1
Sebelum berangkat bekerja, aku menatap wajahku di cermin. Aku memoleskan make up tipis di wajahku dengan concealer yang sedikit lebih tebal di bawah mataku untuk menutupi kantung mataku. Usaha yang tidak terlalu berpengaruh tetapi sedikit membuat warna gelapnya tersamarkan. Mataku merupakan mata monolid dengan bola mata berwarna coklat gelap yang dapat dilihat di cahaya yang terang. Wajahku berbentuk sedikit lonjong, hidung mancung, bibir tipis, dan tulang pipi yang sedikit tinggi. Rambut lurus, tanpa poni, yang berwarna hitam legam sepanjang bahu membingkai wajahku. Aku menatap diriku lagi sesaat di depan cermin sebelum memastikan semuanya sudah cukup baik dan aku bisa berangkat kerja.
Aku bekerja di Kantor Kepolisian Pusat Kota Highland. Highland memiliki populasi penduduk sebanyak kurang lebih tiga juta dan dikenal untuk wisata pegunungannya. Highland adalah kota dengan definisi masa lalu dan masa depan yang tepat. Jejak masa lalu dari kota masih terlihat dan tidak terhapuskan oleh modernisasi yang terjadi. Jika ada yang dibanggakan dari kota ini, maka penduduknya akan memilih reputasi Highland sebagai destinasi wisata tertinggi di negara ini.
Setiap pagi aku akan menggunakan bus umum yang berhenti tepat di depan kantor, tetapi pagi ini aku berhenti satu halte sebelum tujuan untuk mampir ke Café Amore. Aku mengenal baik staff di Café Amore karena aku pelanggan regular di café ini. Dua alasan aku pelanggan regular di Café Amore adalah, satu ini satu-satunya café terdekat dari kantor yang kopinya aku suka. Dua, aku berteman baik dengan pemiliknya.
“Pagi, Ava. Vanilla latte panas seperti biasa?” tanya Ezra, kasir café pagi ini yang sekaligus adalah pemilik café dan teman baikku, dengan senyum yang ramah.
“Kamu kenal aku dengan baik, Ezra,” balasku dengan tertawa kecil.
“Malam yang sulit?” Ezra bertanya dengan pandangan khawatir.
“Eh?”
“Kau terlihat kelelahan.”
“Oh... tidak, hanya sedikit kesulitan untuk tidur. Terlihat jelas ya?” jawabku dengan tertawa kecil berusaha menutupi kelelahanku.
“Aku mengenal kamu baik, Ava. Aku bisa melihat dengan jelas saat kamu memiliki masalah, yang ngomong-ngomong adalah hampir selalu,” Ezra membalas dengan menatap wajahku dengan lebih fokus.
“Template wajahku begitu,” ujarku. Ezra Stewart adalah teman yang sudah aku kenal dua tahun. Aku mengenalnya sejak pertama aku melakukan magang di Kantor Polisi Pusat Kota Highland dan sering datang ke café ini. Dia adalah laki-laki dengan rambut coklat panjang yang selalu diikat, dengan mata coklat yang selalu memancarkan senyum tulus, dan kulit sawo matang. Aku akui Ezra merupakan laki-laki yang tampan. Sejujurnya, waktu pertama mengenal Ezra, aku terpana dengannya. Rekan magangku saat itu, Hellen, bahkan mencoba mendekati Ezra yang gagal setelah usahanya selama satu minggu. Tetapi setelah mengenal lebih lama, aku tidak berpikiran seperti itu lagi terhadap Ezra. Hingga saat ini hubungan kami adalah teman baik yang sesekali akan hangout saat kami memiliki waktu luang. Tidak berdua tentunya, ada teman kami yang lain juga.
“Jadi, jam berapa besok aku pergi menjemputmu?” tanya Ezra sambil bergerak kesana kemari membuatkan latte pesananku. Pertanyaannya menyadarkan aku dari lamunannku. Ternyata aku daritadi memerhatikan dia bergerak membuat minuman.
“Eh? Besok?” jawabku sambil menghalau rasa panas di pipiku, merasa tertangkap basah sedang memerhatikan dia.
“Gosh. Terkadang aku berpikir bagaimana bisa kamu jadi detektif dengan ingatan yang begitu buruk.” Oh, aku ingat sekarang. Besok adalah hari ulang tahun Hellen dan besok malam dia merayakan ulang tahunnya di restoran.
“Oh. OH! Aku belum menyiapkan kado, sial. Kamu beli apa untuk Hellen?”
“Aku membeli karpet yoga, berhubung Hellen sedang begitu terobsesi dengan yoga. Namaste ini namaste itu, kedamaian batin, bla bla bla. Besok hari off ku, aku dapat menemanimu mencari kado sebelum kita ke Biza.” Ezra menjawab. Dia menyerahkan kopiku di tumbler yang aku bawa.
“Terima kasih banyak! Kamu memang penyelamatku. Oh, apa jadinya aku tanpa kamu, Ezra.” Aku menjawab dengan melebih-lebihkan reaksiku. Wajah Ezra memerah. Aku tertawa puas melihat itu. Dia merupakan pribadi yang pemalu dan dengan mudah wajahnya membocorkan rasa malunya setiap kali dipuji orang lain.
“Ugh, menjijikan. Hentikan itu. Besok aku akan menjemputmu jam 1 siang. Kita dapat makan siang dulu, kemudian mencari kado, dan menuju Biza bersama. Oke?”
“Oke. Sungguh, terima kasih Ez. Terima kasih kopinya, aku pergi mencari nafkah dulu ya, bye,” ujarku memberikan kiss bye dan tertawa lebar. Ezra merespon dengan lambaian tangan mengusirku. Dia mengusirku dengan mengataiku rusuh dan berisik, aku merespon dengan lambaian dan senyuman terlebar yang dapat kuberikan. Bertemu dan berinteraksi dengan Ezra selalu membuatku senang.
Café Amore terletak dua blok dari kantor. Aku berjalan santai sambil menyesap sedikit demi sedikit kopiku. Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa kopi. Pagi-pagiku hampir selalu dipenuhi rasa kelelahan dan kopi membantuku untuk mengisi energi walau hanya sedikit.
Bekerja di kepolisian Highland memberiku cukup banyak waktu luang saat sedang tidak ada kasus besar. Penduduknya yang tidak terlalu banyak membuat kondisi kota ini cukup kondusif dari waktu ke waktu. Kasus-kasus yang ekstrim jarang terjadi. Dilihat dari luar, kota ini dapat dibilang tenang dan damai. Aku bekerja sebagai salah satu detektif di Divisi 4 dari total lima orang detektif. Kasus yang kami tangani tidak hanya kasus pembunuhan, tetapi juga kasus orang hilang, kekerasan, penculikan, dan kasus bunuh diri.
Sampai di kantor, aku langsung menuju lantai tiga dan duduk di kubikelku. Kubikelku berada di sebelah kubikel James, yang sedang bermain handphone saat aku sampai.