Ada Apa Dengan Cina?
Surabaya, 1998.
Langit malam kala itu begitu petang, tidak seperti biasanya yang cerah terkena sinar bulan. Jemari Feri menari di atas bibir, menunggu hasil karya atas pompa udara yang dikerjakan Ko Charles pada sepeda motornya. Tangan beliau sejenak mengudara, menunjukkan jempolnya. Lia ikut berjongkok dan memeriksa ban bagian depan. Tangannya menekan-nekan sebagai bentuk kepedulian pada kendaraan yang tiap hari menjemputnya.
“Aman ya, Ko?” Feri duduk di kursi kayu yang amat kecil.
“Aman-aman. Ban kamu orang ini premium. Emang berbeda kalau dirawat sepenuh hati. Pasti orang tuamu sangat teliti memperhatikannya.” Anggukan Ko Charles membuat Lia tersenyum bangga. Tak salah Retno menjadikan beliau ini pengganti papa untuk meneruskan bengkelnya. Alhasil, upah dari bengkel yang dikerjakannya sudah beberapa kali diberikan langsung pada Lia. Terkadang, Lia juga membelikan makanan untuk kumpul-kumpul bersama. Seperti kali ini, mereka makan nasi goreng dari abang-abang yang lewat.
Malam itu adalah malam paling indah bagi ketiga insan yang duduk diteras berlatarkan keramik dasar pecah-pecah. Tanpa mereka ketahui, semua akan menghilang di malam kedua ketika Ko Charles mendengar desas-desus dirinya akan dimusnahkan. Kejadian perekonomian yang meluap di Jakarta telah tersiar melalui televisi dan radio. Entah apa yang harus dipersiapkan jika benar terjadi di Surabaya.
Keesokan harinya, di tanggal 14 Mei pukul 06.00 WIB, Retno yang bekerja di toko roti milik temannya akan dipastikan pulang lebih larut dari biasa. Mengingat banyaknya pesanan untuk acara nikah dan ulang tahun yang diharuskan selesai seharian. Beliau berpesan pada putrinya agar tidak pergi ke mana-mana setelah pulang sekolah. Terlebih kabar tak enak telah didengarnya dari kampung sebelah. Satu informasi untuk menenggelamkan sebuah agama yang dianggap mendominasi negara Indonesia di bidang perekonomian. Khawatir pasti dialaminya, sebab ibukota pun telah melangsungkan kehampaan itu kemarin.
Lia mencuci sepatu hitamnya di kamar mandi sekolah cukup lama. Ia terkena cat baru saat bersenggolan dengan anak-anak kecil di gang rumah. Dongkol, kesal dan harus bagaimana lagi untuk menghilangkan percikan cat berwarna putih. Dirinya takut ketahuan guru dan dihukum lari keliling lapangan. Jadi, dia memutuskan keluar untuk meminjam minyak kayu putih atau cairan lain yang bisa menghilangkan noda dengan cepat. Sayang, di balik pintu sudah ada geng Rani. Belum keluar pun perutnya sudah ditendang masuk kembali ke kamar mandi. Lia mengerang kesakitan, merunduk lemah. Belum sempat menengadah, Aca menarik rambut dan membantingnya ke tembok yang sudah ringkih. Setitik demi setitik darah meluncur ke bawah. Lia ingin pingsan, tapi ditahannya.
“Gimana? Sakit nggak dipukul terus dilempar ke tembok? WES NGERTI KAN RASANE? DASAR GOBLOK! DUDUK ANAK E WONG DUWE AE NGGAK USAH KAKEAN POLA!”[1] Teriakan Rani diledakkan hebat sampai mengagetkan para siswi di sana. Mereka berlarian keluar tanpa menengok ada apa. Alhasil, Lia kesakitan tanpa ada yang menolong. Dia mencoba berdiri namun berkali-kali jatuh hingga roknya basah terkena genangan air. Lia menangis meminta ampun, bahkan Ira sekarang menampar wajahnya.
“Kamu nggak usah dekat-dekat sama Feri, bisa kan?” Kecam Rani sambil menarik tangan Lia kencang. Gadis itu tidak memberi jawaban, ia sengaja membuat Rani kesal. Setelah puas bermain dengan Lia, ketiga siswi yang menyiksanya berhamburan keluar. Lia menangis keras, meratapi nasibnya dengan duduk di lantai. Bajunya sobek di mana-mana, rambutnya acak-acakan. Pada kondisi seperti itu, tidak mungkin Lia berani masuk kelas. Mereka pasti mengerubungi dan bertanya kenapa. Rintihan demi rintihan dibawanya keluar, menuju gerbang utama agar bertemu Pak Wicoro.
