini, di tempat ini, bukan karena kami memilih. Kami dijadikan alat, dijadikan simbol dari kekuasaan yang mereka paksakan kepada kami. Dan dalam setiap jeritan, aku mendengar kehancuran yang lebih dalam daripada yang bisa dilihat oleh mata telanjang. Mereka menghancurkan kami, sedikit demi sedikit, hingga tidak ada yang tersisa selain kehampaan.
Aku belajar untuk tidak mendengar, belajar untuk mematikan suara-suara itu dalam kepalaku. Seperti patung yang tak bernyawa, aku membiarkan tubuhku menjalankan perintah tanpa berpikir, tanpa merasa. Ini satu-satunya cara untuk bertahan hidup di tempat seperti ini. Setiap malam, aku berbaring di ranjang yang dingin, memejamkan mata, berusaha menenangkan diri meski aku tahu bahwa malam berikutnya, hal yang sama akan terjadi lagi. Tidak ada akhir untuk neraka ini, dan aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan.
Hari-hari sebagai Jugun Ianfu membuatku kehilangan segalanya—harapan, kebahagiaan, bahkan rasa percaya pada diriku sendiri. Tubuhku yang dulu adalah milikku, kini menjadi milik para tentara itu. Dan meskipun perang suatu hari mungkin akan berakhir, aku tahu bahwa luka-luka yang mereka tinggalkan di tubuh dan jiwaku tak akan pernah sembuh. Kami akan selalu diingatkan akan hari-hari ini, akan malam-malam ini, ketika tubuh kami dijadikan alat untuk memuaskan nafsu perang yang kejam. Perang ini mungkin berhenti, tapi penderitaan kami tidak akan pernah benar-benar berakhir.
Setiap kali seorang tentara masuk ke kamarku, aku merasa seperti sedikit demi sedikit diriku menghilang. Setiap kali mereka pergi, aku tahu bahwa sebagian dari diriku sudah hilang, diambil oleh mereka, tak pernah kembali. Aku menjadi lebih kosong, lebih hampa, seperti bayangan yang hanya ada untuk melayani. Aku tahu bahwa ini adalah bagian dari perang, bagian dari kehancuran yang lebih besar, tapi tetap saja, aku merasa seolah hidupku telah diambil dariku tanpa pernah diberi kesempatan untuk melawan.
Aku tahu bahwa aku harus bertahan, meskipun setiap malam rasanya seperti kematian yang lambat. Aku harus bertahan karena meskipun tubuhku sudah tidak lagi milikku, aku masih memiliki sesuatu yang tak bisa mereka ambil: kehendak untuk tetap hidup. Di tengah segala kekejaman ini, di tengah segala penderitaan, aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku akan menemukan cara untuk bertahan. Meskipun mereka mencoba mengambil segalanya dariku, aku tidak akan membiarkan mereka sepenuhnya menghancurkan siapa aku sebenarnya.
---
Banyak dari kami yang hilang.
Perempuan-perempuan muda yang diambil dari rumah mereka, dari keluarga yang mereka cintai, dibawa pergi tanpa pernah kembali. Kami tidak tahu ke mana mereka dibawa, hanya mendengar cerita-cerita yang beredar di antara kami yang tersisa. Beberapa perempuan mencoba melarikan diri. Malam-malam sunyi menjadi saksi upaya mereka untuk lolos dari neraka yang tak kunjung usai ini. Tetapi di setiap cerita pelarian, akhirnya selalu sama: mereka ditemukan di tepi sungai atau ladang-ladang, tubuh mereka tak lagi bernyawa. Dunia ini tak memberi ampun kepada mereka yang lemah, tak ada tempat aman di bawah bayang-bayang perang yang kejam ini.
Aku mendengar cerita-cerita itu dengan hati yang dingin. Aku tak bisa menangis lagi. Setelah sekian lama terperangkap di sini, air mata seolah berhenti mengalir. Mungkin karena aku sudah terlalu sering menangis dalam hati, sampai-sampai tubuhku tak lagi mampu merasakan pedih. Perempuan-perempuan itu, teman-temanku, mungkin dulunya memiliki harapan. Tapi sekarang, mereka hanya menjadi bagian dari kisah-kisah kelam yang tak akan pernah tercatat dalam sejarah. Mereka lenyap, dan dengan kepergian mereka, kami yang tersisa tahu bahwa pilihan kami semakin sedikit.
