NostalDia

Melia
Chapter #3

Aku di Tahun 98

Aku di tahun 1998.

Surabaya, Januari 1998.

Semampir, sebuah kecamatan di Surabaya Utara yang terkenal dengan panas cuacanya serta pedagang yang terdiri dari banyak daerah berkumpul jadi satu mencari sesuap nasi. Matahari seakan memiliki suhu paling besar di daerah yang dihuni oleh sekelompok warga non lokal. Tentu tidak hanya Semampir yang dihuni oleh kalangan Madura, Arab, India dan Cina. Tapi juga Kampung Pecinan yang sebagian besar warganya adalah keturunan Tionghoa yang berpusat di Jalan Tambak Bayan. Di sanalah perkembangan Lia diuji dengan hidup berdampingan serta serumpun bersama para tetangga yang memiliki toleransi tinggi.

Berbicara tentang Kampung Pecinan, kawasan itu memiliki nuansa merah tua dan kuning emas yang menjadi saksi sejarah peradaban masyarakat Tionghoa di masa pemerintahan kolonial Belanda. Selain itu, di sana ada juga Kelenteng Boen Bio yang digunakan hanya untuk penganut agama mereka. Struktur bangunannya mengambil gaya arsitektur khas Tiongkok yang dibangun oleh tukang asli dari Tiongkok. Ornamen dan hiasan tempat itu mempunyai arti yang bersifat simbolik berupa doa. Salah satu contohnya adalah tanjakan licin yang berada di pintu gerbang kelenteng yang mengarah ke pintu tengah kelenteng. Charles Adiyokso merupakan jemaah paling rajin dan tekun yang hampir setiap hari keluar masuk kelenteng untuk menyucikan diri. Alasan beliau sering beribadah khusyuk selain rumahnya hanya ditempuh sejauh lima langkah, ia sering menyapa tetangga dan membujuk untuk datang ke toko kelontong miliknya.

Tepat di pinggir rumah Charles, di sanalah Lia tinggal. Tetangga lain yang rukun dan sangat iri dengan keharmonisan Indro dan Retno beberapa melayangkan kecemburuan. Orang tua Lia hidup sederhana dan tak memiliki hutang untuk menambal kehidupan mewah. Bukan karena tak ada masalah, tapi semua anggota di sana cukup baik menyembunyikan problematika. Sejauh ini, rahasia mereka gagal. Diumbar bak jamu yang dihidangkan lalu mencuat keluar saat botolnya dikocok. Keluarga Retno dan Indro tidak lagi cemerlang setelah kabar burung beredar luas. Bahkan Indro terpaksa masuk penjara.

Rumah berwarna putih tulang dengan bengkel bernama Jaya Abadi nampak ramai di luar karena berantakan, lain dengan kondisi di dalamnya. Retno tengah memasak dengan kebisingan kompor gas dan juga wajan yang tidak lagi mengilat sejak pertama dibeli. Sejak pukul 04.00 WIB, Retno cukup sibuk di dapur menyiapkan makanan sekaligus mengirim untuk suami yang berada di lapas. Sebentar keningnya mengernyit lalu diusap dengan punggung tangan. Setelah meletakkan menu di atas meja, ia menggebrak pintu kamar anaknya.

“LIA!” teriak Retno. Ia memanggil putri semata wayangnya yang masih tertidur pulas. Teriakan itu tidak memiliki dampak luar biasa pada Lia, hanya mengerang sejenak dan tetap melanjutkan tidur bak princess menunggu ciuman pertama dari sang pangeran.

Sakjane arek iki matek ta urip se.”[1] sungutnya sambil menyingkap daster yang longgar dan terus menggedor-gedor pintunya. Retno langsung membuka engsel pintu yang membuatnya tetap tertahan di tempat. “Tumben dikunci…” curiga Retno tanpa dasar.

“LIA! Sakjane kon iku males sekolah to! Ayo tangi daripada tak grujuk banyu!”[2] Retno masih menempelkan telapak tangannya ke pintu.

Iyo-iyo. Astaga!” Lia terpaksa bangun dan duduk mengacak-acak rambutnya seperti singa. Jam weker yang Lia atur pukul 06.00 WIB sudah tidak berlaku. Setiap hari dan setiap pagi, alarm itu tergantikan dengan alarm otomatis yang keluar dari mulut mamanya. Lia menggerutu kesal sambil membuka selot pintu kamar.

Ya Robbi Sholli Ala Muhammad. Nawaitul wudhuu-a liraf'll hadatsil ashghari fardhal lilaahi ta'aalaa! Lia Djarmono!” Seperti biasa Retno akhirnya mengeluarkan jurus kesal dengan tampang yang juga sebal.

“Kalau Mama mau wudhu, jangan di kamar Lia. Sana di kamar mandi,” ucapnya hendak menutup pintu kembali.

