Natal, 20 tahun yang lalu.
Sore yang dingin bersamaan malam natal yang di sambut bahagia oleh anak-anak panti asuhan dengan menggantung kaos kaki di pintu almari mereka.
Hanya satu pintu almari yang tidak menggantung kaos kaki, suster yang juga seorang biarawati gereja menghampiri si pemilik lemari.
"Dora, kenapa tidak menggantung kaos kaki di pintu almari mu?"
Anak perempuan berumur 5 tahun itu hanya menggeleng sembari memilin syalnya.
"Apa kau kesal?"
"Apa santa akan mengabulkan permintaan ku malam natal ini?"
"Em, tentu. Sebutkan ke inginan mu dan gantung kaos kaki di sini," ujar suster sembari memberikan Adora kaos kaki berwarna merah.
"Aku meminta keluarga baru, seperti, Alea."
Suster mengernyit.
"Apa aku nakal, suster. Sampai tidak ada keluarga yang mau mengadopsi ku?"
"Tidak, tidak. Adora, anak baik. Bahkan tuhan memberkati mu dengan kecerdasan, Santa juga akan memberi, Adora keluarga baru jadi, bersabarlah."
Adora mengangguk.
Suster itu mengusap kepala Adora lembut, ia melihat ke pintu kamar di sana Alea berdiri dengan tas cangklongnya dan mengapit boneka di pelukannya.
Suster tersenyum kearah Alea, yang di balas dengan hentakan kaki.
*______________________*
Malam natal di penghujung membuat panti asuhan Bunda Maria semakin riuh, beberapa suster bernyanyi di iringi alunan biola dari seorang anak laki-laki bertubuh tegap, senyumnya mengembang setiap kali Adora mengacungkan jempol.
Di lain ruangan, Suster Riana dan Pastor Demian saling diam di depan pasangan suami istri yang akan mengadopsi Alea.
"Apa kita bisa menukar begitu saja?" tanya Suster Riana dengan gelisah.
"Tidak apa-apa, surat adopsi dari kejaksaan juga belum ada. Kita bisa membatalkan dan meminta surat hak adopsi untuk Adora," jelas Pastor.
"Tapi, bagaimana perasaan, Alea?" kini Suster Riana menatap kedua calon orang tua angkat Alea.
"St, apa yang harus di khawatirkan dari perasaan anak kecil?"
"Tetapi."
"Bapa, kami akan segera membawa, anak perempuan yang bapa sebutkan," laki-laki tegap dengan cardigan mocca berdiri seakan mengakhiri perdebatan keduanya.
"Suster, bawakan barang-barang, Adora."
Suster Riana memandang Adora yang asik memandang keluar jendala.
"Adora, sedang apa?"
"Menunggu santa."
"Eum, permintaan mu telah di kabulkan olehnya. Lihat ke pintu ... mereka orang tua baru mu serta keluarga yang kau inginkan."
Adora menoleh, lelaki tegap tersebut tersenyum bersama seorang wanita yang sudah membawa ransel milik Adora.
Adora tersenyum lebar.
Adora tersenyum kecil lalu menyeruput teh dengan pelan, di depannya Bunda Riana duduk dengan senyum yang terus mengembang memerhatikannya.
"Kau menjadi perempuan dewasa yang hebat," ucapnya sembari menyerahkan foto yang sudah kusam kepada Adora.
Adora melihat foto tersebut, jejeran anak panti asuhan serta Bapa dan para suster lainnya.
"Mungkin."
"Bagaimana kabar Ayahmu?"
"Baik."
"Kepergian ibumu membuatnya sangat terpukul."
"Begitukah? Dia terlihat sangat baik," acuh Adora.
Bunda Riana memajukan badannya dan menatap lekat Adora, " apa kau ingat tentang sesuatu?"
Kini Adora yang menatap Bunda Riana dengan curiga.
"Baiklah, bukan apa-apa. Kau mau berkeliling lalu makan siang bersama."
Adora mengangguk setuju.
Langkahnya beriringan dengan Bunda Riana, ia menghentikan langkahnya begitu melihat bingkai foto yang tergantung di dinding lorong. Matanya tertuju ke arah wanita memeluk boneka kecil, lalu wanita berambut panjang dengan kemeja bermotif kotak-kotak.
"Itu foto kalian, kau yang kecil di sana dan ini Alea," jelas Suster Riana.
"Alea, aku rasa ... wajahnya sangat familiar."
"Jelas, itu teman sekamar mu dulu. Dia keluar dari panti asuhan begitu umur 17 tahun."
Adora masih memerhatikan foto tersebut dan mengernyit, "bukankah ini Bapa Mikail?" Tunjuknya kepada laki-laki yang memegang bola dengan rambut sedikit gondrong.