NostalDia

Melia
Chapter #9

Pacaran

Pacaran.

Surabaya, April 1998.

Tanggal 8 April, sekitar 750 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga tengah mendemosasikan unjuk rasa dengan menuntut penurunan harga BBM dari 700 rupiah menjadi 1.200 rupiah per liter. Bagaimana masyarakat tidak liar ketika pemerintah secara gamblang menaikkan drastis ekonomi sebelum reformasi. Dukungan warga atas tindakan kooperatif yang dicanangkan mahasiswa berdampak baik bagi siapa pun yang merasa kekurangan. Mahasiswa melakukan pawai dengan berkeliling kampus dan juga mimbar agar pihak pemerintah melakukan sidang istimewa. Sayang sekali jika masa depan hancur oleh tangan-tangan sok gagah tapi tidak berdaya yang menjamin krisis kehidupan bangsa Indonesia.

Tak jauh dari rimbunnya anak muda yang bekumpul, berjajar rapi dan berjalan bersisisan. Kawula muda yang menyamar sebagai anak kuliah terlihat paling berbeda dari seluruh pelajar berstatus ‘maha’. Tapi yang paling menonjol adalah Lia. Beberapa kali dia melepas, mengikat, melepas lagi lantas mengikat ulang pita di rambutnya. Lelaki di samping hanya tersenyum samar. Feri yang selalu terbiasa demo dengan badge anak SMU, sekarang kali pertama harus memalsukan identitas untuk sementara.

Perjuangan mencuri almamater sudah direncanakan sejak dua Minggu lalu, ketika tetangganya yang bernama Damar masuk ke dalam rumah untuk bermain game. Di situlah, kesiapannya beraksi. Sambil menguping di sisi dinding kamar, Feri mendapat sebuah informasi penting. Tangannya terlalu gatal untuk tidak ikut campur dan andil. Feri yang seakan-akan tak mendengar apa pun, beringsut mundur duduk ke sofa.

“Lo yakin mau ikut demo?” ucap Damar sembari tetap menekan stik game.

“Kenapa nggak?” ujarnya sambil mengambil stik satunya dan ikut memainkan bishi-bishi.

“Anak SMU dilarang ikut.” Tolak Damar cuma-cuma.

“Lo mau taruhan sama gue? Kalau gue menang, bawakan dua almamater kampus lo.” Feri berupaya penuh untuk mencapai posisi teratas.

“Serius lo? Apa kata bokap lo nanti?” Jari-jari Damar setia dengan keberanian tinggi melawan Feri yang mengimbanginya.

“Aman. Tenang aja.” Tombol stik Feri terus berpacu hingga jempolnya kian memerah dan tepat sasaran. Feri berhasil memenangkan taruhan itu dengan gesit.

“Dua almamater? Buat siapa lagi emang?” Tatapan sinis Damar tidak membuat Feri lengah. Ia hanya tersenyum simpul dan meninggalkannya sendiri di ruang tamu.

Dan di sinilah mereka berdua. Tepat di samping Damar yang mengayun-ayunkan obor menyala di sisi jalan raya. Feri sampai harus bertukar posisi agar Lia tidak terkena serpihan bola api yang melolong tinggi. Gadis itu menurut saat badannya terbawa gerakan Feri, terpontang-panting ke sana ke mari. Jelas saja, ini membuatnya kesal hingga menghela napas panjang. Tapi Lia harus bersabar, karena ini bukan kesehariannya, dan tidak bisa menempatkan emosi yang bukan miliknya. Jadi, usaha untuk menetralisir emosi Lia dilakukannya dengan cara mencubit pipi Feri.

“Turunkan penguasa dari tahta kepemimpinan 32 tahun!”

“Turunkan dia!”

Feri telah memendam ingin bersuara sejak Maret, namun baru bisa dilangsungkan hari ini. Menurutnya telat tapi tak apa. Akibat krisis moneter dan kekeringan yang mengancam keselamatan pangan Indonesia termasuk masuknya bahan pokok seperti beras, cukup membengkak setelah PBB mengingatkan pemerintah. Hampir 70% nilai rupiah turun karena inflasi. Pengangguran juga meningkat drastis. Mungkin tidak dirasa untuk Feri tapi dibuktikan oleh Lia yang kemarin bercerita tentang mamanya yang di PHK. Padahal Direktur Bank Dunia pun sudah menjelaskan jika Indonesia sendiri mengalami suatu penarikan atas kepercayaan mata uang di negeri sendiri sejak perang dunia ke-2.

