"Sampai mana kasus tim mu?"
Adora menyembunyikan tangannya di belakang, matanya hanya menatap sepatu kets yang belum di cucinya sekitar dua minggu.
Sedari pagi, ia terjebak di ruangan atasannya. Secangkir kopi yang ia terima dari Jefri belum sempat di seruput. baginya, pagi ini adalah yang terburuk.
Di luar kantor polisi beberapa reporter dan wartawan menunggu dirinya untuk mengkonfirmasi kasus wol merah, di sisi lain suspek yang saat ini di tangan kepolisian hanyalah kaki kanan pembunuh wol merah.
"Apa sudah ada petunjuk lainya?"
"Wol merah dan lukisan," jawab Adora dengan cepat.
"hanya itu? Apa kasus pembunuhan yang tergantung dengan wol merah?" tanyanya tetap menatap ke jendela.
"Wol merah kunci dari kasus ini," Adora menekankan.
Ketua kepolisian distrik 3 mengerutkan kening, "bagaimana dengan laki-laki yang terlihat CCTV?"
Adora menatap jendral Andrea yang sedari tadi hanya memunggunginya , ia menghela napas. Di depannya ada ketua kepolisian dan komisaris kepolisian besar distrik 3.
Adora tetap memerhatikan sang komisaris, sedikit orang yang tahu kalau komisaris adalah ayah angkatnya. Ia sering di hadapkan dua karakter yang berbeda saat di berhadapan, terkadang menjadi sosok Ayah yang hangat, juga menjadi seorang komisaris yang tegas.
"Apa dia kaki tangan atau pembunuh sebenarnya?" tanya komisaris.
"Sampai saat ini dia belum mengatakan apapun."
"Jawaban mu, menunjukan kalau kau tidak kompeten. Tinggalkan kasus itu, biar unit 5 yang meneruskanya, " tegas ketua kepolisian, Erik.
Adora menghela napas panjang.
"Anggota mu terluka akibat kecerobohan kaptennya."
Adora mengerutkan kening, "ketua!"
"Dalam tiga hari, bisakah kau menangkapnya?" Jendral Andrea kembali memungungi Adora.
Belum sempat Adora menjawab, pintu ruangan komisaris di ketuk. sekertarisnya memberi hormat, "pak, profiling kriminal, ada di sini."
"Persilahkan masuk," ucapnya sembari berjalan ke sofa.
"Siang, pak," sapa laki-laki dengan jaket kulit coklat berpadu blue jins dan sepatu sneaker yang terlihat sangat mahal. ia duduk berhadapan dengan komisaris.
"Kapten Adora, silahkan duduk," komisaris mempersilahkan Adora yang masih berdiri untuk duduk.
Adora masih memerhatikan profiling tersebut.
"Kau pasti sudah mendengar tentang kasus mayat dengan wol merah, ck ... ku harap kau bisa menjadi penasehat tim kriminal," jelasbya.
profiling tersebut tersenyum dan mengangguk-angguk, setuju.
"Kapten Adora, mulai sekarang dia akan mengikuti perkembangan kasus tersebut."
"Tapi, pak ...."
"Saya, William Huggie. profiling kriminal dari kantor kepolisian distrik pusat," ia mengulurkan tangannya.
"Adora, kapten unit kriminal," membalas uluran tangan William.
"Kalau begitu, saya pamit bersama kapten Adora, ada beberapa hal yang harus saya tanyakan," ujar William yang berdiri lebih dulu dan memberi hormat.
Komisaris membalas hormatnya dan mempersilahkan keduanya untuk meninggalkan ruangan.
Adora yang masih terlihat kesal berjalan lebih cepat, William mencoba mensejajari langkahnya.
"Sebelumnya, aku di beritahu bahwa ruangan ku bersebelahan dengan mu," katanya dengan menunjukan pesan di ponselnya.
Adora hanya melirik.
Betul, begitu sampai di ruangannya mejanya bergeser ke pojok kanan berhadapan dengan meja baru yang hanya berisi komputer dan setumpuk berkas.
Elen melihat kecanggungan keduanya, menghampiri Adora.
"Kapten, kepala kepolisian tadi."
"Oke," Adora menghela napas panjang memotong penjelasan Elen, ia beranjak menuju mejanya.
"Len. Jefri, masih di ruang introgasi?"