Rumah itu tempat berteduh. Rumah itu tempat membagi kasih sayang, tempat bercengkerama saling melepas rindu. Rumah itu kenangan: manis dan juga pahit.
“Kenapa berdiri di situ, Kai?” Aku bertanya demikian bukan berarti sedang ingin mengganggu ketenangannya yang beberapa menit lalu tampak begitu saja tumbuh di mata istriku. Hari ini 182 hari setelah bayiku dipanggil Tuhan. Harusnya aku merayakan semangat hidup istriku yang menyala pada hari ini. Namun, dari caranya berdiri dan menatap ruang kosong di hadapannya menegaskan ada sesuatu yang kini berkecamuk dalam pikirannya. Dan itu harus aku ketahui secepatnya sebelum pikiran dalam dirinya kembali menggugurkan semangat hidupnya yang mulai menyala.
“Kenapa berdiri di situ, Kai? Come to me. Everythings’ s oke, Honey?” ulangku.
Kai tak menjawab, tidak pula menggeser posisi berdirinya. Ia masih mematung.
“Cesill sedang bermain petak umpet, Lee. Lihat! Ia bersembunyi di bawah pohon palem,” terang Kai tanpa menoleh. Aku merasakan kepedihan yang bergerak di ulu hati. Baru saja aku menemukan semangat hidup Kai tumbuh. Namun kini semangat itu sepertinya akan ternodai oleh kenangan atau angan-angan yang muncul tiba-tiba dalam pikiran Kai.
“Kai masih bayi, Honey. Mana mungkin main petak umpet,” aku menanggapinya lirih saja. Berharap tidak ada kelanjutan atas percakapan ini.
“Kata siapa, Lee. Bayi kecilku sudah mampu berjalan, lho, Lee. Lihat saja sendiri,” balasnya seraya megulurkan jari telunjuknya ke arah beranda di mana sekumpulan pohon palem bergerak-gerak diembus angin. Beranda itu tempat biasa Kai menjemur bayinya ketika sudah dimandikan. Aku mengembuskan napas berat.
“Kai,” bisikku lebih ditujukan kepada diri sendiri. “Sepertinya kita harus menjual rumah ini.”
Pembahasan perihal menjual rumah membuat Kai berang. Ia sama sekali tidak setuju. Di luar bahwa rumah itu isinya melulu bayi Cesill, hal lain membuat Kai menolak. Ia ingin menghabiskan sepanjang waktunya untuk mengingat bayinya tanpa suasana yang berubah. Aku terus merayu. Kai terus bertahan.
Bukan hal mudah menjual rumah dalam kondisi perekonomian negara yang kian muram. Namun tidak berarti bahwa kesempatan untuk melepas rumah kenangan itu tertutup. Berkali-kali teleponku berdering untuk tujuan yang jelas; orang-orang yang menanyakan harga, letak, fasilitas dan segala tetek-bengek rumah tersebut, selebihnya, entah hanya sekadar iseng atau makelar yang menginginkan komisi lebih dari rumah yang akan aku jual—untuk yang satu ini aku kerap meng-kick langsung dengan pernyataan: tanpa perantara.
Jujur, kalau dibilang berat, menjual rumah ini adalah berat. Bagaimana tidak, rumah itu rumah yang kucicil dengan keringat dan air mataku juga istriku. Kali pertama aku memutuskan untuk menikah dengan Kai, jangankan sebuah rumah, pekerjaan pun masih dibilang belum mapan: gaji yang hanya cukup untuk membayar cicilan motor yang nominalnya tidak kurang dari enam ratus ribu rupiah.
Aku nekat. Tentu saja. Namun bagi Kai apa yang kulakukan adalah sebuah keberanian. Kai mengatakan, sebagai pembanding, bahwa tak banyak laki-laki seusiaku yang berani ambil keputusan seperti aku, meski apa yang mereka punya jauh lebih menjanjikan dibanding aku. Mereka sudah punya rumah, mobil mewah, tabungan banyak, tapi lebih memilih hidup sendirian tanpa mau punya ikatan. Mereka takut berkomitmen. Bukankah berkeluarga artinya menyerahkan hidup kita terikat pada sebuah ikatan? Aku pikir tidak seratus persen salah, toh, adakalanya ikatan itu tidak sebenar-benarnya mengikat. Masih ada satu atau beberapa kelonggaran dalam melakukan apa pun. Tentu saja kelonggaran itu sifatnya tidak mutlak. Kamu bisa pergi ke mana pun sendirian asal ada izin dari istrimu, itu salah satu ikatan yang sebenarnya tidak terlalu mengikat, kecuali kamu memanfaatkan hal itu untuk alasan lain. Misalnya mencari pelarian lain.
Mengingat kembali masa-masa sulit itu, dalam hati ada sedikit keraguan untuk melepas rumah tersebut. Namun, seiring semakin anehnya tingkah Kai belakangan ini, mau tak mau aku harus berkompromi dengan keputusan yang sulit ini. Ya. Aku harus melepas rumah ini dan mencari rumah lain yang setidaknya terlalu asing untuk disinggahi kenangan-kenangan bayi Cesill.
“Aku baik-baik saja, Lee. Jadi tak perlulah rumah ini jadi dijual,” Kai mengatakannya berulang-ulang. Ia selalu menegaskan bahwa tidak ada masalah dengan dirinya. Perihal ia kerap melamun dan menlantur, Kai memberikan alasan bahwa hal itu tidak separah seperti yang aku bayangkan.
“Kalau tidak percaya, boleh kamu ajak aku ke dokter mana pun asal jangan ke psikiater,” lanjutnya.
Psikiater? Bahkan, hingga detik ini aku tak pernah punya pikiran ke arah sana. Mungkin apa yang dikatakan Kai benar adanya, tetapi melihat tingkah-tingkah aneh Kai belakangan ini, sebenarnya opsi membawa Kai ke psikiater pernah ada. Namun, apa aku tega melakukannya? Bisa-bisa Kai tersinggung karenannya, seolah suaminya sendiri telah menganggapnya gila. Ia seolah berminat bila diajak ke dokter, padahal aku tahu itu hanya sebuah pertahanan diri agar aku percaya bahwa ia seolah mau melakukannya, padahal tidak.
“Aku percaya kalau kamu baik-baik saja. Memaksamu pergi ke dokter atau psikiater tidak akan aku lakukan. Hanya saja, menjual rumah tidak ada sangkut pautnya dengan semua itu. Aku hanya ingin suasana baru. Itu lebih dari cukup.” Aku sedang berbohong. Tentu saja. Menjual rumah, dalam artian menjual juga kenangan di dalamnya adalah hal paling masuk akal yang bisa aku lakukan agar Kai, lambat-laun bisa keluar dari keterpurukannya selama ini.
“Kalau aku pindah, lantas bayi Cesill gimana?”