5
Aku dan Gary tiba di tempat tinggal Maia Lou dalam waktu singkat. Mobil polisi sudah berada di depan flat dan beberapa petugas polisi sudah memasang garis polisi di depan unit tempat tinggal Maia Lou. Penghuni flat berada di depan pintu saling bertanya sebenarnya ada apa ini. Aku dan Gary berjalan masuk ke unit milik Maia Lou yang berada tepat di sisi kiri pintu utama dengan jendela ke luar bangunan. Seorang laki-laki paruh baya berdiri bersama seorang polisi, aku berjalan mendekat.
“Detektif, ini Mr. Harlow, pemilik flat ini.”
Gary menyalami tangan Mr. Harlow diikuti juga dengan aku.
“Apakah beberapa hari belakangan ini Anda menyadari ada sesuatu yang aneh terjadi di sekitar sini atau mungkin secara spesifik pada Maia Lou?” kali ini aku yang memulai wawancara dengan saksi.
“Tidak ada. Maia Lou tetangga yang baik dan sangat ramah. Semuanya terasa baik-baik saja,” jawab Mr. Harlow.
“Apakah ada yang menyadari saat Maia Lou tidak pulang ke flat, sejak dua hari lalu mungkin?”
“Tidak. Jika dia tidak pulang pun itu sudah biasa. Maia Lou melakukan studi di Universitas Highland dan mengambil jurusan arsitektur, dia sudah sering tidak pulang karena mengerjakan tugas lembur di kampusnya atau rumah temannya. Jadi saat kami tidak bertemu dia dua sampai tiga hari, kami tidak menduga ada hal buruk yang terjadi kepadanya.” Tatapan Mr. Harlow terlihat sedih dengan mata yang berkaca-kaca.
“Apakah Anda mengenal Maia Lou secara personal, Mr. Harlow?”
“Maia Lou adalah anak muda yang cerah. Dia akrab dengan seluruh penghuni flat ini. Dia juga banyak membantu dan menghibur saya dan Mrs. Harlow saat kami kehilangan anak kami karena sakit. Dalam satu cara atau lainnya, Maia Lou sudah saya dan Mrs. Harlow anggap sebagai anak kami. Apa yang terjadi kepadanya… sungguh... murni iblis.” Mr. Harlow meneteskan air mata saat itu. Aku dapat melihat kesedihannya terpancar dan tulus.
“Apakah Anda memiliki kontak keluarganya?”
“Dia tidak memiliki keluarga lagi. Lima tahun lalu keluarganya meninggal dalam kecelakaan dan hanya dia yang selamat. Saya mengenal Ayahnya sehingga saya memberikan dia unit di flat ini dengan biaya sukarela. Malang sekali nasibnya, sungguh.” Mr. Harlow kali ini tidak dapat menahan tangisnya lagi dan terduduk di lantai. Aku berjongkok dan menepuk pundaknya pelan.
“Saya turut berduka, Mr. Harlow,” aku berjongkok beberapa saat di sebelahnya. Aku meninggalkan Mr. Harlow saat dia sudah lebih tenang dan bergabung dengan Gary di dalam unit Maia Lou. Sejak aku bekerja di Kepolisian Pusat Highland, ini pertama kalinya aku menangani kasus dua korban yang terbunuh secara sadis dan dilakukan oleh pelaku yang sama. Seperti yang aku bilang sebelumnya, Highland termasuk kota yang tenang dan aman selama ini.
Unit flat tersebut memiliki warna cat dinding putih yang bersih. Unit flat dalam keadaan rapi dan semua peralatan elektronik dalam keadaan mati. Studi kuliah yang dia lakukan terlihat dari adanya maket atau model bangunan dan kertas dengan gambar kerjanya. Rak bukunya penuh dengan buku yang tersusun rapi sebanyak empat tingkat. Pintu dan jendela semua dalam keadaan terkunci, tidak ada tanda unit dimasuki secara paksa dari luar.
Aku melangkah masuk ke kamar tidurnya yang juga rapi. Bantal dan selimut tesusun rapi pada kepala kasur dan kasurnya rapi tanpa lipatan sedikit pun. Kondisi unitnya adalah kondisi yang memang ditinggalkan secara sadar oleh penghuni. Aku mencoba memeriksa kamar mandi. Kamar mandi dalam keadaan kering dan bersih. Bahkan tidak ada sehelai pun rambut rontok di lantai atau wastafel. Tempat sampah kamar mandi berisikan rambut rontok dan lembaran tissue. Aku memanggil salah satu polisi untuk membawa isi tong sampah tersebut untuk diperiksa lebih lanjut.
