Nona yang Ternoda

Kalam Insan
Chapter #5

1970-an

TAHUN 1970, pemerintah meresmikan Kramat Tunggak sebagai lokalisasi prostitusi resmi di Jakarta. Mereka bilang ini adalah solusi, cara untuk mengendalikan prostitusi yang semakin merajalela, cara untuk menjaga moral publik. Lokalisasi itu disebut-sebut sebagai cara terbaik untuk memisahkan dunia kami dari dunia mereka—dunia orang-orang baik yang hidup di siang hari, yang menutup mata terhadap kegelapan yang terjadi di malam hari. Tapi aku tahu, ini hanyalah upaya mereka untuk menyembunyikan masalah yang lebih besar. "Mereka ingin mengatur kami," pikirku, "tapi mereka tak pernah benar-benar peduli." Ini bukan tentang mengakhiri prostitusi, melainkan tentang menyingkirkan kami dari pandangan masyarakat.

Aku melihat bagaimana perempuan-perempuan yang dulu bekerja di jalanan kini dipindahkan ke lokalisasi, seolah-olah tempat itu bisa menghapus dosa mereka. Seolah-olah dengan memindahkan kami ke sudut yang lebih jauh dari pandangan publik, dosa-dosa itu akan hilang begitu saja. Tapi aku tahu itu tidak benar. Dosa-dosa ini, kebobrokan ini, tidak akan menghilang hanya karena dipindahkan ke tempat yang lebih tersembunyi. Mereka hanya mencoba menutupinya, membuatnya lebih mudah untuk diabaikan. Kramat Tunggak menjadi simbol baru dari bagaimana dunia ini memandang kami—sesuatu yang perlu diatur, tetapi tidak pernah benar-benar diselesaikan.

Pemerintah berkata bahwa ini adalah bagian dari program modernisasi. Mereka ingin menyelamatkan kota dari reputasi buruk, dari julukan sebagai tempat yang dipenuhi oleh prostitusi liar. Tetapi kenyataannya, mereka hanya ingin menyingkirkan kami dari jalan-jalan, menjadikan kami bagian dari statistik yang terkendali, bukan masalah yang nyata. Kami dipindahkan, bukan karena mereka peduli pada nasib kami, tetapi karena mereka tidak ingin berurusan dengan kami lagi. Mereka menciptakan tempat baru, tempat yang diberi label ‘resmi’, tetapi dunia di dalamnya tetap sama kelam, tetap penuh dosa dan kesedihan.

Perempuan-perempuan yang dipindahkan ke Kramat Tunggak tidak punya banyak pilihan. Mereka datang padaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab. "Apakah kita harus pindah, Bu?" tanya mereka. Aku tahu jawaban yang benar, tapi aku tidak bisa memberikannya. Karena dunia ini tidak pernah memberi kami pilihan yang nyata. Apakah kami tetap bekerja di jalanan, atau pindah ke lokalisasi, hidup kami tetap sama. Kami tetap dipaksa untuk bertahan di dunia yang tidak pernah benar-benar ingin kami ada. Mereka tidak peduli bagaimana kami hidup, selama kami tidak terlihat oleh mereka.

Aku berjalan di antara para perempuan itu, melihat bagaimana mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan baru yang ditawarkan oleh lokalisasi ini. Kramat Tunggak mungkin diberi label sebagai solusi, tetapi di dalamnya, tak ada yang berubah. Kami tetap menjual tubuh kami. Kami tetap melayani pria-pria yang datang dengan harapan yang sama—mencari pelampiasan, mencari pelarian dari hidup yang penuh kesulitan. Pria-pria itu tetap datang, seperti arus yang tak pernah berhenti, seolah-olah tempat ini tidak ada bedanya dengan jalanan di Senen atau Bongkaran. Lokalisasi ini mungkin lebih tertata, lebih teratur, tetapi pada intinya, tetap sama. Kami tetap tak terlihat. Kami tetap bayang-bayang yang hidup di pinggiran kehidupan yang normal.

