NostalDia

Melia
Chapter #7

Feri-ku

Feri-ku.

Surabaya, Maret 1998.        

Feri Arjuna. Seorang lelaki yang menyandang status sebagai pelajar sekolah swasta di Jakarta pindah ke SMU 20 Surabaya untuk menyambung hidup di wilayah kerja orang tuanya. Sayangnya, dia pindah menjelang semester dua kelas tiga. Otomatis waktu belajarnya tersisa enam bulan saja untuk fokus mengais ilmu dan lulus. Begitu juga rumah dinas yang ditempati sekarang, hasil perolehan pemerintah yang wajib diberikan bagi khalayak berdedikasi mulia berada tak jauh dari Kampung Pecinan yang masih lingkungan Semampir. Area pedesaan yang dihuni Feri lumayan dekat jika disusuri sampai ke pusat kota. Jarak tempat tinggalnya dengan sekolah tidak dirasa lama. Jadi, Feri memilih naik sepeda pancal ketimbang sepeda motor ke mana-mana.

Ayahnya seorang pegawai negeri sipil, ibunya lebih kepada pencari kesibukan mengasuh anak yatim piatu di panti. Kehidupan Feri di Jakarta cukup baik meski diwarnai dengan perkelahian antar geng, sabotase satu sama lain dan juga memulai aksi demo di bangku menengah umum. Hingga ayahnya mengutus Feri ikut ke Surabaya dan hidup permanen di sana. Bukan berarti pindah membuat kebiasaannya luntur begitu saja. Rencananya, dia akan memulai perdebatan kembali dengan perang sembunyi-sembunyi yang kemungkinan menimbulkan pro kontra bagi siapa pun di dekatnya.

Feri yang enggan berangkat dengan ayahnya, memilih bersepeda sendirian. Sejatinya, hari ini akan menjemput Lia di bahu jalan yang menjadi lokasi berteduh gadis itu. Tetapi, dari jarak jauh, Lia terlihat menaiki angkot berwarna merah. Feri menghirup napas panjang dan melanjutkan perjalanannya ke sekolah sendirian. Seperti biasa, bibirnya melantunkan lagu-lagu asmara, kasmaran yang sesuai dengan kisah hatinya hari ini. Melempar senyum pada sebagian pejalan kaki yang tidak berniat menggoda. Namun, berujung malu sebab yang terpancing malah lawannya. Tak sadar, kayuh demi kayuh mengantarkan lelaki itu sampai di pelataran sekolah negeri. Matanya menatap sosok Lia yang masih berjalan melewati lapangan. Sederetan gigi putihnya tersenyum manis, rambut yang terikat rapi, diayunkan ke kanan kiri.

Kala lonceng istirahat baru saja berbunyi, ketika matahari mulai tergelincir dari puncak siang, Lia melewati lapangan bola untuk pergi ke warung Mbok Sumi. Onde-onde di tangan kanannya menyisakan kacang hijau yang dihaluskan sedangkan tangan kirinya menangkap bola terlempar dari area lapang. Betapa anehnya dan kebetulan hidup di dunia ini. Lagi-lagi Lia berhadapan dengan Feri. Itu bukan jam olahraga kelasnya, namun Feri bergabung dengan kelas lain yang di ujung gawang beberapa sorak-sorai dan teriakan perempuan genit saling memberi semangat.

Sepersekian detik, Lia dan Feri saling tatap di antara hiruk pikuknya para siswa. Teman-teman di belakang berhenti bermain basket, sebab bolanya anteng dibawa sang empu. Feri mengambil sisa onde-onde di tangan Lia dan membawanya ke tengah lapangan. Tersadar tengah dikerjai, Lia mengejar Feri geram.

“Sini nggak, onde-ondeku!” ucap Lia kesal. Feri melakukan dribble santai tak mengindahkan ucapan Lia. Tak lama, pukulan bertubi-tubi mengenai kepala, badan, dan tangan Feri. Otomatis lelaki itu menghentikan aktivitasnya sejenak.

Nggak usah nggarai kon! Kene onde-ondeku!”[1] Wajah Lia mengerucut ketika jajan basah tersebut tak berbentuk lagi, bekas diremas dan digenggam tangan Feri.

“Artinya?” Feri mengedip-ngedipkan mata dengan cepat. Lelaki itu segera melahap onde-onde yang isinya sudah kocar-kacir berjatuhan. Helaan napas Lia terasa berat dan panjang. Sembari memantau keadaan sekitar, bibirnya tersenyum simpul. Feri menatapnya lama hingga lengah lalu bola itu diambil Lia yang berlari meninggalkan lapangan. Lia telah sampai di pos depan dan menyuruh Pak Wicoro menyimpannya.

“Pak, tolong simpan aja bola ini. Jangan dikasih ke siapa-siapa.” Lia meletakkan bola cokelat yang memiliki berat sekitar 600 gram ke tangan satpam sekolah. Disusul Feri yang mengambil paksa benda bulat yang sepenuhnya masih di pegang Lia. Sekarang posisi Lia dan Pak Wicoro saling berhadapan. Feri di belakang Lia berusaha merebut barang favorit para lelaki. Lama-kelamaan gadis itu semakin merunduk, berharap bolanya menggelinding.

“AW!!” teriakan Feri membuat keduanya sontak keluar dari pelukan yang tak sengaja dibuat. Jemari Feri digigit hingga tercabik oleh Lia sedangkan gadis itu membuang bolanya ke jalan raya.

