Aku terbangun sambil mengucek mata dan membelah kotoran di pelupuk. Rasanya seluruh punggungku hancur remuk dihajar bara api. Kepalaku melongok untuk menemukan di mana tepatnya ponsel itu berada. Ah, benar saja. Sedang tertancap rapi dengan kabel charger yang kini melayang di antara celah laci dan kasur. Sepertinya hentakan kakiku mengenai ponsel hingga menggelantung di udara. Hembusan napas terasa lega saat badan kuposisikan telentang menatap langit-langit kamar.
Aku baru ingat untuk menelepon Alexander dan menanyakan apakah dia juga memimpikan hal yang sama dengan tulisan di surat itu. Cepat-cepat ponselnya kucabut dari kabel hitam yang menggelayut manja di tanganku. Waktu memang menunjukkan pukul dua dini hari dari jam tidur yang dimulai sejak sepuluh malam. Lagi-lagi aku menekuri story Lia Djarmono selama empat jam. Setelahnya aku bisa dipastikan takkan bisa tidur kembali. Dering telepon itu tidak diangkatnya, lambat laun aku duduk dengan gusar sambil menggigit ibu jari.
“Kamu ini lagi begadang, insomnia atau memang tidur betulan sih?” geramku kesal. Aku berdiri untuk menarik horizontal blind kayu ke bawah. Terlihat udara di luar sana menyita perhatianku. Pemandangan yang menakutkan sekaligus mengharukan. Rika baru saja pulang diantar oleh pacarnya, Romeo. Sempoyongan tak tentu arah. Dalam keadaan mabuk pastinya. Untung kekasihnya itu tau diri untuk berhenti melangkah di depan pagar. Jangan sampai Rika membawanya masuk ke kamar dan suara rintihan akan menggema di sana. Makanya, mengapa aku tidak ingin mengikuti jejak Rika saat pergi ke kafe. Aku takut hilang arah dan menjadi jalang nekat yang ingin mencari upah cuma-cuma.
Sekali lagi, aku menekan kontak Alexander dan memutuskan untuk me-loudspeaker saja. Samar-samar di seberang ada suara tegas yang mendadak membuat dadaku berdegup kencang. Hei, Na, sudah seberapa sering kau menelepon Alexander, mengapa pergolakanmu begitu kuat seperti ini?
“Halo, Na? Kamu nggak salah lihat jam kan?” Begitu katanya. Aku meringis kecil dan berlari ke kasur empuk.
“Sorry banget, Al. kamu lagi tidur ya?” Sesekali aku malu harus menjadi perempuan yang seperti ini.
“Nggak sih, aku baru aja selesai bikin lubang semut.”
“Hahahaha. Kocak nih orang.” Tewas sudah gelak tawaku. Ternyata Alexander memiliki jokes yang amat lucu.
“Kenapa, Ana? Ada yang bisa aku bantu… lagi?” Ada jeda di antara kalimat terakhir, sepertinya dia mengetahui kekhawatiranku yang terjadi baru-baru ini.