Kami terperangkap. Di antara kekuasaan Jepang dan ketidakberdayaan, tidak ada celah untuk lari. Setiap hari, para tentara datang, menuntut pelayanan yang tak terhindarkan. Dan setiap malam, ketika pintu kamar-kamar kami tertutup, aku mendengar jeritan kesakitan, tangisan yang tak pernah berhenti. Jeritan itu bukan hanya karena rasa sakit fisik, tapi juga karena rasa kehilangan yang mendalam. Kami kehilangan diri kami sendiri—perlahan, sedikit demi sedikit, sampai tidak ada yang tersisa selain tubuh yang terpaksa menjalani perintah. Aku menatap mereka, tentara-tentara itu, dengan rasa jijik yang begitu mendalam, tapi tak ada yang bisa kulakukan. Perlawanan adalah kematian, dan kami tahu itu.
Aku tak bisa membayangkan kembali ke hidupku yang dulu. Meskipun suatu hari perang ini berhenti, meskipun Jepang akhirnya kalah, aku tahu aku tak akan pernah kembali seperti dulu lagi. Kami yang masih bertahan, kami yang masih bisa bangun setiap pagi, adalah perempuan yang telah hancur. Tubuh kami mungkin masih utuh, tapi jiwa kami sudah lama hilang. Kami hanya cangkang dari siapa kami dulu. Kehidupan kami tak lagi berarti, hanya sisa-sisa dari mimpi yang tak pernah terwujud.
Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apakah aku juga akan hilang seperti mereka yang sudah pergi. Apakah aku akan menjadi salah satu dari perempuan yang ditemukan tak bernyawa di suatu tempat yang jauh dari sini, atau apakah aku akan tetap tinggal di sini, menjalani hari-hari penuh penderitaan yang tak ada akhirnya? Pilihannya sama-sama buruk, tapi di dunia yang seperti ini, kami tak lagi bisa berharap untuk hal-hal baik. Kami hanya belajar bertahan. Bukan untuk hidup, tapi untuk sekadar ada—untuk tetap berada di tempat ini tanpa hancur sepenuhnya.
Aku mulai melihat diriku dalam bayangan cermin yang retak. Setiap kali aku menatap wajahku, aku bertanya-tanya, siapa perempuan yang ada di sana? Aku tidak lagi mengenali diri sendiri. Wajah yang kusut, mata yang kosong, tubuh yang dulu kupikir milikku, kini hanya tinggal kenangan yang hancur. Aku melihat bagaimana aku berubah, menjadi seseorang yang tak lagi punya harapan, hanya menjalani hidup seperti mesin yang tak punya jiwa. Dan aku tahu, ini bukan hanya tentang diriku. Kami semua, perempuan-perempuan yang masih tersisa di sini, sudah hilang, meski tubuh kami masih ada.
Malam-malam semakin panjang, waktu seolah berhenti. Setiap detik terasa seperti penantian yang menyakitkan. Setiap langkah kaki yang mendekat membuat jantungku berdegup lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena aku tahu bahwa apapun yang akan terjadi, aku tak bisa melarikan diri. Tubuhku adalah alat, dan aku tidak punya kendali atasnya. Tidak ada jalan keluar dari tempat ini. Kami terjebak dalam lingkaran neraka yang tak pernah berakhir, dan hanya sedikit dari kami yang cukup beruntung untuk bisa melarikan diri, meskipun dengan kematian.
Ketika aku mendengar tentang mereka yang hilang, aku selalu mencoba membayangkan keberanian mereka. Mungkin pada suatu titik, mereka merasa bahwa kematian lebih baik daripada hidup dalam penderitaan seperti ini. Mungkin mereka menemukan cara untuk merasa bebas, meskipun itu berarti menyerahkan nyawa mereka. Tapi aku? Aku masih di sini. Aku masih terjebak dalam kebingungan antara ingin hidup dan ingin hilang. Aku masih bangun setiap pagi dengan tubuh yang terasa kosong, menunggu malam datang untuk membawa lebih banyak rasa sakit.
Kami semua hilang dalam cara yang berbeda. Beberapa dari kami hilang secara fisik, diambil dari dunia ini oleh kekejaman perang. Yang lain, seperti aku, hilang secara perlahan, dalam ketakutan dan keputusasaan yang tak pernah bisa sepenuhnya diungkapkan. Kami menjadi bayangan dari siapa kami dulu. Kami mungkin bisa bertahan hidup secara fisik, tapi jiwaku? Jiwaku sudah lama hilang.
Aku tahu, pada akhirnya, meskipun aku bisa keluar dari tempat ini, meskipun Jepang akhirnya pergi, aku tak akan pernah benar-benar kembali. Kehidupan yang dulu kukenal, harapan yang dulu pernah kumiliki, semuanya sudah mati. Perempuan yang pernah aku kenal—diriku yang dulu—sudah hilang di antara rasa sakit, penderitaan, dan kekejaman yang terlalu besar untuk dihadapi. Kami mungkin masih ada di sini, tapi kami tak lagi menjadi diri kami sendiri.