PADA dekade 1950-1960an, Senen telah menjadi pusat prostitusi paling terkenal untuk kalangan kelas bawah. Daerah-daerah ini berubah menjadi sarang malam yang tak pernah tidur, tempat di mana kegelapan tak hanya datang dengan malam, tetapi menjadi bagian yang permanen dari kehidupan. Aku sering berjalan di sana, di antara bangunan-bangunan tua yang terlihat kumuh, di antara trotoar yang dipenuhi dengan perempuan-perempuan muda yang menawarkan diri dengan harga murah. Orang-orang mulai menyebut tempat kami dengan nama 'Planet Senen, entah apa maksudnya tapi hal tersebut dikarenakan di sini memang telah berubah menjadi episentrum dari kegelapan, dan di sini, dosa dan keputusasaan berjalin erat seperti dua sisi dari koin yang sama.
Pria-pria datang dari berbagai tempat—buruh, kuli, sopir, bahkan pejabat kecil yang ingin melepaskan diri dari beban kehidupan sehari-hari. Mereka datang ke tempat-tempat ini bukan hanya untuk memuaskan hasrat mereka, tapi untuk mencari pelarian dari kehidupan yang semakin sulit. Aku tahu itu. Mereka bukan hanya pria yang mencari tubuh, mereka adalah pria yang juga terjebak dalam lingkaran keputusasaan yang sama, meskipun mereka datang sebagai pelanggan. Di Senen, setiap malam, kehidupan bawah tanah ini terus berdenyut tanpa henti. Di sana, aku berjalan di antara mereka, merasakan kegelisahan yang tak pernah hilang.
Kegelisahan itu melekat seperti bayangan, mengikuti setiap langkahku di jalanan yang penuh dengan keramaian palsu. Orang-orang berbicara dengan tawa, dengan suara-suara yang nyaring, tetapi di balik suara itu, ada kekosongan. Dunia ini penuh dengan dosa, tapi di balik setiap dosa, aku tahu ada kisah tentang keputusasaan. Setiap perempuan yang berdiri di sudut-sudut jalan itu, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, memiliki cerita yang sama. Mereka datang dengan harapan yang cepat menguap, tenggelam dalam kenyataan hidup yang tak pernah memberi mereka kesempatan untuk benar-benar meraih apa yang mereka impikan.
Aku melihat mereka dari jauh, perempuan-perempuan yang mungkin berusia belasan tahun, sebagian bahkan lebih muda dari itu. Mereka berdiri di sana, tubuh mereka terbuka untuk ditawarkan pada pria-pria yang lewat. Mata mereka tak lagi memancarkan semangat, hanya kekosongan yang dingin. Setiap kali aku melintas, aku merasa seperti melihat bayangan diriku sendiri—bayangan dari masa lalu yang telah lama kubuang, tetapi tak pernah benar-benar bisa kulepaskan. Mereka adalah aku yang dulu, aku yang datang ke kota ini dengan mimpi besar, tetapi akhirnya jatuh ke dalam jerat yang sama.
Planet Senen, pusat dari kegelapan ini, adalah tempat di mana dosa dan kehidupan bertemu. Di sini, tidak ada yang benar-benar bersih. Semua orang, baik pria maupun perempuan, terjebak dalam siklus yang tak berujung. Setiap malam, mereka datang dan pergi, seperti arus air yang tak pernah berhenti. Di sepanjang jalan, tubuh-tubuh diperdagangkan seperti barang murah, dan setiap kali transaksi selesai, hanya rasa hampa yang tersisa.
Kadang-kadang aku berpikir, apakah dunia ini akan berubah? Apakah akan ada waktu di mana perempuan-perempuan ini bisa keluar dari lingkaran yang tak berujung ini? Tetapi setiap kali aku menyusuri jalanan ini, melihat bagaimana pria-pria datang dengan keinginan yang tak terbendung, dan bagaimana perempuan-perempuan itu menjual diri mereka untuk beberapa rupiah, aku tahu jawabannya. Dunia ini tidak akan berubah. Kami semua terjebak dalam siklus yang sama, dan tidak ada jalan keluar yang mudah.
Malam semakin larut, tetapi Senen tidak pernah tidur. Lampu-lampu di tepi jalan menyala, menerangi sisi gelap kota yang tidak pernah terlihat di siang hari. Aku terus berjalan, menyusuri jalanan yang penuh dengan kehidupan yang tampak, tetapi kosong di dalam. Kegelapan ini, yang sudah menjadi bagian dari hidupku, kini terasa seperti selimut yang tak bisa kulepaskan. Aku telah lama kehilangan harapan, dan aku tahu, mereka yang berdiri di pinggir jalan ini, juga perlahan kehilangan harapan mereka.
Ada sesuatu yang mencekam di tempat ini, sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kegelapan di sini bukan hanya soal malam, bukan hanya soal transaksi yang dilakukan di sudut-sudut tersembunyi. Kegelapan ini adalah kenyataan hidup, kenyataan bahwa di bawah semua lapisan kehidupan kota, ada dunia yang terlupakan, dunia yang penuh dengan mereka yang terbuang, yang hidupnya tak pernah dihitung dalam statistik politik atau pembangunan ekonomi. Di dunia ini, kami hanyalah bayangan yang bergerak di antara gedung-gedung tua dan rel kereta, terlupakan oleh mereka yang mengendalikan nasib bangsa.
