NostalDia

Melia
Chapter #12

Anatasya Arjuna (Surat Terakhir)

Aku terbangun dari tidur panjang yang sangat melelahkan sampai leher kaku, tak bisa digerakkan. Aku mengerang kesakitan sembari melihat sekeliling. Tertidur di perpustakaan Leiden adalah hal baru. Aku masih belum pulang. Pipiku terasa gatal ketika kusentuh ada sisa air mata yang membuat lembab. Saputangan tadi tercetak bulatan-bulatan air dari pelupuk. Ketika badanku tegap semula, sosok Alexander sudah ada di hadapan. Aku terkesiap dan merinding saat raut wajahnya menampilkan senyum manis.

“Aku sengaja ke sini untuk menemanimu sampai bangun. Aku nggak mau kamu sendirian tanpa siapa pun,” ucapnya ketika aku merapikan rambut.

Otakku tidak bisa menilai keapikan dan ketampanan sikapnya lagi. Aku masih mengamati mimpi barusan, terlebih kepada mengapa hal buruk terjadi pada Ko Charles. Mengapa Feri menghilang begitu saja? Siapa di antara kedua orang itu yang selamat? Sungguh, pikiranku mengacau. Aku tidak bisa bernapas teratur. Jemari Al menyapu tanganku. Tatapan menyejukkan, tatapan hangat yang bisa membawaku bergairah. Aku mulai menangis sesenggukan. Tak kuasa menahan apa yang terjadi barusan. Mulut kupaksa bungkam agar tak melirik perhatian. Al melepas cengkeraman tangannya dan menghampiri posisiku. Ia mengusap pundakku perlahan dan memeluk erat.

Hanya sepuluh detik aku bertahan di dekapan. Aku tak mau mengganggu aktivitas para mahasiswa dengan pemandangan yang kubuat. Kenapa perasaanku jadi tak menentu seperti ini. Apa yang terjadi denganku? Amplop terakhir kubuka dengan kasar. Sebuah judul cantik bernama ‘Nostalgia’ membuatku meringis. Itulah surat terakhir yang akan kubaca. Aku senang pastinya, selesai sudah mimpi panjang itu. Tapi sangat berbeda dengan hati. Sepertinya aku masih ingin meneruskan keromantisan yang terjalin antara Lia dan Feri. Cepat-cepat tulisan mamaku terbaca habis agar tidak penasaran.

Nostalgia

Maret, 2000 

Aku hamil usia kandungan satu bulan. Aku senang. Feri juga senang. Bayi ini pasti aku jaga dengan baik. Feri jujur sama Mama. Mungkin Mama kecewa tapi kita saling sayang. Aku janji bakal jaga anaknya dengan baik. Feri ayo kita menikah setelah anak ini lahir. Aku mencintaimu. Terima kasih sudah kembali.

Lia

Dadaku seketika hancur bertubi-tubi mengetahui Lia hamil. Sesak sekali, sampai tak mampu berdiri. Kakiku lemas, badanku ingin jatuh ke pelukan Al. Terlebih tidak ada pembahasan tentang posisi Ko Charles. Di mana pun kamu berada, terima kasih sudah menjaga mamaku dengan baik. Kalau ada waktu cucumu ini ingin bertemu. Itulah yang ingin kukatakan, tidak ada lagi selain rasa syukur yang luar biasa. Mama hamil anak pertamanya? Siapa?

“Apa aku? Nggak mungkin!” gumamku pelan. Alexander memegang jemariku lagi, berusaha tetap ada di jangkauan. Mama…apa aku anak yang ada di kandunganmu itu? Mama…rahasia apa yang sebenarnya tidak kamu bicarakan padaku? Aku harus tenang dulu sebelum mencapai housing. Aku tidak boleh tergesa-gesa. Intinya aku harus fokus melangkahkan kaki ke kamarku.

