Bertamu di negara kincir angin untuk mengenyam pendidikan adalah hal baru sekaligus tantangan menghilang dari dunia Lia dalam sementara waktu. Perasaan saat pertama kali mendatangi kota Amsterdam adalah timbulnya efek psikologis bagi para turis yang menyajikan banyak penginapan dari kelas backpaper sampai yang mewah. Selain itu, bunga-bunga bermekaran di jaringan yang menghubungkan kanal dan situs pejalan kaki nampak memikat penglihatan. Sebenarnya aku ingin melihat karpet tulip yang dilalui menuju kota Lisse dan bersepeda di sana, kebun tulip tersebar luas memanjang tanpa batas. Terlebih pohon magnolia di pusat kota yang sedang berbunga merupakan spot favorit semenjak musim semi. Meski waktu belajarku di Fakultas Humaniora hanya sisa dua bulan sedangkan empat bulan lalu malah fokus berjalan-jalan menikmati musim semi berkelanjutan, aku tak mau cepat-cepat kehilangan momen berharga yang belum pernah didapat selama berada di luar negeri.
Tentang kulinernya, Belanda tidak memiliki tradisi makanan khas. Oleh karena itu Belanda banyak menyerap kuliner dari para pendatang yang menetap di sana. Yang paling sering adalah kuliner Turki dan Maroko. Salah satu jajanan di Belanda yang aku sukai adalah Patat met Satesaus, yang artinya kentang goreng dengan kuah sate dari kacang. Camilan itu bisa dicari dengan mudah di beberapa stand luar.
Sejujurnya, aku berkeinginan untuk S2 ke luar negeri. Papa mendukung keputusan itu dan kami berdua sering datang ke International Education Expo. Sejak keluar masuk dari pameran satu ke pameran lain, aku konsisten membuat list universitas dan jurusan yang ingin dituju. Semua universitas yang tertera mempunyai passing grade-nya masing-masing hingga tercetuslah sebuah ide untuk memulai tekad itu dengan mendaftar pertukaran mahasiswa. Pilihanku yakni Belanda. Kebetulan sekali UI bekerja sama dalam mentransfer sejumlah mahasiswa untuk pergi ke Leiden University. Kali ini aku mendaftar melalui International Office (IO) milik UI.
Jadwal kereta dari Amsterdam centraal station ke Leiden centraal station masih pukul dua belas siang waktu setempat. Aku memutuskan untuk naik bus sebagai alat sambung transportasi lanjutan. Lia membawakan roti yang cukup terkenal di Indonesia, yang setiap lagunya didengungkan saat pengendara motor berkeliling di depan rumah. Bedanya, Lia membeli roti itu di supermarket. Aku tersenyum memandangi satu roti besar yang dikemas dengan bungkus transparan. Logonya tersohor, siapa saja yang berasal dari tanah air akan mengenali makanan tersebut. Setengah jam melalui perjalanan, tibalah aku di Leiden centraal station. Rika teman yang beda setahun denganku, terlihat mencari seseorang dibalik celah-celah gerombolan manusia.
LEIDEN. Kota yang terletak di provinsi Holandia Selatan adalah sebuah provinsi Belanda yang beribu kotakan: Den Haag. Provinsi ini terletak di sebelah barat Belanda. Belum lama ini, selain mengikuti jam kuliah, aku sudah mengunjungi Hortus Botanicus Leiden semacam kebun raya tertua di Eropa dan pergi ke Naturalis Biodiversity Center, museum sejarah alam nasional dan pusat penelitian keanekaragaman hayati. Hanya itu yang menjadi pembelajaran awalku di Leiden. Berbicara tentang Universitas Leiden, aku mencintai ornamen-ornamen gedungnya. I loved the canal. Kanal yang selalu dipenuhi kapal-kapal kecil dan juga jalan setapak yang sempit nampak memikat. Bangunan-bangunan tua yang memiliki mayoritas warna cokelat mampu menyihir mata dari kelelahan belajar mati-matian. Aku menyukai keragaman budayanya. Kemauan ambisiusku meronta-ronta saat berada di kelas demi memuaskan pemandangan sempurna usai mengikuti tes ujian. Kesimpulannya, betah di negeri orang adalah kunci paling awal. Kalau tidak, mungkin aku akan pulang ke Indonesia seminggu sekali dengan catatan ingin berhenti dari college tersebut.
Sore ini diawali dengan bersandar di depan pintu yang masih tertutup rapat. Teknologi canggih seperti smart door lock makin memusingkan kepala. Belum lagi harus connect dengan aplikasi di smartphone yang ribet. Tapi housing yang sudah menjadi tempat tinggalku selama empat bulan ini baru merenovasi bangunannya agar lebih aman terkendali. Penyebabnya cuma satu, mahasiswa dongkol dan mabuk berat menerobos masuk ke asrama seseorang. Hampir saja, perempuan itu nyaris diperkosa. Berkat teriakan maut dari pita suara yang diciptakan Tuhan lebih lantang ketimbang laki-laki, seluruh manusia di sekitar asrama mendatangi asal suara. Aku merengek takut pada Rika. Kupikir hanya Indonesia yang memiliki kasus kriminal semacam itu. Nyatanya tidak juga. Agen dari pemilik housing memutar cara untuk membuat kita merasa nyaman tinggal di sini. Salah satunya ya pembukaan pintu utama. Bukan itu saja. Pagar yang awalnya kecil, dibuat makin runyam. Pandanganku sekarang beralih pada pagar berkawat besi yang ketinggiannya tidak lagi sejajar dengan kepalaku. Tapi nyaris dua kali tinggi bila seseorang menaiki pundakku.
