Kehidupan akademis di Leiden University cukup menantang dan banyak peluang. Dosen yang mengajar pun sangat capable didukung oleh terbitnya jurnal di jurusan tiap individu. Mereka bersikap terbuka dan mau memahami sudut pandang dari kelompok lain yang memiliki kepribadian berbeda. Yang menjadi highlight adalah profesor dan dosen bersikap responsif dalam membalas surel termasuk permintaan ruang diskusi. Terlebih yang memerlukan bimbingan, mereka akan selalu menyanggupi pertemuan di waktu yang sama. Sebagian besar dosen juga sangat andil, mampu memberikan feedback yang spesifik dan terukur, hingga outcome-nya memiliki rencana dalam menindaklanjuti hal konkret persiapan ujian.
Aku mulai maju untuk mempresentasikan bahan-bahan ujian. Dimulai dari menekan laser pointer ke layar dan menggeser slide demi slide. Foto demi foto Lia terpampang di sana, aku memperkenalkan sebagian para tokoh yang familier dalam mimpi. Lia, Feri, Pak Wicoro, Rani, Ko Charles, Indro serta Retno. Nama nama asing di Benua Asia mungkin sedikit rancu bagi mereka yang hidup di Benua Eropa. Tidak seperti Alexander yang meneliti serius. Dirinya memusatkan perhatian penuh untukku. Namun ketika nama Rani terlontar, tubuhnya gagah sempurna. Aku sedang tidak menjelek-jelekkan sifat Rani atau menghalangi karakter antagonisnya. Aku hanya berbicara bahwa Lia dan Rani tidak sedekat itu.
Kembali pada kisah kasih di sekolah tentang Feri dan Lia. Aku menceritakannya langsung ke inti, bahwa sejoli itu sempat mengikuti demo bulan April 98 sebagai siswa di saat teman-teman lainnya belajar di sekolah. Senyumku merekah sedikit-sedikit lalu berubah temaram ketika ceritanya sampai pada Ko Charles. Satu-satunya orang Tionghoa yang dekat dengan mamaku dinyatakan meninggal dunia dalam memperjuangkan jasad istrinya. Disusul oleh bagaimana kakekku yang dibunuh sadis malah dituntut sebagai korban bunuh diri. Feri yang berangkat untuk menemui orang tuanya malah ikut menjadi korban kerusuhan Mei 1998 karena bersama Ko Charles. Aku menyematkan bahwa cerita ini berdasarkan kisah nyata. Rekan-rekan sejawatku melongo dengan menajamkan penglihatannya padaku. Ada yang iba, takjub bahkan acuh tak acuh dan menganggapku sebagai karangan fiktif belaka.
Tepuk tangan gemuruh terdengar riuh di dalam kelas. Aku membungkukkan badan dengan hormat dan duduk di kursi yang jaraknya cukup jauh dari Alexander. Rambutku terselip di antara daun telinga, meski begitu aku masih bisa melihatnya melalui ekor mata. Setelah kelas berakhir, mahasiswa pertama yang keluar yaitu Alexander. Tidak biasanya dia seperti itu, aku menilik dari jauh. Langkahnya teramat panjang seakan tak peduli lingkungan sekitar. Ada perasaan bersalah yang menjalar di hati. Apa aku terlalu jahat, kelakuanku ini tak sepadan dengan apa yang pernah diberinya untukku. Aku merunduk diam, meratapi kekesalan sendirian.
Aku belum ingin pulang dan memutuskan pergi ke pameran berjudul T-rex in Town, Leiden. Sebuah pameran fosil Tyrannosaurus Rex yang memiliki tulang belulang paling lengkap di penghujung dunia. Persentasenya mencapai 80% dari tulang yang berhasil disatukan akan membentuk tengkorak T-rex. Trix sendiri salah satu dari tiga T-rex terlengkap di dunia. Aku melewati satu tempat ke tempat lain dan membaca buku panduan yang tertempel di kaca pajangan. Versi Belanda dan Inggris. Aku menghela napas berat, ternyata berjalan seorang diri merupakan hal sia-sia. Biasanya waktu tidak dirasa lama jika di sisiku ada Alexander yang menemani. Aku merutuki diri telah menjauhinya tanpa ampun.