Kami selesai memeriksa secara detail unit flat Maia Lou sekitar lebih dari satu jam. Aku dan Gary memeriksa berulang memastikan tidak ada yang terlewatkan, tetapi kami tidak menemukan apa pun yang janggal. Kondisi unit berada dalam kondisi yang wajar. Di titik ini, aku mulai frustasi. Saat ini kami memiliki dua korban yang pelakunya telah menyatakan dirinya yang bertanggung jawab untuk kedua korban, namun bukti yang berhasil kami kumpulkan sangat minim. Saat ini aku berharap tim forensik telah menemukan bukti yang dapat memberikan kami harapan lebih dari yang kami miliki saat ini.
“Bukti yang kita miliki saat ini sangat minim. Kita bahkan belum memiliki dugaan pelaku,” aku mengerang frustasi kepada Gary saat kami berada di dalam mobil dalam perjalanan kembali ke kantor.
“Pelaku meninggalkan korban di TKP dengan begitu saja tetapi dia meninggalkan TKP dengan rapi dimana kita tidak menemukan apa pun yang menghubungkan kita dengan pelaku. Pelaku terasa seperti amatir tetapi di saat bersamaan juga pembunuh profesional. Tetapi, dia memiliki waktu lebih dari cukup untuk membersihkan jejak-jejaknya di TKP sejak waktu pembunuhan hingga kita menemukan Kiana Ailee di gudang tersebut,” Gary menjawabku.
“TKP ini adalah TKP terburuk yang pernah aku lihat,” aku menghela napas. Kepalaku mulai terasa sakit, begitu banyak hal yang dipikirkan di saat bersamaan di dalam kepalaku. Aku memejamkan mata sesaat sebelum tiba-tiba handphoneku berbunyi telepon masuk. Saat aku membuka mata untuk mengambil handphone, aku menangkap – hanya sesaat yang sangat singkat – Gary sedang menatapku dan langsung kembali menatap ke depan saat aku membuka mata. Aku mengangkat handphone dan tertulis nama James di layar.
“Halo, James. Plis katakan kalau kalian menemukan sesuatu dari rekaman CCTV?”
“Kami menemukan pengirim. Tetapi CCTV hanya berhasil menangkap bentuk tubuhnya saja, dia berpakaian tertutup dan dia mengetahui dengan baik posisi kamera. Dia menghindari kamera dengan sangat baik,” jelas James.
“Baik, aku dan Gary sebentar lagi sampai di kantor, terima kasih James.” Aku mematikan telepon dan menyimpan kembali handphone-ku. Saat itu, kami memasuki gerbang Kantor Kepolisian Pusat Highland.
“CCTV menangkap gambar pengirim paket, tetapi hanya bentuk tubuhnya saja. Pengirim menghindari kamera dengan baik.” Aku menjelaskan secara singkat kepada Gary laporan dari James.
Gary menjawabku dengan anggukan kepala. Setelah parkir, kami langsung berjalan menuju ke lantai tiga. Disitu James sedang menunggu kami dengan papan kasus yang sudah disiapkan di bagian depan meja Divisi 4. Kami langsung bergerak menyusun papan dengan informasi yang telah kami miliki. Identitas (ID) korban, dugaan motif pelaku, foto dugaan pelaku dari CCTV, lokasi TKP, dan foto-foto korban di TKP. Kami masih kekurangan 3 poin penting: senjata untuk kedua kasus, motif untuk pembunuhan kedua dengan korban Maia Lou, dan ID jelas tersangka atau pelaku pembunuhan. Tanpa bukti-bukti itu, kasus ini tidak dapat kami selesaikan.
Aku memeriksa hasil autopsi dari Kiana Ailee. Kiana Ailee meninggal tepat delapan hari yang lalu. Pelaku menusuk korban dengan senjata tajam seperti pisau sebanyak tiga puluh lima kali dan benturan di kepala sebanyak lima kali menggunakan benda tumpul yang berat. Luka fatal yang menyebabkan korban langsung meninggal adalah tusukan yang langsung mengarah ke jantungnya yang diduga adalah tusukan hampir ketiga puluh. Dia menderita dan merasakan sakit dari tiga puluh tusukkan terlebih dahulu sebelum meninggal. Meninggalnya penuh dengan kesakitan. Gambar diagram lokasi luka pada korban hampir sulit dilihat karena diagram tersebut penuh dengan tanda X merah kecil, tanda luka pada tubuh korban.
“DNA yang ada di kuku Kiana Ailee apakah sudah teridentifikasi?” aku bertanya kepada James.
“Belum ada laporan lagi dari tim forensik untuk hal itu.”
“Apakah hasil paket tadi sudah teridentifikasi? Apakah itu tangan milik Maia Lou?” Gary bertanya ke James.