NostalDia

Melia
Chapter #15

Pulang ke Indonesia

Setelah melewati perjalanan sekitar 14 jam lamanya, tibalah aku di kamar yang sangat rapi, bergaya princess dan memiliki balkon megah. Papaku sendiri yang merancangnya sebagai arsitek. Jika ditarik mundur, kemewahan ini tidak ada apa-apanya dibanding hidup Lia dahulu. Sederhana, serba kekurangan sampai harus melawan arusnya nasib keistimewaan. Kepalaku bergumul, bermain-main dengan kondisi sukar. Bagaimana dengan nasib pria itu, sedang apa dia? Kira-kira apa yang dia lakukan di Amsterdam?

“Ana…” Ketukan pintu membuatku menoleh. Cepat-cepat menghampirinya sebelum berubah jadi ketukan kasar.

“Iya, Ma?” Aku tersenyum padanya. Lia membawaku ke ruang tamu sembari menggamit lenganku. Sepatah kata sudah kulontarkan namun tak berhasil membuatnya berucap. Alhasil, aku mengikuti langkahnya saja. Tiba-tiba aku teringat tentang obrolan bersama Alexander di pameran T-Rex, Leiden yang mengucapkan sepintas tentang orang tuanya.

“Mama… bagaimana kabar Rani Permatasari sekarang?”

Lia terkejut mendengar nama temannya terlontar olehku. Ia menaikkan alis dan tersenyum simpul. “Mimpimu itu detail sekali ya, Na?” Lia membelai lenganku sebelum akhirnya kita duduk di sofa ruang tamu.

“Dia sudah meninggal lama sekali. Kecelakaan pesawat bersama suaminya. Terakhir Mama melayat sama teman-teman. Untung jenazah mereka ditemukan, meski…” Lia menahan napas.

“Jazadnya tidak utuh.” Ada perasaan sedih ketika mama mengucapkan kata terakhir.

 “Ana juga baru tau dari teman Ana.” Aku menyingkirkan foto-foto yang tidak memiliki sangkut paut dengan kehidupan sekarang. Menyelami foto lampau lebih menarik perhatian.

“Oh, ya?”

“Teman Ana, dia anak dari Rani Permatasari. Namanya Alexander. Dia selalu bantu Ana waktu di housing.” Bola matanya berbinar, mungkin setengah bergidik setengah kagum. Aku sendiri tidak mengerti, takdir apa yang hendak disiapkan Tuhan padaku.

“Waktu Tante Rani meninggal, Mama gimana? Masih marah sama dia?” Aku memanggilnya tante untuk menghargai Alexander. Bibirnya bergerak ke atas, mengerti bahwa aku ingin jawaban yang tidak sederhana.

“Marah untuk apa, sayang? Kejadian itu sudah lama sekali.” Dari nadanya, dia benar mengikhlaskan yang sudah-sudah. Harusnya aku meniru Lia yang membiarkan waktu menghapus tiap kenangan buruk di hidup.

Pada meja yang terdiri dari dua pilar, terdapat beberapa foto keluarga yang nampak usang, berganti-ganti dengan foto pernikahan Lia bersama Reza. Sebagian besar kertas fotonya hitam putih meski ada yang bewarna. Tanganku tertarik pada potret seorang gadis yang menikmati makanan dengan lelaki muda di depan rumah. Sedikit ingatan kembali pada rumah Lia di Surabaya. Rumah yang dicat putih tulang cukup hapal di kepala. Aku diam-diam tersenyum.

 “Itu bukan Feri. Kalau kamu cari dia, ini yang benar.” Foto itu diletakkan di atas kertas yang sedang kupegang hingga menghalangi gambarnya.

“Benar, Ma?” Aku menyandingkan dua foto tersebut, benar saja rahang mereka tidak sama.

“Iya. Kalau foto yang pertama tadi adalah Papamu, Reza. Coba kamu periksa perbedaannya.” Lia menunjuk dengan jari dan menyentuh foto yang kupegang. Saat ditelaah, Reza memiliki rahang oval sedangkan Feri bentuk rectangle, sama persis seperti yang aku lihat saat di Amsterdam. OMG! Aku lupa belum memberi tahu Lia.

 “Mama, Ana mau ngomong sesuatu.” Aku meletakkan foto Lia Reza dan tetap membawa foto Lia Feri.

“Iya? Berhubung kamu sudah tau semua, nggak ada lagi yang harus Mama tutup dari kamu.” Senyumnya candu. Di satu sisi aku bersyukur, Lia yang sekarang adalah perempuan cantik nan sehat. Beruntung mama memiliki suami seperti Reza.

“Tentang Feri, Ma.”

“Apa yang mau kamu ketahui darinya, Sayang?” Lia meletakkan satu persatu foto dan membuat gerakan seperti ingin menjelaskan tragedi atas tiap gambar.

“Sebelum pulang ke Indonesia, Ana sempat bertemu Feri.” Aku melihat Mama bersikap ragu dengan kerinduan tak berbekas. Lia masih menjadikan Feri sebagai bayang-bayang kehidupan. Tangannya berhenti dan menekan-nekan foto yang tersisa di tangan agar rapi.

