NOSOCOME

Utep Sutiana
Chapter #3

The Hospitals

Jika ada orang yang bertanya kepadaku perihal apa yang aku takutkan selama ini, jawabannya akan selalu sama: Rumah Sakit. Kenapa demikian? Aku pikir kehilangan bayiku di rumah sakit menyisakan traumatik yang mendalam bagi diriku. Istriku terpuruk dengan kenangan di rumah lamanya, sementara aku terus merasa ketakutan ketika harus berhadapan dengan segala hal yang berhubungan dengan kata rumah sakit—klinik termasuk di dalamnya.

 

Pikiranku masih belum bisa mencerna akan apa yang sebenarnya terjadi beberapa jam lalu. Yang aku ingat, aku melihat tampang istriku yang nyaris seperti mayat. Pucat. Kacau. Dan histeris. Dia menyeretku dengan begitu kasarnya ketika aku masih ada di pintu masuk, bahkan aku belum sempat membuka sepatu bahkan menggantungkan jas kerja.

Kai menyeretku dengan tergesa dan hampir mematahkan pergelangan tanganku. Aku yakin keadaan tidak sedang baik-baik saja. Mustahil Kai menyeretku dengan begitu kasarnya kalau suasananya dalam keadaan normal. Aku berharap keadaan ini tidak ada hubungannya dengan bayi kecilku Cesill. Kai terus menarikku seolah kalau aku tidak ditarik aku akan kabur ke tempat yang jauh.

Baru kusadari selama aku diseret ternyata Kai tersedu dalam rintihan halus—setelahnya semakin menguat seiring langkah kaki kami yang mulai menaiki satu-dua anak tangga menuju lantai atas. Kamar kami, juga kamar bayiku.

Ingin aku melepaskan tarikan tangan Kai dan mengajaknya bicara dengan segala kekesalan. Ada apa ini? Jangan bilang ini tentang Cesill? Pertanyaan itu meledak di dadaku, tidak ditujukan untuk Kai secara langsung.

Sudah sampai di lantai atas. Bukan kamar kami, tetapi kamar Cesill, bayiku. Pintu kamar terbuka lebar dan mendapatkan bayiku sedang mengerang. Wajahnya sepucat boneka lilin, dan bibir yang mulai tampak membiru. Aku melepaskan pegangan tangan dan menghambur. Tidak ada yang harus kulakukan saat ini adalah dengan segera membawa Cesill ke rumah sakit. Tidak ada pilihan lain. Aku memangkunya dengan lembut, tetapi dalam ketergesaan. Bayi Cesill menangis tanpa air mata. Kedua bening bola matanya menatapku dengan sorot kesakitan. Kami masih belum membutuhkan jasa baby sitter, makanya kami hanya berdua dalam segala kecemasan ini.

“Sabar, Sayang. Ayah akan membawamu,” lirihku. “Kai! Bawa perlengkapan bayi secukupnya dan masuk ke mobil!” perintahku dalam segala kepanikan. Kai tidak bicara kecuali segera melaksanakan apa yang kuperintahkan. Ia mengambil apa pun yang sekiranya dekat dengan jangkauannya: baju, peralatan bayi, popok, dan dot.

Secepat yang kubisa aku bergegas. Kai mengikuti dengan sama paniknya. Mobil yang kukendarai kupacu dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan aku berharap—mungkin juga Kai—bahwa apa yang kami lakukan tidak terlambat.

 

Lihat selengkapnya