(Not) An Ugly Duckling

Niken Darcy
Chapter #1

1. Itik Buruk Rupa

Mutiara Dunia. Itu adalah nama yang disandangnya. Satu nama tidak biasa, yang disematkan pada seorang gadis yang wajahnya bahkan sangat biasa.

Dia tidak cantik, tetapi juga tidak jelek. Tubuhnya tidak tinggi, juga tidak pendek. Badannya tidak kurus, bahkan cenderung gemuk. Dan benar-benar tidak ada yang menonjol darinya. Yah, kecuali beberapa bagian tubuh yang tentu saja tidak bisa dibanggakan menurutnya.

Muti, begitu biasa dipanggil, dilahirkan dari keluarga biasa-biasa saja. Tidak kaya, tetapi juga tidak kekurangan. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil golongan III, sedangkan sang ibu adalah ibu rumah tangga. Kadang, ibunya yang nyentrik itu bekerja sambilan menjadi seorang penulis lepas di kantor majalah wanita.Muti mempunyai satu orang kakak laki-laki bernama Satu Bintang dan satu adik yang juga seorang laki-laki bernama Langit Biru.

Oke, kalian boleh tertawa mendengar nama-nama yang justru sangat tidak biasa itu. Adalah ibu mereka, Dina Soraya, -yang senang sekali membaca- yang memberi nama-nama 'aneh' itu pada anak-anaknya. Sag ibu, dulu kuliah di jurusan filsafat, jadi tidak heran jika beliau sedikit 'aneh'.

Kakaknya, Bintang, berbeda jauh dengan Muti. Bintang sangat tampan dan begitu populer di kampusnya. Ketua BEM, sangat aktif berorganisasi, jago berolahraga, plus berotak cemerlang. Pokoknya, Bintang adalah tipikal cowok yang selalu ada dalam tokoh-tokoh utama novel romantis yang banyak digilai para gadis.

Muti sering menduga jika Bintang adalah anak salah ambil. Mungkin dulu suster di rumah sakit keliru mengambil bayi orang lain dan memberikannya pada ibunya. Tidak mungkin orang sesempurna Bintang menjadi kakaknya. Akan tetapi, memang itulah kenyataannya. Bintang adalah kakak kandungnya. Golongan darah mereka sama dan beberapa orang bilang mereka mirip.

Bah! Pasti orang-orang itu katarak saat mengatakan mereka mirip. Dilihat dari sudut manapun, mereka tidak ada kemiripan sama sekali. Oke, kecuali saat tersenyum. Dia, Bintang, dan Langit memiliki satu senyum yang sama. Senyum ibu mereka. Namun hanya itu saja. Untuk yang lainnya, Muti adalah duplikat ayahnya.

Tidak jauh berbeda dengan Bintang, Langit juga bukan termasuk anak yang biasa-biasa saja. Langit cerdas -walaupun tidak secerdas Bintang- dan juga sangat tampan. Wajahnya begitu elok dengan bulu mata yang lebih lentik dan lebih tebal daripada Muti. Matanya hitam cemerlang dan hidungnya mancung.

Bahkan di usianya yang baru tiga belas tahun, Langit sudah banyak dikejar gadis-gadis teman sekolahnya. Singkat kata, Muti adalah anggota keluarga yang paling tidak eksis dan tidak oke. Dia hanyalah itik buruk rupa di tengah sekumpulan angsa yang sangat cantik.

Hal itu sering membuatnya minder jika harus bepergian dengan seluruh anggota keluarganya. Dia selalu diperhatikan orang-orang yang melihatnya berbeda. Berwajah sangat biasa dan tidak berkulit putih. Terutama saat ada acara kumpul keluarga besar. Ia selalu menjadi nyinyiran para saudara yang lain karena dirinya yang tidak serupawan Bintang atau Langit.

Muti sekarang kelas 2 SMU. Di sekolah, prestasinya juga tidak terlalu menonjol. Dia menjawab jika guru bertanya, tetapi tidak pernah mengangkat tangannya untuk mengajukan diri menjawab pertanyaan.

Teman-teman pun, dia tidak memilih berada dalam satu kelompok tertentu. Di satu saat, dia bisa bersama gerombolan murid populer. Di waktu lain, dia asyik dengan gerombolan murid pintar di sekolah. Dia bisa loncat ke mana saja dia suka. Karena itulah teman-teman sekolahnya selalu memanggil dia, Marmut.

“Marmuuuuttt, ikut gue kuy!!” Acha, ketua cheers di sekolah, berteriak kencang di depan pintu kelas Muti.

Muti yang sedang asyik makan kacang, menoleh tetapi tidak beranjak dari duduknya. “Ke mana?”

“Makaaannn!! Ayoookk buruuu, gue lapeeer.”

Muti bangkit dengan berseri-seri dan meninggalkan kacang Sukro-nya yang masih separuh untuk Sandy, cowok gendut yang duduk di belakangnya. Makan gratis selalu membangkitkan gairahnya!!

“Mut, gue mau curhat,” ucap Acha begitu mereka duduk di bangku kayu tempat bakso paling enak di SMU Persada Bangsa mangkal.

Muti memutar bola matanya. Sudah hapal jenis curhat apa yang akan diutarakan Acha. Pasti itu soal cowok. Dan cowok itu tidak lain pasti…

“Kenapa lagi?” Tanya Muti untuk memastikan jika tebakannya benar.

Acha memanyunkan bibirnya. “Masa Damar nolak ajakan nonton gue.”

Damar Wisnu Ardhika Widjaya. Dia adalah pujaan di Persada Bangsa. Cowok itu memang tidak setampan Bintang, bahkan menurut Muti, Damar itu standar, tetapi tetap saja banyak cewek di sekolah mengidolakan dia.

Damar tinggi, meskipun berbadan kurus, tetapi masih enak dipandang, jago basket, anak PA, dan berduit. Walaupun tidak terlalu pintar, tetapi empat poin lainnya sudah menutup kekurangan itu.

“Ya udah sih nonton sama yang lain aja.” Mata Muti berbinar saat bakso pesanannya ada di hadapannya. Lima bulatan daging itu membuatnya hilang akal. Bakso adalah kelemahannya.

“Gue maunya sama Damar, Marmuuut!” Acha kembali bersungut-sungut.

“Ck! Bego lu, Cha. Ajak aja tuh si Pandu. Bilang biar dia ngajak Damar, terus lo ngajak temen cewek lo. Pandu nggak mungkin nolak gratisan.”

Lihat selengkapnya