Menghabiskan perjalanan udara sekitar 14 jam belum terhitung dari bandara ke housing rasanya sudah membuatku ingin bunuh diri. Rasa kesal itu memuncak saat Lia menambahkan satu koper lagi untuk kubawa pergi. Pakaian sehari-hari miliknya yang dulu masih belia telah sukarela diahli wariskan padaku. Katanya, agar aku tidak menghambur-hamburkan uang untuk shopping. Aku hanya mengangguk sambil mengusap dada membawa barang thrift kepunyaan mamaku sendiri. Padahal kalau Lia tau, hampir sebagian orang yang tinggal di Amsterdam sering membuang baju tak layak pakai di tong sampah depan rumahnya. Hasil itulah yang dibawa masuk ke tanah air dan dijualbelikan dengan kategori pakaian import. Khusus masalah ini, Lia pun tidak berani mengalokasikan koleksi baju jadulnya ke pedagang rongsokan. Jika perihal yang mendesak, mungkin akan berkurang karena bencana alam yang melanda di suatu daerah.
Longdress polkadot, kemeja kerah yang memiliki garis lengkung body fit dan puff shirt yang mempunyai bantalan di pundak kanan kiri. “Oh, my God! Mama…” Aku mendesah kesal saat mengobrak-abrik koleksi baju Lia, tapi sejurus kemudian aku melihat blouse bermotif bunga matahari memadati seluruh kainnya. Mataku ikut bersinar secerah warna kuning dan mengambilnya dengan cepat. Cermin itu menampilkan sosok gadis berkulit terang dengan rambut tergerai indah. Aku melompat kegirangan saat mendapati baju Lia pas di badan, sesekali memberikan pose terbaik selayaknya supermodel. Aku duduk kembali dan menyelundupkan kedua tangan di lipatan baju paling dalam. Tarikanku kasar hingga terasa ada benda yang menghantam pergelangan kakiku.
“Shit!” geramku kesal. Aku kembali menekuri setelan baju dan rok bermotif stripes yang lagi-lagi membuat terpikat. Aku mengganti baju sebelumnya dengan setelan milik Lia.
“So pretty…” Jempolku melayang di udara seakan menyetujui bahwa busana itu memang terlahir untukku. Anggota tubuh yang lain tidak terasa sesak, itu tandanya mereka mengizinkanku untuk memakai setelannya. Seluruh baju yang telah dicoba tidak terlihat jadul satu pun, bahkan modelnya hadir lagi di era modern. Aku kembali ke koper dan tak sengaja menginjak buku album berwarna merah yang tergeletak bebas di karpet bulu.
“Koleksi ceritaku…” Tulisan di sampul itu membuatku mengeja pelan-pelan. Tapi tak lama, aku tertawa terbahak-bahak saat melihat sketsa burung gagak reyot di samping judulnya.
“Sepertinya Mama ingin menggambar, tapi dia sadar diri kalau kemampuannya terbatas. Hahaha.” Sejenak aku menghabiskan tawa sebelum membuka buku album tersebut. Halaman pertama itu kubuka secara hati-hati. Nampak daftar isi yang ditulis tangan dengan asal-asalan tepat di belakang sampul. Aku tau itu coretan siapa. Mamaku. Lia Djarmono. Halaman kedua, aku terperangah karena terdapat amplop lawas tertempel rapi di sana. Lembar ketiga, keempat dan seterusnya juga diisi dengan amplop di masing-masing halaman. Cukup aneh, karena album itu harusnya untuk mengoleksi foto sebuah potret diri, bukan malah amplop yang direkatkan di dalamnya. Aku mengulas senyum tipis sembari membelai benda itu.
Berikut contoh daftar isi yang ada di dalam album foto:
DAFTAR ISI
1. Aku di tahun 1998
2. Mama dan Papa
3. Feri-ku
4. Pacaran
5. Ada apa dengan Cina?
6. Nostalgia
“Kreativitas Mama memang tiada henti.” Aku mengingat momen saat bersama Lia tepat musim hujan menjatuhi wilayah tanah air. Kala itu, aku kehilangan cincin emas pemberian Lia, alhasil Lia marah-marah tiada henti. Saat aku berkata bahwa cincinnya mungkin saja jatuh di sekitar tanaman bunga ditambah sekeliling kompleks sedang lampu mati. Dengan kecerdasan Lia di luar batas, ia menyalakan lampu sorot dari mobil agar cincinnya bisa kutemui bantuan cahaya itu. Tentu saja idenya berhasil dan kita berdua tertawa satu sama lain. Konyol sekali bukan?
Aku melepas plastik bening yang menghalangi amplopnya. Setelah itu keningku mengernyit seakan beban berat baru saja muncul untuk menggangguku nanti. Amplop itu putih, tapi sudah berubah kekuningan. Ada perangko dan bekas stempel bergambar bunga. Uniknya amplop itu berjudul sesuai daftar isi yang ditulis Lia. Bibirku mengucapkan judul pada amplop pertama.
“Aku di tahun 1998.” Rasa penasaranku tinggi, aku membuka amplopnya dan menemukan surat yang terlipat rapi menjadi empat bagian. Kertasnya bercorak garis-garis yang biasa digunakan saat sekolah. Aku berani jamin, Lia pasti menyobeknya dari buku tulis. Sebab kertasnya tidak rapi dari ujung ke ujung. Pelan-pelan aku mulai membuka surat itu. Kedua bola mataku terarah pada tanggal di bagian pojok atas kanan.