Nona yang Ternoda

Kalam Insan
Chapter #3

1950-an

JAKARTA pada dekade ini adalah kota yang sesak oleh manusia. Orang-orang datang dari desa-desa, dari kampung-kampung kecil yang penuh dengan kelaparan dan kemiskinan. Mereka datang dengan harapan baru, membawa mimpi-mimpi besar tentang kehidupan yang lebih baik di kota besar, kota yang katanya menjanjikan kesempatan tanpa batas. Tapi Jakarta tidak punya tempat untuk semua orang. Jalan-jalan penuh sesak, rumah-rumah petak dibangun berdempetan, dan di setiap sudut kota, terlihat wajah-wajah lelah yang sudah kehilangan impian.

Banyak dari mereka, terutama perempuan muda, akhirnya jatuh ke dalam pelukan dunia yang sama seperti yang aku jalani dulu—dunia prostitusi. Dunia yang di balik kemerdekaan dan pembangunan ini, tetap menjadi perangkap bagi mereka yang datang dengan mimpi, namun hanya menemukan kenyataan pahit yang tak terhindarkan. Mereka datang dengan wajah penuh harapan, mata mereka bersinar dengan keinginan untuk mengubah nasib. Tapi aku tahu, dalam waktu singkat, harapan itu akan lenyap. Mereka akan segera berubah menjadi perempuan yang sama seperti kami—terpaksa menjual tubuh untuk bertahan hidup.

Aku melihat diri mereka sebagai refleksi dari diriku sendiri ketika pertama kali datang ke kota ini. Perempuan-perempuan muda itu, mereka datang dengan pakaian seadanya, dengan senyum yang masih dipenuhi rasa percaya bahwa hidup di Jakarta akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan. Tapi kenyataan di sini keras, lebih keras daripada yang bisa mereka bayangkan. Kota ini adalah kota yang penuh sesak, bukan hanya oleh tubuh-tubuh yang berjalan di sepanjang jalan-jalan utamanya, tetapi juga oleh mimpi-mimpi yang hancur berkeping-keping. Mereka datang untuk hidup, tetapi hidup yang mereka temukan tak pernah sesuai dengan yang mereka impikan.

Aku, yang sekarang menjadi mucikari, melihat semua ini dari sudut pandang yang berbeda. Dulu, aku juga seperti mereka. Aku pernah percaya bahwa ada jalan keluar dari kemiskinan, dari kehidupan yang penuh penderitaan. Tapi kini, aku hanya bisa melihat bagaimana perempuan-perempuan ini terjebak dalam siklus yang sama, dan tak ada yang bisa kulakukan selain membantu mereka bertahan. Aku mengelola perempuan-perempuan ini, memberi mereka tempat dan pekerjaan, meskipun pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sama yang telah menghancurkan banyak jiwa. Tapi di dunia yang penuh kekejaman ini, aku tahu bahwa jika aku tak melakukan ini, mereka akan jatuh ke tangan yang lebih buruk.

Jakarta terus berkembang, gedung-gedung tinggi terus dibangun, lampu-lampu jalan bersinar terang hingga larut malam. Kota ini seolah tak pernah tidur, tetapi di balik gemerlap lampu-lampu itu, ada dunia yang tak pernah berubah. Dunia kami. Dunia yang tetap gelap, penuh dengan keputusasaan. Di balik pembangunan yang terus dikumandangkan oleh pemerintah, di balik janji-janji tentang masa depan yang lebih baik, kami, perempuan-perempuan yang terperangkap dalam dunia prostitusi, tetap terjebak di tempat yang sama. Jakarta yang katanya sudah merdeka, tak pernah benar-benar merdeka bagi kami.

Setiap malam, aku melihat perempuan-perempuan muda datang ke tempatku dengan harapan yang sama. Mereka berharap menemukan sesuatu yang lebih baik, tetapi aku tahu, mereka hanya akan berakhir dalam pelukan pria-pria yang datang dengan uang di tangan, pria-pria yang mencari pelarian dari kehidupan mereka yang penuh dengan beban. Kehidupan di Jakarta keras, bahkan bagi mereka yang datang dengan impian besar. Dan bagi kami, perempuan-perempuan di dunia prostitusi, impian itu sudah lama hancur.

Aku tidak bisa menyalahkan mereka yang datang mencari pekerjaan di kota besar ini. Mereka tidak tahu bahwa dunia yang mereka masuki ini tidak pernah memberi ruang untuk mereka yang lemah. Aku melihat mereka dari jauh, berbicara dengan mereka, memberi mereka nasihat yang tak pernah mudah didengar.