“Apa?”

“Iya, Ma.” Aku mengangguk pasti. Di kanan dan kiriku, tidak ada siapa pun kecuali kita berdua. Papa bahkan sudah berangkat bekerja sebelum aku bangun. Aku kian mendekat di sisi Lia dan menggenggam tangannya.

“Bagaimana bisa?” Keterkejutan itu belum mereda. Ada rasa penasaran cukup serius yang membuncah. Aku sendiri tidak yakin, apakah mataku benar-benar melihatnya sebagai sosok Feri atau hanya imajinasi.

“Ana melihatnya versi dewasa, Ma. Tapi Ana yakin sosok itu Feri, soalnya waktu Ana berbicara Bahasa Indonesia, dia menyimak.” Aku membuang muka untuk tidak melihat matanya. Mata yang sudah mulai berkaca-kaca ditunjukkan Lia. Aku hanya takut menular.

“Sudah, sudah. Kamu pasti hanya salah orang. Kalau benar dia Feri, kenapa harus Amsterdam yang dituju. Tidak mungkin dia mengetahui kamu anaknya.” Pernyataan itu telak menembus relung jiwa yang paling dalam. Tidak mungkin dia mengetahui kamu anaknya. Sejenak Lia meringis untuk menutup obrolan.

“Justru itu yang harusnya Ana tanyakan ke Mama. Cita-cita apa yang pernah Feri ceritakan ke Mama sampai dia harus pergi jauh ke sana?” Aku masih memegang potret diri antara Lia dan Feri. Belum kuberikan pada mama saat beliau mulai membereskan fotonya.

“Mama juga tau kan, Ana tidak punya alasan tersendiri mengapa harus Amsterdam sebagai tempat Ana study exchange?” Aku mengikuti Lia yang berdiri hendak meninggalkan.

“Iya kan, Ma? Kenapa seperti kebetulan sekali? Kenapa Feri juga ada di sana kalau memang tanpa alasan dan kita bertemu pertama kalinya sebagai seorang ayah dan anak?” Langkahku mengekori Lia yang mulai berjalan cepat.

“ANA! STOP!” bulir air mata kian jatuh semakin deras di pipinya.

“Apa yang harus Ana hentikan, Ma? Kata Mama, Ana boleh tanyakan apa pun tentangnya?”

“Feri tinggal di Jakarta kan, Ma? Kita juga di Jakarta. Kenapa Mama nggak coba cari dia? Kalau peran Lia sudah mati, boleh Ana sendiri yang cari Papa kandung Ana?”

Tangan Lia melayang di udara, aku memejamkan mata, tidak menghindar. Berharap Lia melengkapi kekesalannya yang tertahan. Biar. Biar dia menjadikanku tumbal kerinduan. Aku pun ingin tau sebesar apa caranya menghadapi anak sepertiku. Perkiraan itu salah, Lia memelukku erat sambil berbisik, “Ikhlaskan dia ya, Nak.”

“Belum bisa, Ma…” Tangisku ikut pecah di pundaknya.

“Ya sudah, besok kita ke Surabaya gimana? Mau pergi ke sana?” Lia mengendurkan pelukan, mendekap kedua pipiku. Sejenak aku mengangguk cepat, siap bertemu tokoh utama yang menjadikan tidurku acak-acakan.

Lia nampak menerima telepon dari seseorang, gelagatnya berkata bahwa dia Reza. Aku meninggalkan mama ke kamar dan meletakkan foto Lia Feri di laci. Tanganku iseng untuk membuka sosial media dan mengetik nama Feri Arjuna di kolom pencarian. Ke bawah, kian ke bawah yang tidak ada ujungnya.

“Kenapa banyak sekali nama Feri Arjuna.” Kesal sendiri sebab profil yang muncul tidak sekali pun mirip dengannya. Aku menatap kalender di meja dan membulatkan angka 13 di pertengahan bulan Mei 2023. Aku meninggalkan Amsterdam akhir April sesuai libur semester dimulai. Sebenarnya boleh-boleh saja aku menambah hari di negeri kincir angin. Tapi, Rika teman kamar di sebelah memutuskan pulang karena papanya meninggal dunia. Aku tidak bisa membayangkan kehilangan seperti apa yang dirasa Rika. Karena aku sendiri belum pernah…

“Halo, Al?”

“Halo, Na? Sudah lama aku tidak dengar suaramu lagi.” Aku tersenyum membayangkan Al berada di sisi dan membelai pipiku.

“Sama. Oh iya, Mamaku mengajakmu bertemu kapan-kapan. Kira-kira kamu pulang di tanggal berapa?” ucapku tersipu malu.

“Wah. Satu kehormatan besar bisa diundang oleh calon mertuaku sendiri.” Aku tertawa kencang lalu disusul gelaknya yang tak terbendung sebentar. Kita berdua seperti berada di lautan, mendengar ombak berderu dan berlari-lari kecil menghindari anak kecil yang bermain air. Senyaman itu sekarang perasaanku.

