Nostalgia
Surabaya, 2000.
Lia menaiki sepeda pancal ke daerah Gunungsari, Surabaya Barat untuk menjadi karyawan teladan salah satu toko emas di sana. Sepeninggal Indro yang menyayat luka, dia harus tetap menyesuaikan alur kehidupan yang tak ada ujungnya. Sekaligus menyembuhkan hati atas hilangnya Feri yang mendadak. Tidak hanya perasaan itu yang memuncak, tapi kepercayaan diri lama-kelamaan memudar. Lia masih mengayuh pedalnya makin jauh memasuki pasar dan menyapa sebagian pedagang yang mengenalnya.
Lia tidak pernah telat, Lia selalu menjadi karyawan ulet, rajin dan pintar. Namun semuanya sirna ketika kedatangan seseorang mendadak meluluhlantakkan dirinya. Feri muncul di hadapan Lia sembari memilih cincin di toko emas yang ia jaga. Feri sengaja menemui Lia dengan senyum tampan.
“Boleh ambilkan yang paling depan ini, Mbak Lia?” Ia menahan tawa.
“Kamu? Kenapa kamu ada di sini?”
“Ya jelas buat beli emas,” ujarnya sewot.
“NGGAK BOLEH!” Suaranya lebih sewot sampai menarik perhatian beberapa orang di sana.
“Bisa kamu keluar sebentar? Aku mau ngomong sama kamu,” pinta Feri pelan.
“Nggak bisa! Kamu nggak lihat aku lagi kerja?”
“Kamu nggak lihat sekarang jam istirahat?” Tangannya menunjuk jam besar di tembok. Laki-laki ini memang selalu membuat Lia jengkel. Upayanya memikat hati Lia tidak sia-sia. Alhasil Feri membawanya keluar sembari membeli nasi soto tepat di samping toko emas. Lia masih saja tidak menyukai pedas ketika Feri iseng menambahi sambal di mangkuknya. Setelah itu, Feri tertawa ketika Lia terbatuk-batuk dan ikut menghabiskan minumannya.
“Kon iki senengane nggarai aku mangkel ae, Fer-Fer.”[1] Lia menjauhkan mangkuk soto dari posisinya. Gadis itu berdiri hendak keluar warung.
“Lia…kamu kenapa sih?”
“Aku kenapa? Masih tanya aku kenapa?” Bola mata itu melebar sembari wajahnya di dekatkan pada Feri.
“Setelah semuanya terjadi, kamu masih tanya kenapa?” Lia menunjuk muka Feri untuk menandakan bahwa dia sedang marah.
“Enak ya, masih sehat baru datang sekarang,” lanjutnya sambil meletakkan uang sekitar Rp 500 di meja, meninggalkan Feri yang mengunyah santai.
“Berulah lagi itu bocah.” Feri menekuri uang perak yang diberi Lia.
Selesai makan, Feri menjenguk Lia di toko emas tanpa melihat orang sekitar. Langkahnya seperti rumah sendiri. Lia masih sibuk menimbang takaran emas lalu menulis angka gram di nota. Tatapannya beralih pada seorang lelaki yang meringis santai.
“Ko. Ada orang gila masuk!” Teriaknya tanpa menoleh pada si pemilik toko. Seseorang yang dipanggil Koko itu berdiri dan menatap siapa orang yang disebut Lia. Feri langsung melipir, melihat-lihat cincin emas di etalase.
“Mana toh yo?” Koko duduk kembali ke kursi santai, dia tidak menemukan orang gila di tokonya. Feri berada di depan Lia sembari menumpu kedua tangan di kaca pajangan.
“Mbak Lia. Bisa tunjukkan mana cincin yang paling bagus?” Alisnya naik, bersiap menggoda mental Lia.
“Nggak bisa!”
“Wah, Ko…” Feri bersiap memanggil si pemilik toko sebelum Lia memelototinya tajam.