"Ini bukan kehidupan yang akan memberimu kebahagiaan," kataku suatu malam pada seorang gadis yang baru saja tiba dari desa. Dia menatapku dengan mata yang penuh kebingungan, seolah tak percaya bahwa aku mengatakan hal itu. Tapi aku tahu, hanya dalam beberapa bulan, matanya yang penuh harapan itu akan meredup, dan dia akan bergabung dengan barisan perempuan yang telah kehilangan segalanya.

Jakarta yang terlalu penuh ini tidak memberi tempat bagi kami. Kami hanya hidup di pinggir, di sudut-sudut yang tersembunyi, di balik tembok-tembok yang tinggi, di gang-gang sempit yang tidak pernah tersentuh oleh janji-janji pembangunan. Gedung-gedung tinggi terus menjulang, tapi di bawah bayang-bayangnya, hidup kami tetap berjalan seperti biasa. Pria-pria datang, perempuan-perempuan pergi, dan siklus itu terus berputar tanpa henti.

Aku tahu, meskipun Jakarta berkembang, kota ini tetap kejam. Kemerdekaan yang dikumandangkan dengan penuh semangat tak pernah benar-benar sampai kepada kami. Kami, perempuan-perempuan yang hidup di dunia ini, tetap terbelenggu oleh nasib yang tidak pernah berpihak pada kami. Tidak ada kebebasan bagi kami, tidak ada ruang untuk bermimpi. Setiap kali aku melihat perempuan-perempuan muda itu datang dengan harapan, aku tahu pada akhirnya mereka akan menyadari kebenaran pahit yang harus mereka hadapi—bahwa kota besar ini tidak memberi mereka apa-apa selain kehidupan yang penuh kepahitan.

---

Aku yang dulu adalah pelacur, kini menjadi mucikari. Rumah kecilku di pinggir Jakarta, di sudut kota yang sesak oleh urbanisasi, kini penuh dengan perempuan-perempuan muda yang datang dari kampung. Mereka datang dengan harapan besar, sama seperti aku dulu. Mereka meninggalkan sawah, ladang, dan rumah-rumah sederhana, berharap kehidupan di kota besar akan memberikan mereka peluang untuk mengubah nasib. Tapi di sini, di dunia yang keras dan penuh kekejaman, aku tahu nasib mereka akan berakhir seperti banyak perempuan lainnya—terjebak dalam lingkaran prostitusi yang tak berujung.

Setiap hari, mereka mengetuk pintu rumahku. Mata mereka penuh ketakutan, tapi juga rasa lapar yang tak bisa disembunyikan.

“Bu, saya butuh makan,” kata mereka. Kata-kata itu terucap dengan lirih, penuh permohonan, seolah-olah hanya itulah yang tersisa dari harapan mereka yang sudah pudar. Aku tahu betul apa artinya hidup tanpa makan. Aku pernah berada di posisi mereka, di saat tubuh kurusku digerogoti rasa lapar yang menyiksa. Jadi, aku tak pernah menolak mereka. Aku tidak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa hidup di Jakarta yang penuh sesak ini tak memberi banyak pilihan. Jika aku tak menerima mereka, siapa yang akan? Jika mereka tak bekerja untukku, mereka akan jatuh ke tangan mucikari lain yang lebih kejam, yang akan memperlakukan mereka seperti barang dagangan tanpa sedikit pun rasa belas kasihan.

Aku mengajari mereka cara bertahan. Aku tunjukkan bagaimana menghadapi pria-pria yang datang, bagaimana menjaga diri mereka sendiri meskipun tubuh mereka harus dijual. Aku tahu, dunia ini keras, tapi setidaknya aku bisa membuatnya sedikit lebih manusiawi—meski hanya sedikit. Aku tak bisa mengubah nasib mereka, tapi aku bisa memberi mereka tempat yang aman, tempat di mana mereka tidak diperlakukan seperti binatang. Di sini, mereka bekerja, tetapi mereka masih memiliki sedikit martabat yang tersisa.

Mereka datang dengan wajah yang sama, wajah yang dulu kupakai ketika pertama kali melangkah ke dunia ini. Wajah penuh harapan yang tak lama kemudian berubah menjadi ketakutan dan keputusasaan. Aku melihat bagaimana perubahan itu terjadi begitu cepat. Perempuan-perempuan muda ini tak lagi bermimpi tentang kebahagiaan. Mereka hanya mencoba bertahan, berusaha mengumpulkan cukup uang untuk pulang ke kampung, meskipun pada akhirnya, kebanyakan dari mereka tidak pernah kembali. Jalan keluar dari dunia ini sangat sempit, hampir tidak ada. Begitu masuk, jarang ada yang bisa keluar.

