Aku terbangun dan mengedip-ngedipkan mata. Samar-samar wajah dua orang yang familier muncul sempurna di depanku. Alexander dan Rika. Keduanya merona merah dan berkeringat karena khawatir. Dinding dan piranti-piranti di ruangan itu menyerupai rumah sakit. Seluruh peralatan medis dan laboratorium yang dulu ada di bayangan mimpiku, terasa hari ini. Aku terbelalak dan duduk terburu-buru, hampir saja jatuh ke lantai jika Al tidak refleks menangkapku.
“Kamu jangan banyak gerak dulu.” Papahnya ke atas ranjang.
“Sorry. And why? Kenapa aku…kita di sini?” Aku menanyakan hal yang tidak kuketahui. Bahuku terangkat, menunggu jawaban dari mereka. Semoga saja aku tidak terdiagnosa penyakit menular atau berbahaya hingga berani-beraninya mereka membawaku ke sini.
“Ana. You know why? Kita yang harusnya tanya, kenapa kamu nggak bangun dari tadi.” Rika mulai berkacak pinggang tanpa takut aku ada apa.
“Hah?” ucapku tersentak.
“Aku nggak papa lho. Kenapa kalian setega itu bawa aku ke rumah sakit.” Aku berdiri dengan hati-hati, tangan Al terulur tapi kuabaikan karena bisa tanpa bantuan.
“Kamu nggak ingat apa-apa, Na?” Al membuatku berpaling mengamati beberapa butir obat yang tersedia di meja. Aku menghampiri dan membaca sekilas tentang komposisi di balik kemasan.
“Aku sakit ya?” tanyaku tanpa menoleh sekali pun.
“Kamu ketiduran, Na. Segala upaya buat membangunkan kamu itu susah. Akhirnya aku panggil Rika.” Al buka suara, obat-obat itu kuletakkan kembali ke tempat semula.
“Ya. Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya. Cara paling ampuh, harusnya menyirammu dengan air. Tapi karena kita baik hati, aku… maksudku kita membawa kamu ke sini.” Rika memutar badanku agar terarah padanya.
“Anehnya total pingsanmu selama empat jam.” Al juga ikut memberi penjelasan sembari melihat jam tangan.
“Empat jam?” Aku mengigau sepertinya. Aku tidak sedang melakukan ujian lamar pekerjaan, tidak juga mengikuti kompetisi debat esai internasional. Namun aku mengalami kecapekan yang luar biasa?
“Halo.” Suara pria tua melerai obrolan kita. Di belakang, suster membawa catatan dan pena untuk mengakomodir kondisiku.
“Sudah bangun?” Dokter Jamie, itulah yang kubaca pada nametag di jas putihnya. Raut wajahnya mengisahkan kilauan sendu. Ramah tamahnya tercetak jelas peduli padaku.
“Ah, sudah, Dok.” Aku menunduk sekilas sambil berjalan lebih dekat padanya.
“Berdasarkan laporan kami. Anda hanya kelelahan yang berakibat dengan tidur panjang. Kami telah memberikan vitamin yang sudah disampaikan pada rekan anda.” Aku mengangguk-angguk mendengar penuturan tersebut. Ternyata hanya vitamin. Kenapa otakku tidak bisa mencerna hal-hal positif?
“Jadi, saya tidak papa, Dok?” Usahaku dalam mencemaskan diri sendiri sungguh besar.
“Anda baik-baik saja. Kekhawatiran rekan-rekan anda saja yang membuat mereka takut anda berada di situasi buruk. Terlebih pada rekan laki-laki.” Dokter itu memancingku dan Rika agar menoleh pada Al. Sang empu justru meringis santai.
“Jadi, Ana sudah bisa pulang, Dok?” Rika menyimpulkan penjelasan sang dokter.
“Benar.”
“Mohon maaf sekali kalau kelakuan teman saya ini menyusahkan pasien lain yang ingin berebut kamar ini. Memang Ana tidak…”
“Terima kasih banyak, Dok.” Aku mengambil tas yang berada di sofa besar empuk berwarna cokelat tanah mengilat seperti zaman kerajaan dan memotong begitu saja obrolan Rika. Pikiranku kalut dan pergi meninggalkan semua orang tanpa perasaan bersalah. Kekacauan yang barusan timbul itu dari mana? Apa sebabnya dan mengapa aku sampai tidak bisa dibangunkan? Langkahku terhenti saat aku mengingat sesuatu.
“Aku ketiduran di rumah Al?” Tak lama Al dan Rika sudah berada di samping kanan kiriku. Alexander menjulurkan vitamin. Ia tersenyum namun aku diam saja. Rasanya candu melihat senyumnya sekarang, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di diriku. Aku mengambil vitamin tersebut dan memasukkan ke saku celana.
“Ana, kamu serius baik-baik aja kan?” Al menggenggam tanganku, ia benar-benar takut hal buruk mengenai otakku.