6
Kami bereempat – Aku, Gary, Hellen, dan James – menghabiskan satu malam memeriksa setiap benda yang dimiliki Kiana Ailee. Aku membaca jurnal tersebut beberapa kali semalaman hingga sempat tertidur di kursiku untuk beberapa saat. Sekitar pukul 3 pagi, Hellen dan James pulang untuk istirahat sesaat sebelum masuk ke kantor lagi pada pagi, Senin, nanti. Aku juga menyarankan Gary untuk beristirahat dan menggunakan alasan, “pagi nanti kamu perlu mengendarai mobil ke Rumah Sakit Locansania. Jika kamu tidak beristirahat dulu, aku tidak ingin berkendara dengan orang yang telah terjaga selama hampir dua puluh empat jam.” Aku pun berpikir untuk istirahat walau hanya sesaat, tetapi aku tidak dapat tidur, pikiranku terus bekerja walaupun tubuhku merasa lelah. Akhirnya aku memutuskan untuk menonton lagi video wawancara rekan kamar Kiana Ailee di asrama.
“Nama saya Jennifer Yvone. Saya rekan kamar Kiana sejak tahun pertama kuliah di Universitas Orola.” Seorang perempuan muda dengan rambut ikal coklat dan kulit sawo matang memperkenalkan dirinya. Matanya terlihat merah dan sembab.
“Apakah Anda dapat menjelaskan hari terakhir Anda melihat Kiana? Seperti apa pakaian yang digunakan, barang-barang yang dibawa, dan kemana tujuannya?”
“Aku bertemu Kiana terakhir minggu lalu hari Kamis. Hari Jumat kami tidak ada kelas sehingga Kiana memutuskan untuk pulang ke Highland bertemu keluarganya. Dia biasa pulang ke rumah setiap akhir bulan, sehingga kemarin saat dia akan pulang dia bilang akan memberikan kejutan ke keluarganya, jadi dia tidak memberitahu juga ke keluarganya bahwa dia akan pulang. Dia pulang dengan beberapa barang saja seperti biasanya, membawa laptop, beberapa buku, dan tidak membawa pakaian apa-apa. Terakhir saya melihat dia menggunakan pakaian kaos putih, celana jeans pendek, dan sepatu putih. Dia selalu pulang ke Highland menggunakan bus umum. Hari Jumat saya mengirimkan pesan ke Kiana, tetapi tidak mendapat balasan. Awalnya saya tidak berpikir macam-macam, karena Kiana memang seperti itu. Jika dia sudah pulang ke rumah dan bertemu keluarganya, dia tidak terlalu memegang handphone lagi.” Jennifer Yvone terlihat berhenti untuk menahan tangisnya yang hampir meledak lagi.
“Saya mulai curiga saat hari Senin pagi Kiana tidak juga kunjung muncul dan saya tidak bisa menelepon handphonenya. Saya melaporkan hal ini ke pihak kampus terlebih dahulu yang kemudian menelepon orang tua Kiana. Pihak kampus langsung melaporkan hilangnya Kiana saat orang tua Kiana menjawab Kiana tidak pernah pulang ke rumah mereka minggu kemarin itu.” Jennifer mulai meneteskan air mata dengan deras.
“Apakah ada hal yang janggal saat Kiana meninggalkan asrama hari itu? Atau apakah ada hal yang aneh terjadi kepadanya atau di sekitarnya belakangan?”
“Saya tidak tahu apakah ini berhubungan, tetapi sejak Kiana melakukan riset di Rumah Sakit Locansania dia membeli stun gun. Saat ditanya dia hanya bilang untuk melindungi diri sendiri. Selain itu, rasanya dia juga jadi lebih mudah terkejut dan paranoid sekali.” jawab Jennifer. Tangisnya tidak tertahankan lagi.
“Seharusnya aku melapor lebih cepat saat dia tidak membalas pesanku hari Jumat. Seharusnya aku tidak membiarkan dia pulang minggu itu,” kalimat tersebut terucap dari sela-sela tangan Jennifer yang menutupi tangisannya. Video berakhir di situ.
Kejadian pembunuhan seperti ini akan meninggalkan pihak-pihak yang saling menyalahkan diri mereka sendiri. Seandainya aku menemani dia, seandainya aku tidak membiarkan dia keluar sendiri, seandainya aku menelepon dia terus. Seandainya ini dan seandainya itu. Mereka mengulang gambar saat-saat terakhir mereka berinteraksi dengan korban di kepala mereka berulang kali dengan skenario yang berbeda yang mungkin dapat membuat korban itu masih ada hari ini, hidup dan sehat di sebelah mereka.
Seberapa besar penyesalan yang dirasakan, seputus asa apa pun yang dirasakan, kesedihan luar biasa yang dirasakan, semua itu tidak dapat mengembalikan korban ke pelukan mereka. Fakta yang begitu menyakitkan, dia telah pergi dan tidak ada yang dapat dilakukan lagi untuk mengembalikannya. Maka sebagai detektif, menemukan pelaku, memberikan keadilan, dan memastikan tidak ada lagi yang menjadi korban adalah hal paling minim yang dapat kami lakukan.