Malam-malam di rumahku penuh dengan hiruk-pikuk yang tenang, suara bisik-bisik perempuan yang saling berbagi cerita tentang masa lalu dan harapan-harapan kecil yang masih tersisa. Kadang-kadang aku mendengar mereka menangis dalam keheningan, suara isak yang terpendam karena takut terlihat lemah. Aku tahu betul perasaan itu, rasa putus asa yang hanya bisa diungkapkan dalam kesendirian. Aku sendiri pernah merasakannya. Tapi aku sudah terbiasa dengan kehidupan ini, dan aku tahu bahwa menangis tidak akan membawa perubahan apa-apa.

Di antara mereka, aku adalah sosok yang dihormati dan diandalkan. Meskipun aku tahu, aku juga bagian dari sistem yang menjerat mereka, aku berusaha menjaga mereka semampuku. Aku memberi mereka nasihat yang kuharap bisa membantu mereka bertahan lebih lama. Aku ajari mereka cara bernegosiasi, cara menjaga diri di tengah malam yang penuh dengan bahaya. Aku ajarkan mereka untuk tidak pernah menyerah terlalu cepat, meskipun aku tahu, dunia ini tidak pernah benar-benar memberikan pilihan yang adil bagi kami.

Jakarta terus berkembang. Gedung-gedung tinggi semakin banyak berdiri, jalan-jalan besar semakin padat dengan kendaraan yang tak pernah berhenti melaju. Tapi di balik semua itu, ada sisi gelap yang tak pernah berubah. Di balik janji-janji pembangunan, di bawah bayang-bayang modernitas, kehidupan kami tetap berjalan di tempat yang sama. Pria-pria terus datang, perempuan-perempuan terus pergi, dan siklus itu terus berulang. Di dunia ini, kemerdekaan yang dikumandangkan tak pernah benar-benar sampai kepada kami. Urbanisasi mungkin membawa lebih banyak orang ke Jakarta, tetapi yang mereka temukan hanya kota yang penuh sesak, yang tak punya tempat untuk semua orang.

Aku terus menjalankan peranku sebagai mucikari. Setiap kali ada perempuan baru yang datang, aku merasa seperti melihat bayangan masa laluku sendiri. Mereka memohon untuk diterima, dan aku tak pernah bisa menolak mereka. Aku tak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa dunia ini tidak memberi mereka pilihan lain. Kota ini terlalu kejam untuk mereka yang datang dengan harapan besar. Kota ini hanya memberi mereka satu jalan, jalan yang tak pernah benar-benar berujung.

Di sini, di rumah kecilku yang penuh sesak oleh perempuan-perempuan yang berjuang untuk bertahan hidup, aku tahu bahwa dunia ini tidak adil. Tapi aku juga tahu, jika aku tak berada di sini, mereka mungkin akan jatuh ke tangan yang lebih buruk. Aku tidak bisa memberi mereka kebebasan, tetapi aku bisa memberi mereka sedikit ruang untuk bernafas, sedikit martabat di tengah dunia yang selalu merampas segalanya dari mereka.

---

Suatu malam, Samsu datang lagi. Kali ini sebagai pelanggan. Aku melihatnya dari jauh, mengenakan jaket menutupi seragamnya, dan ada sesuatu yang berbeda dalam caranya berjalan. Dia tidak lagi pria yang lembut dan penuh rasa simpati seperti yang kuingat. Wajahnya kini tampak lebih keras, lebih kaku, dan ada kelelahan yang terpancar dari sorot matanya. Aku mencoba menghindari pandangannya, berharap dia akan memilih perempuan lain. Namun, dia tidak membiarkanku bersembunyi di balik bayang-bayang Kramat Tunggak.

Dia datang mendekat, dan kali ini tidak ada percakapan panjang seperti dulu. Dia langsung memanggilku.

"Nona," katanya, tanpa basa-basi. “Aku ingin kau yang melayaniku.”

Aku terkejut. Samsu, pria yang dulu begitu lembut, begitu berbeda dari pelanggan-pelanggan lainnya, kini memintaku untuk melayaninya seperti aku dulu melayani pria-pria lain. Aku ragu. Sesuatu dalam diriku menolak permintaannya. Ada bayangan masa lalu yang menghantuiku—kenangan tentang malam di mana kami hanya berbicara, tentang ciuman lembut yang pernah kubagi dengannya, tentang perasaan hangat yang sesaat mengubah pandanganku terhadap hidup. Tapi aku tahu aku membutuhkan uang. Kami semua membutuhkan uang untuk bertahan hidup di kota yang keras ini. Maka, meskipun dengan berat hati, aku mengangguk, menyetujui permintaannya.

Malam itu, Samsu sangat berbeda. Tidak ada percakapan yang menenangkan yang dulu dia bagi. Dia langsung menyerbuku begitu kami berada di kamar, tanpa kata, tanpa sentuhan lembut seperti dulu. Segalanya terjadi dengan cepat, begitu cepat hingga aku hampir tak punya waktu untuk merasakan apa-apa. Dia hanya mendesakku ke ranjang, tubuhnya terasa berat di atas tubuhku, dan seolah-olah kami berdua menjalani ritme yang sudah ditentukan oleh dunia ini. Segalanya terasa begitu mekanis, seperti sebuah transaksi yang selesai dalam hitungan menit.