Hingga terjadilah peristiwa mengerikan yang dilihat langsung oleh mata kepala Lia. Teriakan-teriakan meminta, memelas dan memohon agar tanah air menjadi satu kembali dengan harapan ekonomi membaik. Teror, ancaman dan adat istiadat yang tak lagi sama kini menjadi samar, tergantikan dengan aksi saling melindungi sesama saudara. Sekarang almamater berwarna biru tua itu memenuhi jalan raya. Di sisi selatan ada almamater berwarna hijau dari IAIN Sunan Ampel, di sisi utara berwarna biru muda dari ITS dan juga warna lain gabungan dari universitas swasta. Padat merayap yang ketika dilihat dari kejauhan seperti lautan mati tak berpenghuni karena suaranya tidak didengar negeri. Getaran kaki mereka tidak menyadarkan gedung-gedung pemerintahan yang menyuruh pemimpin turun jabatan. Bahkan aparat saja berani ditendangnya. Mulut kotor asal Surabaya bercampur aduk tak tentu arah.

“Mereka ngomong apa sih, Li?” tanya Feri di sela-sela keramaian.

“Jancok, katanya.” Lia tersenyum hambar, perlahan menengadah.

Sek ta. Jangan-jangan kamu nggak tau itu apa?” lanjutnya.

“Apa emangnya?” Tangan kekar Feri tetap diangkat satu dengan cengkeraman kuat.

“Jancok itu kata kotor, kasar seperti anjing yang artinya asu!” Suara Lia makin tenggelam dimakan ribuan mahasiswa.

“Oh, kalau di Jakarta berarti contohnya seperti apa?”

Lia nampak berpikir keras lalu menjentikkan jari. “BRENGSEK!” Teriaknya keras tepat di telinga Feri.

“Oh. JANCOK!” Feri balik berteriak di telinga Lia. Tamparan keras mengenai wajah Feri hingga bersemu merah.

“Jangan ngomong kayak gitu di depanku.” Tangannya terkesiap di dada.

“Lho, kenapa? Kan kamu yang bilang tadi,” ujarnya tidak merasa bersalah.

“Maksudnya jangan ngomong kasar ke aku!” Lia geregetan sambil mendekap wajah Feri dengan kedua tangan, langkah mereka terhenti membuat mahasiswa di belakang menyoraki Feri dan Lia. Keduanya meminta maaf lalu meneruskan aksi hingga ke tempat tujuan.

Lama sekali mereka berada di depan gedung DPRD Jatim. Sampai-sampai pedagang asongan menerobos masuk melalui barisan. Tak ayal uang-uang baru dari para penerus generasi bangsa dikantongi pedagang ke saku celana. Baginya ini momen keberuntungan yang jarang didapat. Saat tiba-tiba provokator datang dan merubah situasi dari santai menuju tegang. Sudah saatnya Feri berdiri, menarik tangan Lia. Disusul oleh gerakan lain dari para mahasiswa. Kalau sudah begitu, satu-satunya cara menyelamatkan diri yakni berlari atau melempar batu sebagai perlawanan diri.

Kondisi ekonomi yang tengah memburuk tidak menyurutkan tenaga-tenaga muda yang berjuang demi keluarga. Masyarakat pun geram saat dibuat bungkam karena tak bisa melakukan apa-apa. Aksi demonstrasi itu dibubarkan begitu saja oleh petinggi-petinggi jabatan termasuk aparat kepolisian. Feri berlari kencang sambil menggenggam tangan halus Lia. Gadis itu mengeratkan jas almamater sampai bentuk tubuhnya tercetak melingkar. Terasa hangat sampai ke ulu hati, sama seperti genggaman mereka berdua yang kian panas.

Ketika satu-persatu polisi mulai berpencar, di situlah ide gila Feri muncul. Feri membuka almamater Lia dan membuangnya ke jalanan setelah melepas sendiri jas yang dipakai. Untung saja bawahan mereka masih seragam abu-abu. Jadi percepatan jalan itu diubahnya sedemikian rupa hingga terkesan gontai. Sebagai peralihan Feri membawa Lia di balik pohon besar. Gadis itu ketakutan sampai menggigil. Ditatapnya polisi yang terlihat mengejar hilang arah. Entah mencari dirinya dan juga Lia atau malah kecapekan karena usia. Tangan dingin Feri berhasil menembus pipi Lia, diusapnya perlahan sebelum bibir mungil itu dikulumnya. Polisi yang melihat adegan itu tak ambil pusing dan tetap mencari para mahasiswa yang bertindak semena-mena.

Lia terbujur kaku, merana dan mengerucutkan bibir. Apa benar Feri baru saja bersikap tak senonoh padanya? “Aku sayang kamu, Li.” Begitulah perasaannya. Senang, terkejut, haru, meluluhlantakkan degup jantung Lia. Ia tidak bisa merefleksikan kebahagiaan semu setelah insiden menegangkan.

Lihat selengkapnya