Aku menoleh ke belakang, mencari-cari seseorang yang mungkin mirip dengan Al. Di momen seperti ini aku dan dirinya pasti tertawa bahagia dan saling memotret diri. Hanya angan belaka, mustahil Al berada di sini dalam jangka waktu lama. Ia memang selalu menemani perjalananku yang membosankan demi memenuhi kepuasan hati. Aku tersenyum samar ketika teringat bagaimana caranya membujuk Al agar mau memetik bunga-bunga tulip di ujung kanal. Al melarang, sebagai gantinya, dia membelikan bunga di florist shop.
Pandanganku menyebar, menelaah dari bayangan hitam yang menjadi latar belakang kerangka dinosaurus. Dari kejauhan, aku merasa seseorang tengah menghampiri dan menyapa. Aku menggeleng mengusir kebisingan. Saat dirinya melewati tanpa tegur sapa, aku merasa potongan demi potongan akan tersusun menjadi puzzle. Teka-teki akan segera terselesaikan. Namun ketika tersadar, aku mulai mencarinya di sela-sela kerumunan. Badanku siap memanggil. Sejurus kemudian, aku tidak yakin dan mundur selangkah menabrak seseorang.
“Alexander? Wanneer ben je aangekomen?”[1] Aku keheranan melihatnya berada di sini. Apakah ini suatu kebetulan atau memang dia menguntitku.
“Aku ke sini untuk menghadiri undangan pameran sahabatku.” Ia menunjukkan undangan berwarna shabby chic. Undangan khas motif perempuan? Sejak kapan dia memiliki sahabat perempuan di Amsterdam?
“Kamu di sini dari tadi?” Aku berniat meminta maaf, jadi basa-basi adalah langkah terbaik.
“Ya. Sejak kemarin aku ingin membawamu ke sini. Ternyata kamu memang berniat pergi tanpa aku,” ucapnya sambil menggaruk hidung.
“Boleh kita berbicara, Al?” Akhirnya aku menyerah juga. Sudah kelewat batas jika aku masih membencinya tanpa alasan. Lelaki itu mengangguk setuju. Kita berdua melewati koridor dan mencapai taman khusus yang masih terhubung dengan pameran. Suasana nyaman namun dingin membuatku bersedekap tangan. Kurasa ini waktu yang tepat untuk bercerita padanya. Setelah kita berdua duduk di antara himpitan bunga plastik, aku masih enggan berbicara. Kita hening selama beberapa detik.
“Aku tidak tau apa yang membuatmu tak ingin bicara denganku.” Dia yang pertama memulai topiknya.
“Aku juga tidak tau apa yang membuatmu belum percaya denganku.” Dia tersenyum simpul, tatapannya lurus. Aku tau dia serius, namun aku bingung harus bercerita di bagian mana.
“Al, akhir-akhir ini aku melalui banyak hal yang tersambung dengan kehidupan Mamaku.” Berat sekali meneruskan ingatan ini.
“Dan di salah satu adegannya, ada siswa bernama Rani yang menjadi tokoh dalam perjalanan Mamaku.” Aku harus melanjutkan yang menjadi ketidaksukaan hatiku.
“Tapi sebelumnya boleh aku bertemu dengan Mamamu yang bernama Rani Permatasari?” Aku menoleh ragu-ragu, takut dia menolaknya sebab aku begitu tak sabar. Dia meletakkan kedua tangan ke belakang, menumpu badan agar tidak limbung. Pandangannya berganti menatap langit-langit dengan pondasi malang melintang. Helaan napas terdengar tak keruan, dia seperti menentukan jawaban mantap.
“Mama dan Papaku sudah meninggal ketika aku umur 7 tahun. Mereka kecelakaan pesawat saat akan pergi ke Portugal.” Aku menoleh cukup lama padanya. Hatiku pedih mendengar Al yatim piatu sejak kecil. Aku merunduk dalam diam, setetes air mata menaungi rok berwarna jingga.
“Aku tidak tau ada apa denganmu sampai kamu menjauh hanya karena aku memanggil nama Rani. Tapi apa pun itu, kamu bisa bercerita tanpa menjauh seperti kemarin, seperti hari ini.” Alexander menggenggam jemariku. Ada rasa getir yang tidak bisa dijelaskan. Betapa kejamnya aku pada lelaki ini. Terlalu frontal sampai harus menampar di rumah sewanya.