“Lho, lho, lho. Mbak Lia kenapa itu keningnya, rambutnya kok awut-awutan. Habis berantem ta? Ya ampun, Mbak Lia. Saya panggilkan guru ya…” Pak Wicoro memegang bahu Lia yang terkulai lemas. Lia menggeleng dengan tetap menopang tubuhnya tegak lurus.
“Mboten, Pak.[2] Saya pulang saja. Tolong gerbangnya dibuka.” Tunjuknya sembari mengarah ke pagar besi berkarat.
“Aduh, Mbak Lia. Jangan. Ini harus dibawa ke UKS ya. Biar Bapak bantu…” Nawakara hitam kesayangannya diletakkan sembarangan hendak membopong Lia namun dikibasnya halus tangan kekar Pak Wicoro.
“Mboten, Pak. Saya pulang saja. Pelan-pelan.” Senyumnya tersirat tulus, memohon agar beliau mendengar permintaannya.
“Haduh. Yo wes, tak bukakno pager e. Sampean seng hati-hati yo, Mbak.”[3] Pasrah sudah sikap Pak Wicoro yang menahannya di tempat.
“Matur nuwun sanget, Pak.”[4] Lia masih sempat menoleh sebelum meneruskan jalan yang sempoyongan. Dari tempatnya berdiri itu, Pak Wicoro berlari masuk menuju kelas Lia biasanya. Ia menggedor pintunya keras membuat seluruh siswa terkejut. Bu Mawar yang memang tengah mengabsen ikut kaget dengan kehadiran Pak Wicoro yang mendadak.
“Ada apa toh, Pak?” Ia meletakkan tangan di dada.
“Anu, Bu. Tadi ada yang keluar sekolah, barusan.” Deru napas Pak Wicoro tak beraturan, tersengal-sengal. Feri yang sedari tadi tak melihat keberadaan Lia pun cermat mendengar pembicaraan mereka. Bukan Lia kalau datang terlambat seperti ini, dia termasuk siswi rajin.
“Aduh, Pak. Jangan aneh-aneh. Itu pasti anak yang ikut demo lagi. Sudah biarkan saja.” Bu Mawar tak menggubris aduan Pak Wicoro dan mengabsen kembali nama-nama yang belum terpanggil.
“Selanjutnya, Lia Djarmono?” panggil beliau.
“Nah. Iya, Bu. Lia. Tadi yang keluar Mbak Lia.” Tangannya menunjuk ke arah pagar sekolah. Feri langsung berdiri seketika. Raut wajahnya tidak bisa dideskripsikan. Resah, risau, khawatir, cemas menjadi satu. Langkahnya panjang dan berlari ke gerbang, disusul Bu Mawar dan Pak Wicoro. Feri menoleh kanan kiri, disusurinya jalan raya itu. Di ujung perempatan, ia melihat orang-orang tengah mengerubungi sesuatu. Seperti sedang terjadi kecelakaan. Tanpa pikir panjang, Feri menghampiri gerombolan itu, membelah keramaian. Ada yang tengah menelepon dan mengatakan gawat darurat, ada yang berusaha membangunkan.
“LIA!” Feri berjongkok, mengguncang-guncang tubuh Lia keras. Gadis itu pingsan, tak kuat menahan sakit yang dirasa. Feri segera membawanya ke rumah sakit dengan bantuan orang-orang di sana. Untuk pertama kalinya, lelaki itu menangis. Menangis sebab gadisnya dibuat rusak dan mengenaskan.
Setelah membersihkan luka, barulah Feri bisa menemui Lia usai diizinkan sang dokter. Gadis itu menyambutnya dengan hati riang. “Aku nggak papa, Fer.” Ia berusaha menenangkan Feri yang amat sengsara dengan kondisinya.
“Siapa yang berani berbuat kayak gini?” Raut mukanya benar-benar marah, tidak ada hal baik yang harusnya diafirmasikan pada Lia. Saat-saat seperti ini, harusnya kata-kata positiflah yang mampu menyembuhkan Lia dengan cepat.
“Aku jatuh, Feri…” ucapnya perih.
“Jatuh? Jatuh itu hal biasa, Lia. Kenapa sampai nggak masuk kelas? Mereka pikir kamu bakal ikut demo lagi!” Suaranya lantang, Lia merunduk diteriaki seperti itu. Feri memberikan pelukan ternyaman untuk memulihkan apa yang terjadi padanya.
“Aku mau pulang aja,” rengeknya.
“Kuat nggak kalau pulang?” Feri mengendurkan pelukan.
“Kuat.” Ia menengadah yakin. Ucapannya menyihir Feri, mau tak mau dia harus mengiyakan kemauan Lia.
Setelah mengantarkan Lia pulang ke rumah. Feri kembali lagi ke sekolah, mengikuti pelajaran hingga usai. Jika bukan bapaknya yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah, ia lebih memilih menemani Lia di rumah. Feri juga tak mau bila nama Lia menjadi jelek karena kabar burung yang tak jelas. Ia akan membela gadisnya tanpa tau tua dan muda.