“Syukurin… ambil sendiri sana!” papahnya tegas. Feri menggeleng keras dan bergegas keluar sekolah. Perlahan senyum jail mengembang lagi di bibir Lia. Setelah Feri berada di seberang jalan dan melakukan atraksi bola diayunkan di jari. Secepat kilat, Lia menarik kencang pagar sekolah dan menggemboknya. Lia bergoyang-goyang untuk mengejek Feri, memberi ekspresi paling jelek.

“Nanti tak bantu bilang ke guru kalau kamu bolos. Hahaha.” Tawanya menggelegar, Pak Wicoro yang melihat keributan keduanya meniupkan peluit hingga sejoli itu sama-sama menutup telinga. Lia berjalan mundur, melambai tangan padanya.

“Woy! BUKA! LIA!” teriak Feri memukul-mukul pagar.

Lia tak peduli umpatan itu dan tetap berjalan santai menuju kelas. Pak Wicoro berdecak melihat suasana yang baru saja terjadi. Pagar dibuka kembali setelah kuncinya disesuaikan dengan mulut gembok. Feri mengelap keringat dengan lengan baju sembari mengatur napas.

“Aduh, Mas kamu ini. Mbok ya jangan nakal di sini. Nanti Bapak tau, gimana?” Pak Wicoro mengibas tangan agar Feri kembali ke kelas.

“Ayo balik ke kelasmu. Habis ini Bapak mau pukul lonceng masuk.” Kekhawatiran jelas tercetak di raut wajahnya.

“Tidak papa, Pak. Papa nggak mungkin marahin saya di sini. Orang saya cuma main basket kok.” Feri mengerling lantas mengembalikan bola ke siswa lelaki yang memberinya kesempatan bermain bersama. Di ujung gawang, Rani kagum pada Feri yang mengibas-ngibaskan rambut basahnya ke sembarang arah.

Enam puluh menit setelah waktu jam istirahat usai, Lia memperhatikan papan dengan guru pemandu pelajaran menoleh ke arah Feri yang baru masuk kelas lantas duduk di sisinya. Ia tersenyum tersendat. Feri menoleh sambil meletakkan satu tangan di meja, menumpu kepalanya.

“Bagaimana nona? Sudah puas tadi?” Lia tak menggubris ucapan Feri.

“Dari mana aja baru masuk?” Perhatian kecil Lia membuat Feri terus menatapnya dari samping.

“Bu, izin bertanya.” Mengetahui Feri sedang memperhatikan terus, Lia mengangkat satu tangan disusul sikap shock atas refleks badan Feri. Lelaki itu mengusap-usap wajahnya cepat.

“Apa perbedaan ilusi optik dengan ilusi visual, Bu?” Pertanyaan mantap yang keluar dari bibir Lia menjadikan mata-mata sinis berpancaran kepadanya.

“Buset,” gumam Feri. Pelan-pelan, ia menutup satu matanya dan melipat kedua tangan di dada.

“Ah, sederhananya begini. Kalau optik berkaitan dengan sifat-sifat cahaya yang diasah melalui udara ke media yang lebih padat seperti air. Contohnya, kalian punya gelas kaca bening. Ambil aja satu pensil kemudian masukkan ke dalamnya. Nanti kalian akan mendapatkan fenomena bahwa pensilnya akan bengkok, padahal kalau dikeluarkan dari air, pensil itu benar-benar lurus. Hanya saja saat direndam ke air akan mengecoh tampilan yang kusut. Di situlah letak ilusi pensil yang terlihat bengkok tidak sesuai kenyataan, padahal sinar cahayanya dibelokkan oleh air.” Penjelasan Bu Mawar membuat Lia terkagum-kagum fokus sedang Feri menatapnya sambil meletakkan tangan ke belakang memegang bangku, gerakan hendak merangkul. Di bangku barisan pojok, Rani melihat keseriusan yang terjalin antara Feri dan Lia.

“Nah, kalau ilusi visual, penyebabnya fisiologis bukan fisik. Contohnya seperti ini…” Bu Mawar menggambar sebuah lingkaran besar ke papan tulis lalu menjorok ke dalam ada lingkaran lagi dan seterusnya. Hingga satu lingkaran besar itu terdiri dari banyak gambar bundar.

“Ilusi ini dimainkan otak kita, khususnya sistem visual yang menimbulkan persepsi. Perhatikan lingkaran di sini. Kalau dari jarak Lia dan Feri yang duduk di sana, tidak akan bisa menghitung berapa banyak lingkaran yang Ibu gambar.” Beliau mengekspresikan kedua insan sebagai pembelajaran untuk teman sekelas.

“Sekarang coba kalian berdua maju dan sejajar dengan Ibu di sini.” Kapur yang dijepit di antara ibu jari dan telunjuk mengarah pada Feri dan Lia. Keduanya saling lirik dan ragu untuk maju. Namun, badan Feri tergerak lebih dulu untuk menemui Bu Mawar.

“Ayo, Lia.” Alisnya naik satu sambil menunggu langkah gontai gadis itu.

“Nah, kalian sama-sama menghitung ada berapa total lingkaran yang digambar Ibu.” Kapur putih itu diketuk-ketukkan ke papan yang debunya bermekaran jatuh menjadi serpihan tak tertinggal. Semua mata memandang perempuan dan lelaki yang mulai maju selangkah sedekat mungkin dengan papan berwarna hitam.

“Delapan belas, Bu.” Lia menoleh pada Bu Mawar.

“Sembilan belas,” ucap Feri berbarengan dengan jawaban Lia.

“Jadi yang benar berapa?” Beliau tersenyum menggoda. Teman-teman di belakang mulai tertawa, serasa dihibur.

Kon rabun ta?” Lia melotot tajam pada Feri.

Lihat selengkapnya