Setiap malam, aku melihat perempuan-perempuan itu berdiri di depan kamar-kamar kecil yang disediakan untuk mereka. Mereka tetap menunggu, tetap tersenyum meskipun senyum itu tidak pernah tulus. Di dalam mata mereka, aku melihat kelelahan yang semakin mendalam, harapan yang semakin memudar. Mereka mungkin dipindahkan dari jalanan ke lokalisasi, tetapi kenyataannya, mereka tetap terjebak dalam kehidupan yang tidak pernah memberi mereka kebebasan. Lokalisasi ini hanyalah cara baru untuk memperpanjang penderitaan mereka, membuatnya terlihat lebih bisa diterima oleh masyarakat yang tidak ingin tahu lebih jauh.

Aku tahu, pemerintah tidak pernah benar-benar peduli pada kami. Mereka tidak peduli pada nasib para perempuan yang dipaksa untuk bertahan di dunia ini. Mereka hanya peduli pada citra kota, pada bagaimana dunia luar memandang Jakarta. Dengan adanya lokalisasi, mereka bisa berkata bahwa mereka telah mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini, bahwa mereka telah menemukan solusi. Tetapi bagi kami, yang hidup di dalamnya, lokalisasi ini hanyalah penjara lain, tempat di mana dosa-dosa kami tetap sama, hanya lebih tersembunyi.

Aku sering duduk di sudut gelap, mengamati bagaimana Kramat Tunggak beroperasi. Di balik semua kesibukan, di balik semua transaksi yang terjadi, aku merasakan sesuatu yang lebih besar. Aku merasa bahwa dunia ini, dengan segala peraturannya, dengan segala solusi yang ditawarkan, tidak pernah benar-benar mengerti masalah yang sebenarnya. Kami tidak butuh tempat baru untuk menjual tubuh kami. Kami butuh kebebasan, kami butuh kesempatan untuk hidup di luar bayang-bayang. Tetapi dunia ini tidak pernah memberi kami itu. Mereka hanya memberi kami lokalisasi—tempat di mana kami tetap menjadi hantu, terkurung dalam dunia yang semakin gelap.

Lokalisasi ini dianggap sebagai solusi, tapi bagi kami, tak ada yang benar-benar berubah. Kami tetap harus bertahan, tetap harus menjual bagian dari diri kami yang semakin lama semakin hilang. Dunia di luar mungkin melihat ini sebagai langkah maju, tapi aku tahu, ini hanya langkah mundur ke dalam kegelapan yang lebih dalam.

---

Aku, yang sudah puluhan tahun hidup di dunia ini, akhirnya dipindahkan ke Kramat Tunggak. Setelah berpuluh tahun menyaksikan tubuh perempuan dijual di jalanan Senen, pemerintah memutuskan untuk "merapikan" dunia kami. "Ini tempat yang lebih aman," kata mereka, seolah-olah lokalisasi ini adalah jawaban atas segala persoalan yang kami hadapi. Tapi bagiku, ini hanya tempat yang berbeda, bukan kehidupan yang lebih baik. Apa yang berubah jika yang kami lakukan tetap sama—menjual tubuh kami untuk bertahan hidup?

Perempuan-perempuan yang dulu bekerja di bawah kendaliku ikut dipindahkan ke Kramat Tunggak. Aku tahu, mereka tidak punya pilihan, sama seperti aku. Kami mengikuti arus ini karena tidak ada jalan lain. Di bawah mata pemerintah yang mengaku peduli pada moralitas, kami tetap harus menjalani kehidupan yang sama. Di jalanan, kami terlihat seperti masalah yang perlu disingkirkan. Di sini, kami hanya dipindahkan, seolah-olah dengan memasukkan kami ke dalam lokalisasi, masalah kami bisa hilang begitu saja. Padahal, Kramat Tunggak bukanlah tempat perlindungan. Ini hanya kandang baru, di mana kami masih tetap jadi budak dari keadaan.