Siang sudah mulai naik ke permukaan, menjadikan para siswa berhamburan keluar kelas untuk pulang atau sekadar membeli jajanan di warung Mbok Sumi. Kala itu suasana sekolah masih seperti biasa sampai Feri menjumpai kelompok orang memakai topi ninja menutupi kepala. Sekumpulan manusia dengan baju berwarna oranye yang jika diteliti baju itu mirip seperti yang dipakai Indro. Ia mengingat-ingat apakah benar bentuk modelnya seperti pakaian lapas. Hanya saja semua tulisan yang ada di baju telah diberi solasi hitam untuk menyamarkan. Keningnya berkerut dan mulai mendekat. Ia kembali pada ingatan saat di jeruji besi, bagaimana postur papa Lia dan gerak-geriknya. Entah mengapa dia tidak yakin Indro salah satunya. Papa Lia itu orang baik, dia tidak mungkin kabur. Kalau kabur pun, satu-satunya tempat yang dituju harusnya rumah bukan sekolah. Langkahnya kian mendekat, tapi mereka membelakangi Feri hendak menyeberang jalan. Kenapa pemikirannya sangat negatif, seperti ada sesuatu yang salah. Otaknya tidak berpikir jernih, dia langsung tancap gas menggunakan sepeda motor menuju rumah Lia di Semampir.
Ko Charles tengah melayani bapak-bapak yang mengantre ingin diperbaiki. Beliau membongkar pasang lampu penerangan yang dilanjut dengan memeriksa kondisi putaran mesin sepeda termasuk mengganti ban bocor.
“Eh, kamu orang Feri. Lia di dalam, baru selesai makan.” Sapanya menoleh sekilas.
“Iya, Ko. Nanti kalau Koko sudah selesai, kita makan sama-sama ya,” pinta Feri sembari duduk di teras. Lebih baik dia menunggu di luar daripada menyerobot masuk dengan keadaan banyak orang di bengkel. Ia tak ingin orang tua Lia menanggung rasa malu akibat kelakuan kurang ajar darinya. Terlebih Feri belum bertemu dan berbicara langsung dengan calon mertuanya, Retno. Sekitar hampir lima menit tak melihat Lia keluar juga. Feri memanggil namanya.
“Lia? Kamu di dalam?” Posisinya berdiri di ambang pintu. Belum sempat jawaban Lia terlontar, Feri mendengar keributan dari gang. Seperti barang-barang yang berjatuhan, bau oli dan bensin menguar. Abu hitam terangin-angin ke udara mengganggu kerongkongan. Pembakaran massal? Belum sempat pemikirannya terjawab, ia menoleh, orang-orang yang tadi berkumpul di bengkel lari tunggang langgang menjauhi pemukiman. Feri mendengar decit pintu yang didorong paksa tepat di sebelah rumah Lia. Ko Charles sudah tidak ada di bengkel, nyatanya ia telah mengunci pagar rumahnya. Feri mengendap-endap keluar, mencari ada apa gerangan. Dari kejauhan, langkah kaki hendak melesat tak terbatas menuju dirinya. Feri sontak bingung ingin berlari ke mana. Ia memilih masuk ke rumah Lia dan menutupnya rapat-rapat, menilik dari balik jendela. Pecahan kaca seperti sangat dekat di telinga. Mesin motor dihancurkan menggunakan jejak-jejak kaki yang ditendang kasar. Feri menahan napas, takut kalau helaan oksigennya terdengar oleh perusuh itu. Lia tersentak ketika Feri sudah berada di dalam. Ia memegang lengan lelaki itu dan berkata melalui telepati.
“Kayaknya tragedi yang di Jakarta itu sudah sampai Surabaya, Li. Coba kamu liat.” Tubuhnya geser sedikit untuk memberi ruang bagi Lia.
“Sumpah? Yang penjarahan, pemerkosaan sampai pembu…nu…han itu?” Kalimatnya tersendat, tak yakin. Tiba-tiba bulu kuduknya merinding.
“Harusnya aku tarik Ko Charles masuk ke sini, Li.” Ada perasaan mendalam yang tidak mampu diutarakan Feri. Ia mengusap wajahnya berkali-kali, muncul rasa bersalah terhadap Ko Charles. Tujuan warga-warga lokal selanjutnya bisa dipastikan keturunan Tionghoa. Itu sama saja mereka mengincar Ko Charles.
“BANGSAT!” Tangannya terkibas ke gorden motif burung cakrawala.
“Ko Charles? Ya ampun, Fer. Aku harus tolong dia!” Lia menyampingkan tubuh untuk membuka pintu tapi dihadang Feri.