Aku terbangun dengan mata sulit dibuka. Seakan-akan ada lem yang direkatkan dan permanen dilepas. Beberapa hari ini aku memang menjalani kebiasaan baru untuk mulai mengakrabkan diri dengan mimpi-mimpi fantastis. Cerita Lia terus mengekori bunga tidurku. Tentu setelah aku membaca suratnya dan ingin menyelesaikan seluruh keseluruhan amplop itu. Dengan total enam surat, aku masih berada di surat keempat.
Tengkukku rasanya sakit sekali, pasti gara-gara cara tidurku yang tidak tepat. Ponselku berpendar kelap-kelip. Nama Alexander terpampang nyata di sana. Aku terenyuh dan segera mengangkat panggilan itu.
“Halo, Al? Ya, ada apa?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Morning, Ana. Kamu baru bangun? Eh, semalam aku mimpi lagi.” Mendadak meteor akan meruntuhkan Leiden hanya dengan kecepatan berkisar 200.000 kilometer/jam berwarna kebiruan. Aku sontak berdiri di atas ranjang.
“Kamu serius? Mimpi apa, Al?” Mataku berbinar indah. Semoga saja jawaban itu: ‘Ya, semalam aku memimpikan tentang Mamamu yang bernama Lia.’ Aku mencengkeram erat ujung baju yang sudah kusut. Di luar, beberapa mahasiswa terdengar membuka pagar dan mengeluarkan sepeda pribadi. Jika Alexander memimpikan hal yang sama, kita akan berdiskusi dan aku takkan menopangnya sendirian.
“Aku memimpikan Profesor Omar tidak jadi dibunuh, Na!” Begitu katanya. Begitu. Aku mematikan panggilan lalu membanting ponsel ke kasur.
“DAMN IT!!” Ingin rasanya kubekap mulut Alexander dengan panci panas.