Aku terkejut, bukan karena kami berhubungan, tapi karena kecepatan dan ketegangan yang kurasakan. Aku sudah lama tidak melayani seorang pria secara langsung, dan tubuhku terkejut oleh sentuhan itu. Bukan karena Samsu, bukan karena gairah, tapi karena kenyataan bahwa aku tak lagi terbiasa dengan tindakan ini. Selama bertahun-tahun, aku hanya mengatur perempuan-perempuan lain, menjaga mereka agar tetap aman, memastikan mereka tahu cara bertahan di dunia ini. Dan sekarang, aku kembali terlempar ke dalam kehidupan yang dulu kutinggalkan, meski hanya untuk malam ini.

Setelah semuanya selesai, aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Samsu tampak berbeda, seperti seseorang yang berjuang dengan sesuatu di dalam dirinya. Aku mencoba memulai percakapan, berharap bisa mengembalikan suasana seperti dulu. Mungkin kami bisa berbicara lagi, seperti dulu. Mungkin ada yang bisa kubangun dari pertemuan ini. Tapi sebelum aku sempat membuka mulut, Samsu berbicara lebih dulu.

“Aku harus segera pulang,” katanya, suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. “Sebelum istriku curiga.”

Kata-katanya menusuk seperti pisau tajam yang tak terlihat. Aku terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak, menyelimuti sekujur tubuhku. Samsu, pria yang pernah membuatku merasa dilihat, diakui sebagai manusia, kini berbicara tentang istrinya. Tentang kehidupannya di luar sana, di luar dinding Kramat Tunggak yang menyesakkan ini. Kehidupan yang tak pernah bisa kumiliki, kehidupan yang tampak begitu jauh dari realitasku.

Aku hanya bisa diam, membiarkan kesedihan merayap di sekujur tubuhku. Samsu bangkit, merapikan pakaiannya tanpa menoleh padaku. Tidak ada lagi kehangatan di antara kami, hanya sisa-sisa dari apa yang pernah ada, dan itu pun sudah pudar.

Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya, meskipun aku tahu jawaban yang akan kuterima takkan memuaskan.

“Kenapa?” tanyaku pelan, suaraku hampir tak terdengar. “Kenapa kau datang lagi?”

Dia berhenti sejenak, tangannya masih sibuk mengancingkan kemejanya. Tanpa menoleh, dia menjawab dengan nada yang penuh kelelahan. “Aku hanya ingin mencobamu. Dulu, aku tak sempat.”

Kata-kata itu, meskipun diucapkan tanpa emosi, terasa begitu dingin, begitu final. Aku tahu, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Tak ada yang bisa kuubah. Samsu telah memilih jalannya, dan aku tetap terperangkap di jalanku sendiri—jalan yang tak pernah memberiku pilihan selain bertahan.

Samsu meninggalkan ruangan, langkah kakinya terdengar berat di lantai kayu yang berderit. Aku tetap duduk di ranjang, merenungi semua yang telah terjadi. Ada rasa pahit yang tertinggal, rasa yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Dan malam ini, aku merasa kata-kata ibuku benar-benar menjadi kenyataan.

Malam semakin larut, dan aku masih duduk dalam diam. Kamar kecil ini, yang pernah menjadi tempat Samsu dan aku berbicara tentang hidup, kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Samsu telah pergi, meninggalkan jejak yang tak akan pernah hilang. Tapi aku tahu, seperti hidup di Senen, semuanya harus terus berjalan. Pria-pria lain akan datang, perempuan-perempuan lain akan tetap bekerja, dan aku akan terus menjadi bagian dari dunia ini—dunia yang tak pernah benar-benar berubah, meskipun hati kami hancur berkeping-keping di dalamnya.

---

Setiap malam, rumah-rumah bordil di sekitar Jakarta penuh dengan aktivitas. Pria-pria dari segala penjuru kota datang, mencari tubuh, mencari pelarian dari kehidupan yang penuh dengan tekanan dan kegagalan. Jalanan mungkin dipenuhi dengan pembangunan, gedung-gedung tinggi terus menjulang, tapi di balik semua itu, ada sisi gelap yang tidak pernah terlihat oleh mereka yang beruntung. Mereka yang datang ke sini tidak pernah menganggap apa yang mereka lakukan sebagai hal yang lebih dari sekadar kebutuhan biologis. Mereka datang, membayar, lalu pergi, dan siklus itu berulang setiap malam, tanpa henti.

Lihat selengkapnya