Wes jam piro iki? Ayo adus!”[3] Retno menahan pintunya sebelum Lia berbalik badan.

Iyo, Ma. Sek ta, kate jupuk jepit iki loh.”[4] Lia jadi ikut kesal sendiri karena dibentak oleh sang mama. Mau tidak mau ia mengambil kasar jepit di ujung kasur dan memutar-mutar rambutnya seperti kincir angin. Diusianya yang masih 17 tahun, perasaan labil dan menggebu-gebu itu mulai muncul di diri Lia. Begitu pun dengan amarah Retno yang semakin hari tak terkendali sejak Indro masuk penjara akhir tahun 1997.

Awal bulan Januari itu, harusnya mereka melakukan perjalanan ke Purwokerto. Alamat rumah eyang Lia dari orang tua Retno. Tapi semua ditunda berkat musibah yang menimpa Indro. Tuduhan tidak benar telah terjadi padanya, padahal jelas-jelas bukan Indro yang membakar restoran itu. Mana bisa seorang accounting melipir ke dapur untuk menghangatkan sayur? Ke mana semua juru masak itu? Lalu saat terjadi kebakaran, justru Indro manusia yang harus disalahkan karena menjadi saksi terakhir sekaligus korban pertama yang diwajibkan mengaku bersalah. Alhasil liburan dua Minggu di sekolah terbuang sia-sia. Lia hanya mengatur waktunya untuk menjenguk papanya di lapas dan mengemas makanan kesukaan Indro. Dan hari ini, di Senin pagi. Lia menjalani kehidupan lagi sebagai siswi SMU kelas tiga setelah libur panjang. Selesai sudah tidur panjang yang menggerayanginya dua Minggu penuh.

KRING!

Alarm itu berbunyi tepat pukul 06.00 WIB. Sosok Lia yang keluar dari kamar mandi langsung memencet pengait weker agar berhenti berdering. Jika dia bisa membayangkan jam weker di sinetron kartun, mungkin jam tersebut akan melayang seiring dengan bunyi deringnya ditambah efek-efek animasi. Lia becermin dengan kaca yang patah hampir separuh dari utuhnya. Ia mematung cukup lama sambil melipat kerah baju. Dilipatnya lengan kanan dan kiri untuk membuktikan bahwa dia pemberani. Menurutnya, itu sebagai logo bahwa Lia juga berhak menentang siapa saja. Ralat, tidak ada yang mendekat hanya sekadar mengganggunya. Tapi itu semua buyar ketika Retno membenarkan lengan bajunya dengan amarah. Di ruang makan, Retno memulai berbicara santai namun mematikan.

“Kamu itu bocah perempuan, bukan laki-laki. Bergaya manis sedikit lah.” Retno meletakkan dua piring di atas meja, sedangkan gadis itu duduk dengan raut muka masam. Kalau sudah begitu, Retno pasti bernyanyi tiada henti untuk membuatnya sadar. Lia memutar bola mata, malas mendengar nasihat tersebut. Cepat-cepat Lia menghabiskan lauk tempe dan tahu bacem tanpa membalas sepatah kata. Hanya dua cara untuk melawan Retno, memuji apa pun yang ada di depannya atau meninggalkan dalam keadaan serba salah.

“Ma, tempenya enak banget lho. Beli di Mbak Sri lagi?” Seperti ini misalnya, Lia akan memuji masakan Retno. Terpaksa.

“Oh ya dong. Kalau enak, itu berarti Mamamu pintar masak, bukan gara-gara beli tempe di Mbak Sri. Kalau nggak beli di sana, juga tetap enak kok.” Retno tersenyum tipis dan ikut sarapan di sisi putrinya.

“Iya juga sih.” Lia terkekeh dan meletakkan piring kotor di bak cuci lalu membilas bersih tangannya.

“Nanti siang Mama mau ke Medaeng,” ucapnya dengan mengunyah.

“Sendirian? Lia juga bisa habis pulang sekolah.” Lia menawari meski agak malas, karena jarak dari rumah ke Medaeng memakan waktu sekitar satu jam. Belum lagi harus oper angkot menaiki bus ijo, sebutan kendaraan bagi warga Surabaya-Sidoarjo. Hampir setiap hari, Retno selalu berkunjung ke Rumah Tahanan Klas I Surabaya, desa Medaeng yang masuk di wilayah Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo.

“Mama nggak capek emangnya ke sana terus tiap hari?” Lia melewati Retno, menuju kamarnya untuk mengambil tas.

“Ya emangnya kamu mau pergi ke sana?” balas Retno telak.

“Emangnya di penjara nggak ada makanan apa?” Lia mulai mengkhawatirkan kesehatan Retno yang terus-terusan membesuk.

Lihat selengkapnya