Aku terbangun dengan napas terburu-buru, mataku menyipit. Ternyata kaca jendela belum tertutup sempurna. Benar saja, cahaya masuk dengan mudah tanpa mengindahkan pemiliknya. Bukan itu yang jadi masalah, tapi mimpi semalam. Mimpi yang sama persis seperti alur di surat itu, namun lebih detil.
“Kenapa kayak nyata ya?” gumamku tak jelas.
“Sudah pagi ya emangnya?” Jam dinding vintage berwarna cokelat tua di atas lemari menunjukkan jam delapan tepat.
“Oh, masih jam delapan.” Aku hendak mengambil album foto di sisi bantal lalu mulai mengedip berkali-kali, seakan mengingat sesuatu.
“Wait, jam delapan? Aku kan ada kelas jam delapan! AARGHH!” teriakku kencang. Dengan langkah cepat, aku mengambil totebag dan juga mengikat rambut secara acak-acakkan. Aku menggeleng keras, mengambil ponsel dan juga album foto Lia.
Kelas itu ditata dengan kursi dan meja yang jika digabungkan membentuk huruf U dengan profesor berada di tengah menjelaskan materi. Profesor Mark mengangguk dan melirik jam tangan. Jika beliau berperilaku seperti itu, tandanya aku masih diperbolehkan mengikuti perkuliahan. Jika kodenya gelengan kepala, aku harus segera angkat kaki dari sana. Kenyataannya, aku berhasil duduk di samping Alexander yang menyambut hangat kedatanganku. Aku hanya telat sepuluh menit, untung saja housing tempatku berada, berjarak dua ratus meter, cuma memakan waktu sekitar tiga menit lamanya dengan jalan kaki.
“Hai.” Al melambai.
“Hai,” balasku singkat.
“Profesor juga baru sampai. Tenang aja, belum ada yang terlewat banyak.” Al berbisik tepat di telinga.
“Oh… oke.” Aku melayangkan jempol padanya.
Aku mengembalikan fokus dan mendengarkan saksama beberapa hal yang diucapkan dosen. Al nampak mendekat dan berbisik lagi, “Kamu belum mandi, Na?”