Not Everything is As It Seems

Erika Angelina
Chapter #3

2

2

 

Pikiranku begitu penuh dan pekerjaan yang banyak membuatku tidak menyadari waktu yang telah berlalu. Hari sudah sore dan jam kerja kami sudah akan selesai untuk minggu ini. Di tengah kesibukan pun pikiranku masih terganggu dengan hilangnya Alison Starker. Terlintas di benakku, bagaimana jika hilangnya Alison berhubungan dengan mimpiku tadi malam? Aku mencoba menghalau pikiran itu, namun gagal. Karena jika bukan Alison pun, ada seseorang di luar sana yang mengalami kejadian itu. Hari ini juga, aku membuka telinga dan mata jika ada kasus penemuan mayat atau apa pun yang berhubungan, tetapi hingga sore ini tidak ada yang menghubungi kepolisian mengenai hal itu. Hal itu membuatku tidak tahu harus bersyukur atau semakin khawatir. Pikiranku begitu penuh sehingga tidak menyadari waktu yang telah berlalu.

“HAI! Berhenti melamun. Ini jam pulang kenapa wajahmu masih sekusut itu?” Hellen menepuk keningku. Aku memutar bola mataku dan bergerak membereskan barang-barangku.

“Aku ada perlu sebentar dengan Gary, kalian duluan saja,” ujarku kepada Hellen dan James.

“Oke, sampai jumpa besok ya! Please, pakai dress untuk besok! Permintaan dari orang yang berulang tahun tidak boleh ditolak,” teriak Hellen sambil berjalan menuju lift.

“Bye, Ava,” James melambai sebelum mengikuti Hellen. Aku berbalas melambai hingga mereka masuk ke lift. Kemudian aku berjalan menuju kantor Gary. Aku mengetuk dua kali, jeda sesaat sebelum aku mendengar suara jawaban Gary dari kantornya.

“Uhm, maaf, Gary. Apakah ada perkembangan laporan dari kasus Alison Starker?” tanyaku dengan masih berdiri di pintu.

“Tidak ada. Siang tadi sempat ada laporan, tetapi ternyata laporan yang salah. Seseorang melihat perempuan yang mirip dengan Alison,” wajahnya terlihat begitu lelah. Aku berjalan masuk perlahan sebelum duduk di depannya.

“Tidak ada juga laporan mengenai orang hilang lain atau mungkin penemuan tubuh atau semacamnya?” aku bertanya lagi. Gary menyipitkan matanya memerhatikan aku dalam diam. Tatapannya membuatku salah tingkah dan aku bisa merasakan pipiku memanas.

“Ada apa? Apakah kamu mengharapkan ada laporan mengenai sesuatu yang spesifik?”

“Eh, tidak. Aku hanya bertanya saja. Baiklah, kalau begitu aku tidak akan mengganggu lebih banyak waktumu,” ujarku sambil bangun dari kursi perlahan dan berjalan menuju pintu. Sebelum aku keluar dan menutup pintu aku membalikan badan sekali lagi.

Take it easy, Gary. Kau terlihat sangat kelelahan.” Kemudian aku menutup pintu.

Aku merutuk di dalam hati, siapa aku berani-beraninya bilang take it easy kepada seorang Gary Sawyer. Kekurangan tidur terus pasti membuat otakku rusak. Pintu kantor Gary tiba-tiba terbuka. Aku yang masih berdiri di depan pintunya terlonjak kaget dan membalikan badan. Aku berusaha mengatasi salah tingkahku dengan berjalan menuju mejaku untuk mengambil barangku.

“Ava, apakah kamu butuh tumpangan?” tiba-tiba Gary bertanya.

“Eh, tidak usah. Aku biasa berpergian menggunakan bus, terima kasih,” aku terkejut dengan tawarannya. Ini bukan hal yang pernah dilakukan Gary sebelumnya kepadaku atau bahkan kepada yang lainnya di sini, sejauh yang aku tahu.

“Yakin? Sekarang sedang turun hujan, kamu bawa payung?” tanyanya lagi.

Aku menengok ke jendela. Hujan turun dengan deras. Aku tidak membawa payung. Sial. Aku melihat kakiku, hari ini aku menggunakan sepatu sneakers putihku yang baru saja aku cuci, ugh, berbicara tentang kebetulan. Jika aku menerima tawaran tumpangannya, apakah akan canggung nanti jika aku hanya di mobil dengan Gary? Apakah orang-orang di kantor yang melihat aku masuk ke mobilnya akan berpikir yang tidak-tidak?

“Hey, mau atau tidak? Aku tidak akan menunggu kamu disini memandangi hujan sampai hujannya berhenti. Aku ingin cepat pulang dan istirahat karena seperti katamu, aku kelelahan dan ingin take it easy,” Gary memanggilku sambil berjalan menuju lift.

Aku merasakan wajahku memanas lagi dan segera berjalan mengikutinya. Perjalanan dari lantai tiga menuju mobilnya di parkiran diisi dengan keheningan. Aku tidak tahu apakah aku perlu membuka pembicaraan? Apakah lebih baik aku diam agar tidak mengganggu dia? Akhirnya aku memutuskan untuk diam sebelum dia yang mengajak aku untuk berbicara. Kami berjalan menuju mobil Gary. Mobil Gary adalah Volvo yang berwarna biru gelap yang terlihat terawat dengan sangat baik pada bagian luar dan dalamnya.

“Kamu masih tinggal di tempat yang sama?” tanya Gary saat kami sudah masuk ke mobil dan sedang menggunakan seatbelt.

“Eh? Apakah kamu tahu tempat tinggalku?”

“Tentu. Kan aku pernah mengantarmu pulang saat kamu magang dan sakit karena perut keram,” jawabnya singkat.

“Oh. Betul juga.” Aku benar-benar lupa mengenai kejadian itu.

Betapa malunya aku dengan kejadian itu. Hari pertama magang aku justru sakit dan merepotkan seniorku. Lebih memalukan lagi, Gary mengingat kejadian itu. Beberapa tahun denganku dan itu yang dia ingat mengenai aku. Aku berharap dapapt duduk bersandar rendah hingga kursi ini menelanku saat ini juga. Melihat responku, bibir Gary tertarik membentuk senyum kecil. Well, ini hal yang baru. Tidak sering kami melihat dia tersenyum.

Gary mulai mengemudikan kendaraan keluar dari parkiran dan mobil segera meluncur di jalan. Hujan turun dengan sangat deras sehingga keheningan di antara kami tidak terlalu terasa karena tertutup olehh suara hujan.

Lihat selengkapnya