Sorry, Al. I have to go.” Setelah mejanya bersih, aku langsung mengambil totebag di samping kursi, meninggalkan Alexander termangu. Keluar dari perpustakaan, mataku terasa sejuk oleh tanaman het madeliefje[1] yang menaungi pusaran depan diusung panorama gaya klasik. Tempat duduk mengelilingi tumbuhan itu memanjakan mata. Warna putihnya serasi dilihat oleh outfit para mahasiswa.

Nyatanya dia menjajari langkahku. Al tidak bertanya ke mana tujuanku. Dia diam saja sebagai bentuk memahami. Bersyukur kalau nanti dia jadi pacarku ,sisi pribadinya tentang kepekaan melampau tinggi. Artinya selama dia konsisten menjalankan tanggung jawab sebagai lelaki cukup terlaksana dengan baik. Ponselku tiba-tiba berdering kencang sampai mengagetkan Al di samping. Aku memukul pelan lengannya karena merasa dihibur telak olehnya. ‘Mamaku Super’ terpampang nyata di layar. Aku tau, dia pasti akan mengatakan bahwa Ko Charles baik-baik saja. Iya.

“Halo, Ma?” Jam tangan menunjukkan pukul 12 siang, di tempat Lia pasti pukul 07.00 WIB karena hanya lima jam perbedaannya.

“Halo sayang? Kamu baca semua amplop Mama?” Aku mendengar beberapa barang berjatuhan tak keruan. Entah karena gugup atau memang sedang berantakan.

“Iya, Ma. Sorry.” Perlahan jemari di tangan kanan saling menggigit satu sama lain. Alexander secara tak sengaja mendengar percakapan antara anak dan ibu. Dia hanya tersenyum dan lega karena permasalahanku di otakknya mungkin tak terlalu berat.

“Kamu baca sampai amplop keberapa, Na?” Pertanyaannya mendesak, bagai kekhawatiran tersendiri ketika nadanya tersulut.

“Terakhir, Ma.” Tenggorokanku tercekik, susah sekali untuk berbicara dengan Lia saat tau faktanya. Aku menghindar dari bola basket yang tak sengaja terlempar dari area lapang. Alexander mengambil bolanya dan hendak menghampiri pemuda yang sembarangan bermain. Aku menarik ujung jaketnya lantas menggeleng. Kita berbicara lewat telepati. Bertahanlah di tempat dan lemparkan saja bolanya. Batinku diterima baik olehnya. Ia mendengar. Dia mengetahui arti telepati yang kita simpan sama-sama. Tiba-tiba aku teringat kembali sedang mengobrol melalui telepon. Mataku berkaca-kaca dengan topik yang sedang kubicarakan.

“Terakhir, Na? Kamu yakin?”

“Kenapa, Ma? Siapa anak itu sebenarnya? Apa aku, Ma? Iya? Ana, Ma?” Hilang sudah pertahananku, tangisan itu tak bisa dibendung lagi. Rasanya kepalaku ingin pecah, harusnya aku membiarkan bola basket tadi mengenai kepala. Hening di seberang, tidak ada suara. Teriakanku pasti membuatnya merasa bersalah.

“Mama...Aku lahir tahun 2001. Jadi benar, aku ini anak Feri dan Lia? IYA?” Parau, perih dan menyakitkan yang harus aku ciptakan untuknya. Orang-orang melihatku dengan tatapan aneh, tak peduli atau mungkin menyangka aku sedang bertengkar dengan selingkuhan Al bila saja mereka menganggap kita berpacaran. Aku melanjutkan jalan sambil mengabaikan tatapan yang menyuruhku henyak dari dunia ini. Terlebih aku berbicara menggunakan bahasa asing bagi mereka.

“Iya, Ana…” Langkahku terhenti, detak jantungku berlarian kencang tanpa rem. Al mengguncang tubuhku yang mendadak kesetrum benda elektrik. Ludahku susah ditelan. Rasanya kaki enggan berjalan. Sekujur organ-organ aktif membuatku tak tertarik hidup. Semuanya gelap gulita. Aku kehilangan keseimbangan.

Lihat selengkapnya