Lokalisasi ini memberikan ilusi perlindungan, tapi di balik semua itu, kami tetap terjebak dalam sistem yang sama. Di Kramat Tunggak, kami mendapatkan kamar kecil yang lebih bersih, lebih tertata. Pemerintah menyediakan tempat bagi kami untuk bekerja, tapi yang sebenarnya terjadi hanyalah pemindahan dosa dari jalan-jalan ramai ke sudut yang lebih tersembunyi. Dunia di luar mungkin melihat ini sebagai langkah maju, sebagai cara untuk "menertibkan" kehidupan yang liar. Tapi bagi kami, ini hanyalah bentuk baru dari penjara yang kami jalani.

Setiap hari, aku berjalan di lorong-lorong sempit Kramat Tunggak, mengamati perempuan-perempuan yang berdiri di depan kamar mereka. Wajah mereka masih sama—penuh lelah, penuh kesedihan. Tidak ada senyum yang tulus di sini. Senyuman yang mereka berikan kepada pria-pria yang datang hanyalah bagian dari pekerjaan mereka, bagian dari cara mereka bertahan hidup. Di balik senyum itu, aku tahu ada keputusasaan yang semakin mendalam, harapan yang semakin pudar.

Kramat Tunggak mungkin lebih tertib, tapi pada intinya, dunia di dalamnya tetap sama kelam. Kami tetap melayani pria-pria yang datang dengan harapan palsu—mencari pelarian dari kehidupan mereka yang penuh tekanan. Mereka datang seperti arus yang tak pernah berhenti, mengisi kamar-kamar kecil kami, membayar harga untuk tubuh yang semakin lama semakin tak berharga. Mereka mungkin berpikir bahwa lokalisasi ini membuat segalanya lebih "bersih," tapi dosa-dosa ini tetap ada. Tidak ada yang benar-benar berubah.

Aku sering mendengar pemerintah bicara tentang bagaimana lokalisasi ini adalah solusi. Solusi untuk apa? Solusi untuk siapa? Mereka bilang ini adalah langkah maju, bagian dari modernisasi kota. Tapi bagiku, ini hanyalah cara untuk menyembunyikan kegelapan yang tak ingin mereka lihat. Mereka tidak peduli pada nasib kami. Mereka hanya ingin menyingkirkan kami dari jalanan, dari pandangan mereka. Kramat Tunggak mungkin resmi, tapi di dalamnya, kami tetap tak terlihat. Kami tetap bayang-bayang yang hidup di tepi kehidupan, terkurung di tempat yang diberi label "resmi," tapi tetap penuh dengan rasa sakit.

Lokalisasi ini tidak membuat kami lebih aman. Kami tetap melakukan hal yang sama setiap malam, menghadapi pria-pria yang datang dengan keinginan yang sama. Mereka tidak peduli di mana kami bekerja, apakah di jalanan atau di lokalisasi. Mereka hanya datang untuk membeli tubuh kami, untuk membeli sedikit pelarian dari hidup mereka yang kosong. Dan kami, kami tetap memberikan yang mereka inginkan, meskipun di dalam diri kami, tidak ada yang tersisa selain kelelahan dan rasa tak berdaya.

Aku sering duduk di sudut kamar kecilku, mendengar suara-suara di luar. Suara tawa palsu, suara langkah-langkah pria yang datang dan pergi. Aku merasa dunia ini semakin sunyi, meskipun di luar penuh dengan aktivitas. Lokalisasi ini hanya membuat segalanya terasa lebih sepi, lebih jauh dari kehidupan yang normal. Di tempat ini, kami bukan lagi manusia yang hidup dengan harapan. Kami hanya angka di statistik pemerintah, bagian dari program yang mereka sebut solusi.

Malam-malam di Kramat Tunggak terasa panjang. Aku tahu, tidak ada jalan keluar dari tempat ini. Kami telah dipindahkan dari satu penjara ke penjara yang lain, dan tidak ada yang bisa kami lakukan selain bertahan. Para perempuan yang dulu bekerja bersamaku di jalanan, mereka juga tahu ini. Mereka tidak banyak bertanya lagi. Mereka hanya menjalani hidup mereka dengan cara yang sama, karena kami semua tahu, tidak ada yang berubah.

