NONE the red wol

Alpri prastuti
Chapter #6

Malam yang di berkati.

Taksi berwarna kuning terparkir di depan cafe yang nampak sepi, tetapi sangat ramai di dalam terlebih malam ini turun salju dan malam natal.

Seorang laki-laki dengan syal abu-abu yang terlilit di leher menutupi sebagian wajah dan coat yang menutupi rapat tubuhnya.

Ia membuka pintu taksi dan menghempaskan tubuhnya di kursi penumpang.

"Kemana tujuan anda, Tuan?" tanya supir taksi.

"Jalan saja," jawabnya.

"Baiklah."

Perlahan taksi meninggalkan area cafe dan mulai melaju di jalan raya, sang supir melirik penumpangnya yang tampak sibuk dengan ponsel keluaran tahun 2000-an, ia tersenyum lalu bertanya, "Tuan, apa kau suka dengan barang-barang lama?"

Penumpang langsung mengangkat ponsel berwarna merah berbentuk persegi, "tidak," jawabnya.

"Oh, kau sangat fashionnable tetapi memakai ponsel model lama, itu sangat mencolok. Omong-omong apa pekerjaan, Tuan?"

"Ck."

Mendapat jawaban tidak ramah dari penumpang taksinya, supir taksi tersebut berdehem dan kembali fokus menyetir.

Sejurus kemudian ponsel supir berdering, dari wajahnya terpancar senyum lebar juga hangat.

"Halo, cucu kakek. pasti kakek pulang cepat setelah mengantar satu penumpang, oke? Bagaimana dengan coklat dari santa? Betul, santa menjadi penumpang taksi, kakek, hari ini. Ah ... cucu kakek, baiklah. Bye," ia menutup telponnya lalu melihat ke jendela depan mobil, matanya tertuju ke navigasi mobil, "Tuan, kemana tujuan anda? kita sudah keluar dari kota. Apa masih jauh?"

"Jalan saja," jawabnya.

"Maaf, Tuan. Aku harus segera pulang sebab, cucu ku menunggu di rumah," ia meminggirkan taksi di pinggiran kota yang sedikit penerang jalan.

"Ck," ia menggeser duduknya.

"Maaf," ucap sopir, "kau bisa menemukan taksi jika berjalan lurus ke sana," jelasnya sembari menunjuk lurus.

"Oke," jawabnya.

Si penumpang mengeluarkan fountain pen mewah dari balik coatnya dan dengan tenang ia melayangkan pen tersebut ke leher belakang supir.

Darah hangat terciprat ke wajah penumpang taksinya, ia melihat senyum smirk dan hendak menikam kembali lehernya, sigap ia membuka pintu taksi dan berlari ke dalam hutan seraya memegangi leher belakangnya yang terus mengeluarkan darah.

"Tolooong ...," teriaknya.

"Benar, larilah ... ha ... ha ..., ah, rasanya ketegangan ku sedikit berkurang," ia bicara sendiri sembari meregangkan otot lehernya, tangan putih nan kekar itu memasukan pen ke dalam saku coat dan menyusul Kakek tersebut ke dalam hutan.

Ia bersiul sembari melangkah mengikuti jejak darah di tanah, hutan pinus yang tidak terlalu rimbun membuatnya lebih mudah menemukan si Kakek.

Ia tersenyum begitu si kakek tersungkur.

"Peek e boo!" Teriaknya berlagak dengan cilukba.

Si kakek menyeret tubuhnya menjauh dari penumpang taksi tersebut, seringaian senyum menakutkan membuatnya kembali berdiri dan berlari terseok.

"Kakek, kau sangat kuat," katanya, ia meraih batu besar dan melempar ke kaket.

Buagh!

"Yeah, one shoot!" Ia berteriak kegirangan layaknya pemain baseball.

Batu itu mengenai bahu si Kakek dan kembali tersungkur, "aku tahu siapa kau," gumamnya.

"Apa?" Ia mendekati si Kakek.

"Kau ...."

"Siapa aku?" tanyanya sembari mengenggam batu dan siap melayang ke kepala kakek.

"Kau ... Ben-Benedicth, pemahat patung."

Buagh!

Ia memukul kepala si Kakek hingga membuatnya tersungkur tak sadarkan diri.

Lihat selengkapnya