Planet Senen telah menjadi pusat dari kegelapan itu, dan setiap malam, kegelapan itu semakin tebal. Aku berjalan melewati para perempuan yang berdiri di tepi jalan, dan aku tahu, meskipun mereka berharap hidup mereka bisa berubah, kenyataan berkata lain. Setiap rupiah yang mereka terima adalah harga dari keputusasaan mereka, harga dari mimpi yang telah lama hancur. Aku melihat itu di mata mereka, dan aku tahu bahwa tidak ada jalan keluar yang mudah dari tempat ini.
Pada akhirnya, kami semua hanya berusaha bertahan di dunia yang semakin sulit. Dosa bukan lagi soal benar atau salah, tetapi soal cara bertahan hidup.
---
Perempuan-perempuan yang bekerja di Senen bukanlah perempuan yang memilih jalan ini dengan suka rela. Mereka datang dari desa-desa, kampung-kampung kecil yang sepi, dengan harapan mengubah nasib di kota besar. Tetapi kota ini, Jakarta, tidak pernah memberi mereka kesempatan yang nyata. Mereka jatuh ke dalam lingkaran gelap yang tak terlihat oleh mereka yang hidup di atas, lingkaran yang menjerat tubuh dan jiwa mereka. Aku melihat mereka setiap hari, dan aku tahu, tidak ada yang memilih jalan ini dengan kehendak bebas. Mereka adalah perempuan yang dipaksa oleh keadaan, oleh kehidupan yang tidak memberi mereka pilihan lain.
"Kami hanya ingin hidup," kata mereka padaku. Kalimat itu terucap hampir setiap hari, dengan suara yang sama, penuh kelelahan dan keputusasaan. Mereka datang kepadaku dengan wajah yang tak lagi menyimpan harapan. Aku tahu itu benar. Aku tahu betapa beratnya hidup di dunia ini, hidup di bawah bayang-bayang masyarakat yang berpura-pura tidak melihat kami, tetapi tetap membutuhkan kami. Setiap hari mereka bangun dengan tubuh yang lelah, tetapi mereka tidak punya pilihan selain terus bekerja. Setiap malam, tubuh mereka diperdagangkan di bawah lampu-lampu jalan yang redup, di bawah rel kereta yang berderit, di jalanan yang tak pernah benar-benar bersih.
Di bawah sistem politik yang baru, keadaan kami tidak berubah. Demokrasi Terpimpin mungkin telah mengubah tatanan pemerintahan di atas sana, tetapi di sini, di bawah permukaan, kami tetap tak terlihat. Kami adalah bayang-bayang yang hidup di tepi masyarakat, dipandang rendah, diabaikan, tetapi tetap ada. Aku sering berpikir, bagaimana mereka bisa bertahan? Setiap hari, mereka harus berhadapan dengan pria-pria yang tak peduli pada siapa mereka, hanya melihat tubuh sebagai barang dagangan. Tetapi aku juga tahu jawabannya: mereka tidak punya pilihan lain. Dunia ini tidak pernah memberi mereka jalan keluar.
Aku berjalan di antara mereka, mendengar keluhan mereka, melihat mata-mata yang mulai kehilangan kilau. Banyak dari mereka yang datang ke kota ini dengan mimpi besar—mimpi untuk bekerja, mengumpulkan uang, dan kemudian pulang ke kampung halaman dengan kehidupan yang lebih baik. Tetapi mimpi itu segera hancur begitu mereka menyadari bahwa kota besar ini tidak ramah. Jakarta menuntut terlalu banyak dari mereka, dan pada akhirnya, mereka tidak punya pilihan selain menjual tubuh mereka untuk bisa bertahan.
Aku merasa seperti bayangan di antara bayang-bayang. Dunia ini penuh dengan dosa, tetapi di balik setiap dosa, aku tahu ada kisah keputusasaan. Setiap perempuan yang berdiri di trotoar dengan tubuh yang lelah, yang menawarkan senyum yang dipaksakan kepada pria-pria yang lewat, membawa beban hidup yang jauh lebih berat dari apa yang terlihat. Mereka adalah pejuang, tetapi dunia tidak pernah melihat mereka seperti itu. Dunia hanya melihat mereka sebagai perempuan yang terjerumus, perempuan yang tidak pantas mendapat perhatian atau belas kasihan.
Aku sendiri adalah bagian dari dunia ini, dan meskipun aku sekarang menjadi pemimpin bagi mereka, aku tahu bahwa aku tidak lebih baik. Aku adalah bagian dari sistem yang sama—sistem yang menahan kami semua dalam gelap, jauh dari cahaya yang seharusnya kami rasakan. Aku tahu betapa beratnya beban yang mereka pikul, dan setiap kali aku mendengar mereka mengatakan, "Kami hanya ingin hidup," hatiku tersayat. Karena aku tahu, hidup yang mereka bicarakan bukanlah hidup yang penuh dengan harapan, melainkan hidup yang penuh dengan perjuangan untuk bertahan di tengah dunia yang semakin keras.
Di bawah rel kereta yang berderit, di jalan-jalan kumuh yang tak pernah tidur, kami terus menjalani hari-hari yang sama. Para perempuan ini bangun setiap hari dengan tubuh yang lelah, tetapi tidak ada yang peduli. Mereka tidak bisa berhenti, karena berhenti berarti tidak makan, tidak hidup. Setiap malam mereka kembali ke trotoar yang sama, menawarkan diri mereka kepada pria-pria yang tak mereka kenal, pria-pria yang hanya datang untuk sesaat, kemudian pergi, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang sama.