Aku berada di depan Bandar Udara Internasional Schipol untuk mengantar kepergian orang tuaku sekaligus merelakan album fotonya dibawa Lia ke tanah air. Sisa sebulan lagi pertukaran mahasiswa akan selesai. Bisa saja aku menambah beberapa Minggu di Amsterdam untuk libur kenaikan semester. Sejak kedatangan papa di housing, belum satu pun aku memeluknya. Jadi, ketika hendak berpisah, aku memeluknya erat. Dia berkata, “Sampai kapan pun, Ana tetap anak Papa dan Mama. Kalau memang suatu hari kamu bertemu seseorang yang terhubung di masa lalu, terimalah dan beri kasih yang sama seperti kami menyayangimu.” Aku menangis di pundak papa. Beberapa kali terisak tak kuasa. Kalau bukan papa yang memberiku semangat hingga pergi ke Universitas Leiden, entah bagaimana lagi hidupku selanjutnya. Dia bukan papa tiri, tapi papa kandungku seutuhnya, meski berharap aku bisa bertemu Feri suatu saat.
Aku memutuskan berjalan-jalan sebentar di sekitar bandara sebelum pulang. Ingin sekali rasanya memasuki Panoramaterras Amsterdam Airport Schiphol yang memiliki area tampilan atap besar. Sayangnya tidak bisa diakses untuk pengguna luar sebab khusus menghubungkan penumpang kecuali mereka pertama kali keluar bandara. Tiap insan bisa melewatinya dari sisi darat bandara. Sejak Juni 2011, Panoramaterras menjadi lokasi untuk KLM Cityhopper Fokker 100 yang dimodifikasi menjadi sebuah pameran. Schiphol juga memiliki situs bercak lainnya di sepanjang landasan pacu Polderbaan terbaru dan di restoran burger terkenal atau sisi utara bandara.
Telepon berbunyi dari Alexander, aku masih menimang-nimang akan mengangkat panggilan tersebut atau tidak. Perasaanku masih belum sirna dari kehilangan Feri pasca kejadian tahun 1998. Mengapa dia menghilang lalu baru menemui Lia di tahun 2000? Apa yang terjadi satu setengah tahun belakangan itu. Kata mama, dia bertemu dengan Feri lagi awal tahun 2000. Merajut kenangan atas masa lalu yang tak usai dan menghilang lagi di akhir tahun 2000. Benakku masih tak habis pikir atas tragedi yang dilalui Lia dulu. Beruntungnya, mama bertemu Reza yang menjadi papa sambungku sekarang. Sosok pria yang bijaksana dan berkorban banyak demi keluarga meski aku bukan darah dagingnya.
“Mei 1998…” Banyak sekali wajah-wajah asing yang kutemui saat menjajal wisata kanal paling terkenal di Amsterdam. Ah, ya. Aku baru ingat ini bukan Indonesia. Tidak hanya mimpi yang membuatku beringas setengah mati, latar imajinasiku masih terbawa di kejadian tahun 1998. Cepat-cepat ku telepon Alexander, aku ingin menemui lelaki itu.
“Halo, Ana? Where are you? Aku cek di portal mahasiswa, hanya kamu yang belum mengumpulkan ujian terakhir. Due date-nya sehari lagi.” Belum sempat mengucap salam pembuka, dia sudah mendahului. Rentetan kalimat cemas Al terlontar begitu saja. Aku membalasnya dengan dehaman kecil.
“Kamu lagi butuh bantuan? Kamu bisa telepon aku seperti ini kalau mengalami kesulitan.” Kecemasannya mengingatkanku pada Feri dan Lia. Betapa lelaki itu sangat mencintai mamaku. Tanpa sadar aku terisak di tengah jalan.
“Boleh aku ke rumahmu, Al?” tanyaku pelan.
“Mau kujemput saja? Di mana kamu sekarang?” Nadanya menyayat hati. Lagi-lagi aku belum bisa melupakan keromantisan Lia dan Feri 25 tahun silam.
“Tidak usah. Bikinkan aku makanan yang enak saja.” Ucapanku mengundang tawanya. Aku jadi tergelak pada akhirnya.
“Oke-oke kalau itu yang kamu mau. Hati-hati. Aku akan menunggumu di depan rumah.”
“Hm…” Setelah memutus panggilan tersebut, aku tersenyum lega. Membuka cerita pada lelaki itu tidak akan salah, seratus persen aku mempercayainya.
