Sama sekali diriku tidak pernah membayangkan bahwa masa-masa sulit itu akan tiba dengan segera. Tidak bisa dicegah, tidak pula bisa ditangguhkan. Semua begitu tiba-tiba, dan tergesa-gesa.
Satu tahun yang menakjubkan, pikirku. Seseorang yang lain muncul dalam kebersamaan kami—istriku termasuk di dalamnya, tentu saja—dalam bentuk paling rapuh; sebagian mirip aku, sebagian mirip istriku dalam struktur dan proporsi yang lain. Aku bahagia. Berhasil melewati bulan-bulan yang menggembirakan dengan mereka berdua tanpa kehilangan satu rekah senyum pun setiap detiknya.
Aku pikir semua akan bertahan lama. Nyatanya tidak. I lost my baby; my sweetyhoney; my angel. She’s gone to heaven, and I’ am so sad. But, I can’t do it anything.
Nowhere baby.
Sepanjang hari aku menangkup kesedihan yang bersemayam di kedua bola mata istriku, yang kian hari kian menjelma telaga kesedihan. Ia kerap bertanya: ke manakah bayinya pergi? Dalam posisi ini aku hanya bisa menggeleng seraya memeluk tubuhnya dengan dekap kepedihan yang kurang lebih sama, meski pada kenyataannya ia kerap menolak didekap. Baginya dekapan yang kuberikan tak ‘kan mampu membuat dirinya jauh lebih baik. Forgot it. I hope everythings gonna be oke. Soon.
“Kita akan baik-baik saja, Honey. Semuanya akan baik-baik saja,” ucapku berulang kali. Padahal aku pun sedikit tidak yakin bahwa kami akan baik-baik saja.
“Tidak ada yang baik-baik saja, Lee. Tak ada. Semuanya akan tetap seperti ini.” Istriku Kai kehilangan berbagai harapan besarnya di masa yang akan datang setelah semuanya itu. Baginya masa depan hanyalah ranah abu-abu yang tidak begitu jelas. Ia bisa saja melewatinya, tetapi tidak yakin kalau dirinya tidak akan tersesat. Aku sempat meyakinkan dirinya bahwa tak akan ada kata tersesat. Aku meyakinkannya berkali-kali bahwa ada aku, atau bayi-bayi lain yang akan tumbuh dan membersamai kehidupan kami. Itu tidak cukup. Kai marah dan menganggap bahwa kematian bayi kami tidak berarti apa-apa bagiku. Oh no.Babe, I hurt. You, really … really hurt my heart. Don’t say that’s againt. Please. Dalam keadaan normal, tuduhan itu bisa saja kupatahkan dengan kemarahan besar yang kulontarkan. Sekali ini, tak ada konfrontasi atau semacamnya. Aku hanya bisa diam dan berharap bahwa istriku mengatakannya dengan tidak sungguh-sungguh.