Kain pashmina berwarna kuning matahari terangin-angin saat Lia menyusuri nisan yang terhubung panjang dan vertikal. Di ujung ada posko seperti tempat istirahat pengunjung jarak jauh yang dilapisi bahan grafit bernuansa gelap, terlihat menonjol dari kayu dan menekankan batas antara yang dibangun dengan yang kosong. Aku ketinggalan sangat jauh dari jarak Lia berada. Langkahnya sebentar-sebentar berhenti lalu berjalan lagi. Saat dia berjongkok, aku meyakini satu hal. Dia menjalin perjalanan masa lalu dan menyadari tidak lagi berada di sana. Aku mendekat bukan untuk memecah konsentrasinya. Aku turut berdoa dengan kepergian Ko Charles dan Ce Novi. Mereka berdua engkoh yang baik hati untukku. Meski aku mengenal kalian di mimpi, tapi percayalah aku mendoakan kalian agar tetap abadi.

Kata Lia, saat keduanya meninggal. Mereka tidak memiliki kerabat dekat. Jadi, agar tidak terjadi hal-hal janggal, Retno menguburkannya di pemakaman umum bukan kuburan khusus Tionghoa. Aku menabur bunga di atasnya lalu membelai nisan yang menunjukkan tanggal mereka dibantai habis-habisan. Sejenak aku menoleh pada Lia, bibirnya melantunkan kalimat baik yang diawali perjumpaan dan berakhir perpisahan. Kita berganti di sisi kiri, nisan dengan tulisan Retno dan Indro membuat bibirku mengembang.

Terima kasih atas kasih sayang kalian memberi kesempatan pada Feri dan Lia yang sangat terpercaya itu. Mungkin kalian kecewa ketika aku dikumandangkan lahir di dunia. Terima kasih, faktanya kalian tidak merundung dan menyiksa agar aku hilang dari peredaran bumi. Maaf, aku tidak menemani kalian di umur yang harusnya menjadikanmu cucu kebanggaan.

Mama mengusap air mata yang mengucur sejak tadi. Ia memelukku dari samping dan menabur bunga mawar putih di atasnya. Sesekali kucabut rumput yang bermekaran memenuhi tanah. Semua orang-orang ini manusia baik. Tidak heran jika kalian meninggalkan dunia lebih cepat. Untuk memori nenek yang bernama Retno, kata mama beliau sakit diabetes hingga kondisi tubuhnya tidak mampu menopang lagi dan kakinya diamputasi. Beruntungnya Lia tatkala menikah dengan Reza dan pindah ke Jakarta tanpa memiliki tanggungan.

“Boleh mama tau rupa dari anak Rani, Sayang?” Setelah menaiki mobil bersama supir, mama menghentikan tawaku yang sedang asyik mengirim pesan dengan Al.

“Ah, boleh. Sebentar…” Aku menunjukkan foto profil Alexander pada Lia, bibirnya merekah lama.

“Boleh juga pilihanmu itu.” Ia menggodaku telak. Tak lama, raut wajahnya berubah datar dan melempar ponselnya ke pangkuanku. Dia membuang muka ketika kuajak bicara. Aku tidak merasa ada yang salah dan tetap melanjutkan chatting bersama Al.

Sesampainya di Jakarta, papa tengah menunggu di depan rumah dengan raut bahagia. Aku menghamburkan diri ke pelukan beliau, berbeda dengan mama yang langsung masuk tanpa mengindahkan salam dari suaminya.

“Ada masalah, Sayang?” Tanya papa padaku.

“Nggak ada, Pa. Nggak tau kenapa tiba-tiba Mama jadi diam begitu.” Kita melihat langkah mama yang tergesa-gesa memasuki pelataran rumah.

“Kalian nggak berantem kan?” Papa seolah-olah menyalahkan aku sebagai biang keroknya. Aku menggeleng karena diri ini pun tidak tau.

 Malamnya, aku melihat-lihat piano di online shop. Entah kenapa aku ingin sekali bermain musik. Apakah seleraku kian meningkat setelah berpacaran dengan Alexander? Senyumku tidak henti-hentinya melengkung ke atas. Dia tau cara memahami dengan tepat, dia tau cara melangsungkan kebahagiaan serasi. Aku meluncur ke foto profilnya. Melihat sedekat apa dia saat bersamaku. Hatiku mendadak dihajar pegulat, badanku terduduk sigap. Apa-apaan ini? Pertanda apa ini? Pantas saja Lia membuang ponselku begitu saja.

Aku berlari keluar kamar dan mengetuk pintu kamar Lia. Memang sudah tengah malam, tapi rasanya ini lebih mendesak dari apa yang kupikirkan. Apa itu yang dilihatnya tadi? Mengapa aku tidak sadar?

“Pa? Apa Mama sudah tidur?” Aku mengintip dari balik pintu setelah papa berhasil membukanya. Lampu temaram memperlihatkan perempuan yang tidur menghadap belakang.

“Ada apa, Na? Kamu membuat papa khawatir. Ada maling?” Dia langsung memegang tanganku erat sedang aku menggeleng lemas.

Lihat selengkapnya