Berbicara tentang Amsterdam, ada tiga kanal utama yang cukup tersohor untuk dijamah, yaitu Prinsengracht, Herengraht dan Keizergraht. Kehadiran mereka ini fungsinya selain mengurangi risiko banjir, juga mampu menarik wisatawan asing agar saling bersahabat dengan air.
Prinsengracht atau yang disebut kanal pangeran adalah kanal utama dengan urutan keempat dan terpanjang di Amsterdam. Dinamai sesuai dengan nama Pangeran Oranye yang dibangun pada zaman keemasan Belanda di Provinsi-Provinsi Serikat. Herengraht merupakan kanal di urutan kedua setelah Singel yang letaknya di bagian utara Amsterdam dan kanal pertama yang masuk dalam UNESCO World Heritage. Indah dihiasi perahu dan sepeda yang terparkir rapi di jembatan sangat khas bagi Amsterdam. Sedangkan Keizergraht atau Kanal Kaisar di urutan ketiga dari tiga kanal utama di tengah kota Amsterdam, merupakan kanal terluas di pusat kota Amsterdam.
Suatu perencanaan tata letak dan pemanfaatan ruang adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain dan dibuktikan oleh kanal-kanal di Amsterdam. Transportasi air yang cukup ditata sedemikian apiknya, wajib dipelihara kebersihan dan manfaat agar tidak ada pembiaran perilaku yang merusak kanalnya. Keberhasilan ini berkat pendidikan masyarakat yang secara sadar memahami positif negatif terhadap pemahaman lingkungan. Aku belajar banyak tentang revitalisasi kota dari negeri kincir angin.
Sesampainya di depan rumah sewa Alexander, dia menepati ucapannya untuk menunggu di depan pintu. Aku tersenyum malu sedang dia langsung memelukku tanpa izin terlebih dahulu. Anehnya, kehangatan itu menjalar, tanganku merangkul tubuh Alexandar, meletakkan kepalaku di dada bidangnya.
“Aku nggak tau kamu mengalami apa aja beberapa akhir ini sampai harus skip kelas, Na,” ucapnya mengendurkan pelukan, beralih memegang satu pipiku.
“Hari ini aku mau mengerjakan tugas di sini boleh? Tiba-tiba aku jadi takut sendirian di housing.” Kepalaku terjulur ke arahnya. Aku membahas hal lain dan tidak menjawab pertanyaan Al. Sejenak ia mengangguk lalu menggiringku masuk. Meja yang sering digunakan sebagai tempat hias kini berganti banyak hidangan kuliner Indonesia. Entah dia beli atau masak sendiri, aku tidak tau. Namun dia sangat jago dalam memasak apa pun ketimbang aku. Apalah daya diriku ini, tidak bisa dibandingkan olehnya.
“Ana, kita makan dulu ya.” Dia memberi piring bermotif bunga raflesia dan segelas jus jeruk. Alexander benar-benar melayani seperti chef pribadi restoran bintang lima. Ia memberikan penyajian terbaik, sampai-sampai aku tersanjung oleh kemahiran tangannya. Kita makan dengan lahap sembari mendengar cerita konyol yang dikisahkan Al. Tentang Roy yang dicerca mati-matian oleh sang profesor. Katanya, Roy sempat salah menampilkan presentasi dan memperlihatkan fotonya yang bugil. Saat ditinjau, pacarnya sendiri yang iseng menyematkan gambar Roy. Aku tertawa terbahak-bahak melihat bagaimana reaksi dan ekspresinya ketika power point itu disiarkan selama hampir lima menit. Dia sungguh bodoh, mengapa tidak melihat layar monitor dulu saat presentasinya terbuka di depan para rekan. Pelupuk mataku tiba-tiba mengeluarkan setetes air yang bisa dibilang keceriaan adalah bentuk kesedihan yang mendalam. Aku segera mengusapnya tanpa ketahuan Al.
“Tentang tugasmu itu, apa temanya, Na? Kamu tidak lupa kan?” Potong Al di sela-sela cerita yang belum usai.
“Aku sudah tau. Bantu aku cari artikelnya ya.” Seusai makan, aku mengeluarkan laptop dari tas.
“Tentang apa?” tanyanya penasaran.
“Kerusuhan Mei 1998.” Aku menghela napas panjang.
“Ah, menarik. Problematikanya?” Alexander mengambil alih laptopku, ia memberikan secarik kertas sebagai kegiatan kedua setelah mendapat riset darinya.