Mama dan Papa.
Surabaya, Februari 1998
Sepulang sekolah, Lia langsung mengganti seragamnya dengan kaus polos. Ia lebih memilih kain yang menyerap keringat dari pada berbahan katun seperti kemeja. Perjalanan kali ini, Lia akan pergi menghadap sang papa lagi. Setiap tiga hari sekali termasuk weekend, Lia akan mampir mengunjungi Indro di lapas demi memberikan makan siang sekaligus menjamu rindu. Setelah transit beberapa kali dari angkot satu ke angkot yang berbeda warna, Lia sampai juga di Rumah Tahanan Klas I Surabaya.
Lia memasuki rutan dengan meninggalkan identitas diri dan menuju sel tahanan Indro. Di sana, beliau nampak memotong kuku kaki dengan serius. Menekuk telapaknya sampai hampir menyentuh dagu. Dengan rambut mulai gondrong dan wajah yang makin keriput meski baru dua bulan ditinggal, Lia tak kuasa menitikkan air mata. Dibalik jeruji besi itu, sarat matanya memunculkan kekaguman setelah melihat Lia. Lega sekaligus haru, bercampur tanpa ada cela. Ingin memeluk, tapi tak bisa dilakukan.
Ada yang spesial hari ini. Indro berulang tahun ke-54. Matanya berkaca-kaca saat petugas di sana membukakan kunci sel untuknya. Lia memberikan rantang berisi nasi goreng dan tempe mendoan, ada juga ikan lele goreng kesukaan papanya. Lia duduk bersila di depan sel sambil berhadap-hadapan. Mereka terhalang besi terali. Petugas itu mengunci kembali agar Indro tak bisa keluar begitu pun dengan Lia tak bisa masuk.
Sinar mentari dari jendela ujung membuat pertemuan anak dan ayah itu menghangat. Tangan Lia perlahan naik memegang besi-besi yang menjadi penghalang. Sangat dingin meski uap debu yang terbias oleh sorot matahari berusaha menutupi rasa dinginnya. Sembari menemani papanya makan dengan lahap, ia menjelaskan menu yang dibawa.
“Itu ada mi kuning dari Ko Charles, Pa. Enak, tadi Lia udah coba.” Lia menunjuk di bagian paling bawah tertutup lauk pauk utama. Indro tersenyum lantas mengangguk.
“Pa… Mama sekarang kerja di pabrik plastik ikut temannya. Setiap hari, kadang pulang pagi kadang pulang malam. Tergantung sif.” Lia memulai pembicaraan lagi, meski sejak tadi belum ada kata berbobot yang muncul dari bibir. Beliau hanya mengangguk dan tersenyum sesekali. Lia mengamatinya perlahan, bau keringat yang timbul dari badan Indro sangat menusuk indra penciuman. Faktanya, barang-barang dari luar tidak boleh dibawa ke dalam penjara selain makanan. Bahkan, untuk baju, para tahanan harus mengenakan pakaian khusus dari penjara. Dari pengungkapan petugas yang posisinya semacam resepsionis sempat memberitahukan pada Lia, “Bulan ini adalah bulan terakhirmu membawa makanan dari luar. Kami khususnya peraturan baru dari instansi, sudah tidak memperbolehkan pembesuk membawa apa pun yang berkebutuhan bagi tahanan. Tolong sampaikan informasi ini pada Ibumu sekalian.” Hal seperti itu yang membuat Lia cukup diam saat menghadapi papa. Lia takkan lagi melihatnya makan dengan lahap meski rutan menyiapkan makan tiga kali sehari.
“Wajar Mamamu kerja, Nak. Papa nggak bisa lagi kasih nafkah kayak biasa. Kamu yang kuat ya. Kamu yang sabar, Nak. Sebentar lagi Papa keluar.” Itulah pembicaraan yang berhasil menenangkan Lia dalam sementara waktu.