Pemerintah mungkin merasa bahwa mereka telah menyelesaikan masalah. Tapi bagi kami, masalah ini tetap ada. Kami tetap terjebak dalam dunia yang tak pernah memberi kami kesempatan untuk bebas. Lokalisasi ini mungkin memberi kami tempat untuk bekerja, tapi itu bukan kehidupan yang kami inginkan. Ini hanya tempat lain di mana kami harus terus menjual tubuh kami untuk bertahan hidup.

---

Kramat Tunggak bukanlah tempat yang lebih baik, hanya lebih teratur. Setelah berpuluh tahun menjalani hidup di jalanan, aku kini dipaksa untuk mengikuti aturan baru. Di sini, kami tidak lagi berkeliaran di gang-gang atau trotoar gelap, tidak lagi dipandang sebagai masalah yang berserakan di pinggir jalan. Kami dipindahkan ke sebuah tempat yang lebih tertutup, lebih jauh dari pandangan masyarakat, tapi apa yang berubah? "Ini penjara baru," pikirku. Kamar-kamar kecil yang disediakan pemerintah mungkin terlihat lebih bersih, tetapi kenyataan di dalamnya tetap sama. Kami masih menjual tubuh kami untuk bertahan hidup, dan tidak ada yang lebih aman dari itu.

Setiap hari aku berjalan di lorong-lorong sempit Kramat Tunggak, mengamati perempuan-perempuan yang berdiri di depan kamar mereka, menunggu pelanggan. Wajah-wajah mereka masih sama—penuh dengan lelah dan rasa putus asa yang menumpuk dari waktu ke waktu. Dulu, di jalanan, kami lebih bebas meskipun dalam kebebasan yang semu. Tapi di sini, kebebasan itu dirampas dan diganti dengan keteraturan yang kaku. Kami dipaksa mengikuti aturan, dipaksa tinggal di tempat yang ditentukan oleh pemerintah, seolah-olah dengan begitu, dosa-dosa yang kami lakukan bisa lebih mudah diatur. Namun, dalam diriku, aku tahu bahwa ini bukan solusi. Ini hanya bentuk baru dari penjara.

Pemerintah menyebutnya solusi, tapi bagiku, ini hanyalah cara lain untuk mengurung kami. Di sini, kami tetap melayani pria-pria yang datang dengan nafsu yang sama, yang mencari pelarian dari hidup mereka yang hampa. Setiap malam, mereka datang seperti arus yang tak pernah berhenti, mengisi kamar-kamar kecil kami dengan bayang-bayang keinginan mereka. Sistem yang lebih ketat tidak mengubah apa pun. Mereka tetap datang, dan kami tetap menyerahkan diri kami, seolah-olah hidup kami hanya berarti dalam transaksi yang singkat dan memudar.

Aku tahu perempuan-perempuan yang bekerja di bawah kendaliku juga merasakan hal yang sama. Mereka dulu berbicara tentang harapan, tentang mencari jalan keluar dari dunia ini, tetapi sekarang mereka tidak lagi banyak bicara. Mereka tahu, sama seperti aku, bahwa lokalisasi ini tidak membawa perubahan. Ini hanya memperpanjang penderitaan kami, menyembunyikan kami di tempat yang lebih tertata, lebih rapi, agar kami tidak mengganggu pandangan orang-orang yang hidup di siang hari. Namun, di dalam diri kami, tidak ada yang berubah. Kami tetap budak dari keadaan, tetap harus bertahan dalam kegelapan yang sama.

Setiap malam, saat aku duduk di kamar kecilku, aku mendengar suara-suara di luar. Suara langkah kaki pria yang datang, suara tawa palsu yang terpaksa dari perempuan-perempuan yang bekerja di sini. Mereka berusaha menjalani kehidupan ini dengan senyum yang dipaksakan, tetapi aku tahu bahwa di balik senyuman itu, ada kelelahan yang tak bisa mereka sembunyikan. Senyuman yang dulu melambangkan harapan, kini hanya menjadi bagian dari pekerjaan mereka. Setiap pria yang mereka layani adalah satu lagi beban yang harus mereka pikul, satu lagi pengingat bahwa hidup ini tak pernah memberi mereka pilihan.

Lihat selengkapnya