Keluar dari rutan, kelopak matanya menyipit. Tangannya terletak di kepala untuk menghindar dari polusi kendaraan termasuk matahari yang berada tepat di atas ubun-ubun. Lia masih belum ingin pulang. Tangannya merogoh kantong celana denim, berusaha menghitung ada berapa uang kertas yang dibawa. Sepertinya cukup jika dilihat dari bisik-bisik bibirnya. Langkahnya tegas keluar dari area rumah tahanan yang berada di dalam gang. Lia menapaki kerikil-kerikil menuju jalan raya besar. Pigura selamat datang di ujung jalan membuatnya tersenyum, sebentar lagi Lia akan bertemu banyak transportasi dari berbagai kalangan. Saat akan berbelok ke arah kiri dan melewati jembatan kecil, bis berwarna hijau khas kendaraan Surabaya-Sidoarjo berhenti di depannya. Feri turun setelah melewati kernet, lantas bis itu melaju kembali meninggalkan asap hitam mengepul. Mereka saling menahan langkah untuk siapa yang lebih dulu keluar dari situasi canggung. Kendati kemudian Lia melewatinya begitu saja tanpa bertegur salam.
“Lia…” Panggilnya jelas. Lia otomatis terhenti dan menoleh.
“Opo?” jawabnya ketus. Ia masih kesal dengan perbuatan Feri yang melaporkan dirinya pada Pak Hasyim. Untung saja guru itu mengetahui permasalahan Lia sejak awal, kalau bukan beliau yang menangani, mungkin sekarang Lia sudah di skors.
“Kamu tau di mana tempat jual kue tart?” Jin longgar yang dipadu padankan dengan kaus oblong membuat tampilan Feri seperti konglomerat muda. Rambut yang diatur sedikit ke atas dan kaku menyempurnakan wajah tampannya.
“Memangnya siapa yang ulang tahun?” Lia tertarik karena tujuan selanjutnya memang akan mencari toko kue. Ia hendak membelikan Indro kue tart sebagai pengungkapan rasa kasih sayangnya di hari kelahiran. Kenapa bisa sama dengan Feri?
“Papaku.” Feri memandangi riasan natural di wajah Lia. Bedak dan juga pewarna bibir nampak merona merah. Sadar diperhatikan seperti itu, Lia membuang muka.
“Aku juga lagi cari toko kue. Ya sudah, kita cari sama-sama.” Lia berjalan lebih dulu disusul langkah besar Feri.
“Memangnya siapa yang ulang tahun?” Feri balik bertanya.
“Papaku.”
“Kok sama?” tanyanya penasaran.
“Ya nggak tau lah!” Lia jadi bahan kecurigaan Feri setelah insiden di sekolah kemarin berujung sia-sia baginya untuk melaporkan gadis itu.
“Oke-oke.” Alangkah baiknya, dia mengalah demi keselamatan bersama.
Mereka menyusuri toko-toko kecil yang bernaung di pinggir jalan. Terkadang salah memasuki toko yang tidak dijelaskan pada plakat mereka menjual apa sebab kacanya yang hitam. Di sana kebanyakan penjual agen bis yang menjajakan tiket jarak jauh dan pulang pergi. Lia dan Feri sampai harus berjalan ke area Purabaya, terminal Bungurasih yang terkenal sebagai pemberhentian bis wilayah Sidoarjo-Surabaya.
“Percuma masuk sampai dalam. Nggak bakal ketemu pedagang kue. Ayo balik ae!” ucap Lia dalam bahasa Jawa campur Indonesia.
“Ya siapa tau aja, ada gitu.” Feri menatap Lia yang mulai malas berjalan. Ia seakan menunggu Feri datang kepadanya dan tetap berdiri di pintu masuk terminal.
“Kon duduk arek Suroboyo. Ojok ngeyel!”[1] Lia bersiap menyeberang jalan dan meninggalkan Feri yang bersikukuh dengan pendirian. Tiba-tiba, dari arah kanan sosok laki-laki itu membantunya melambai agar pengguna jalan memelankan kendaraan. Lia menengadah menatap matanya. Dirasa belum siap ke tempat seberang, tangan Feri menarik jemari Lia untuk mengikuti geraknya. Untung saja tidak ada yang menekan klakson dengan perubahan lambat Lia. Sesampainya di bahu jalan, Feri melepas tangan Lia dan berkacak pinggang.
“Mau makan dulu?” Tawaran itu membuat dada Lia berdegup kencang. Ralat, jantungnya yang tak keruan.
“Nggak usah. Aku langsung pula…” Matanya menangkap toko roti Barokah sekitar 10 meter dari posisinya berada.
“Akhirnya…kita nemu juga! Lihat itu!” Lia meloncat-loncat kegirangan sambil berteriak pada Feri. Cowok itu memutar kepalanya menghadap arah yang ditunjuk Lia.
“Itu toko roti?” tanyanya polos.