Aku meletakkan kepalaku di meja dan memijat pelipisku dengan tangan. Beban pekerjaan sebagai detektif di Divisi 4 sangat besar. Melihat tubuh korban pembunuhan, mengetahui setiap detail perlakuan pelaku ke korban, melihat tubuh korban yang sesama manusia dibiarkan begitu saja seperti sampah, mengetahui manusia dapat melakukan hal begitu tidak terbayangkan kepada sesama manusia lain. Semua itu dapat turut mengonsumsi kami sebagai detektif dari dalam. Interaksi kami dengan keluarga korban juga akan semakin menumbuhkan beban kebutuhan untuk pelaku segera ditangkap dan membayar apa yang telah dia lakukan dengan layak dan sepantasnya. Kepalaku mulai terasa sakit dengan semua pikiran-pikiran hari ini. Aku memejamkan mata sesaat berharap saat aku membuka mata keadaan lebih baik.
***
Aku terbangun dengan terkejut saat mendengar suara benturan. Aku langsung mengangkat kepala dan duduk tegak. Butuh waktu sesaat untuk aku mengingat aku masih di kantor dan ternyata aku tertidur.
“Maaf, aku membangunkanmu ya?” Gary bertanya di ujung meja. Aku memerhatikan jam di dinding, waktu telah menunjukkan pukul 6.30 pagi dan di luar hari mulai terang. Di bahuku tersampir jaket, milik Gary. Aku dapat menghirup wangi Gary pada jaketnya. Kombinasi wangi vanilla dengan wangi kayu.
“Ini kopi,” Gary menyerahkan kopi dari mesin di pantry sambil menyesap kopinya sendiri di sebelahku.
“Terima kasih,” suaraku serak. Aku kemudian berdeham dan mulai menyesap kopi tersebut. Cairan pahit dan hangat kopi membuat aku mendesah lega. Aku menghirup wangi kopi tersebut dan menangkupkan kedua tanganku di gelasnya. Kantor menjadi sangat dingin saat kami lembur karena AC menyala dengan kapasitas orang yang sangat minim.
“Apakah istirahatmu nyenyak?” tanyanya.
“Lumayan,” jawabku. Gary memerhatikan aku dan tertawa kecil.
“Kenapa?” tanyaku. Kemudian dia menggapai kepalaku dengan tangan kanannya. Aku menahan napas dan tidak dapat memindahkan pandanganku dari wajahnya. Dia memegang kepalaku dan menarik rambutku.
“Ada label menempel di rambutmu,” Gary menjawab dengan ringan.
“Oh.” Jantungku berdetak lebih cepat dan wajahku terasa memanas.
“Jam 7 nanti aku akan mengatarkan kamu pulang dulu untuk beres-beres. Nanti jam 8 aku jemput lagi, baru kita berangkat ke Rumah Sakit Locansania. Sebelum kita pergi tolong ingatkan aku, kalau-kalau aku lupa, untuk mengambil surat perintah supaya kita dapat masuk tanpa masalah di Locansania nanti.” Aku menjawab dengan anggukan.
Kami menghabiskan kopi dalam diam. Pukul 7 kurang Marcus tiba di kantor disusul James. Aku dan Gary segera berberes untuk pulang saat Marcus dan James sudah tiba di kantor. Aku sampai di flat dan langsung masuk ke dalam. Aku bertemu dengan Darcey, tetangga unit flatku. Flatnya berada di depan serong kiri dari unitku.
“Pagi, Darcey.”
“Pagi, apakah kamu habis ada acara menginap?” dia bertanya.
“Oh, ini. Tidak, aku baru pulang dari kantor. Lembur,” jawabku.
“Kamu tahu, Ava. Aku sangat mengidolakan kamu sebagai wanita yang berhasil bekerja di bidang dengan dominan laki-laki dan aku bisa melihat kamu selalu bekerja dengan sepenuh hati,” ujarnya.
“Berhenti, Darcey. Kamu membuatku malu saja,” aku menjawab dan menutup rasa maluku dengan tertawa. Darcey hanya tersenyum dan berpamitan untuk berangkat kerja.
“Jangan lupa jaga kesehatan, Avabelle,” ucapnya terakhir sambil berjalan menuruni tangga.
Darcey Leighton menghuni flat ini hampir selama aku. Kami selalu saling membantu satu sama lain walaupun kami bukan teman yang sangat akrab dan tidak banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Tetapi sepertinya itu lebih dikarenakan kami yang sama-sama sibuk dalam pekerjaan kami. Darcey bekerja sebagai dokter dan juga pengajar di Universitas Highland, sehingga dia sangat-sangat sibuk.
Aku segera mandi dan beres-beres. Aku mengenakan kemeja krem dengan celana panjang hitam dan jaket krem pasangan kemeja itu. Aku mengikat rambutku menjadi ekor kuda untuk menutupi lepeknya rambutku yang belum dicuci sejak kemarin dan mengikat sabuk senjataku. Setelah aku selesai berberes, masih ada sekitar sepuluh menit sampai pukul 8 pagi. Aku memutuskan untuk pergi ke mini market di seberang untuk membeli sarapan. Aku menuruni tangga dan di lantai paling bawah aku bertemu dengan Charles.
“Selamat pagi, Ava. Apakah kamu akan berangkat ke kantor juga?” dia menyapaku.
“Eh, tidak. Hari ini aku akan pergi ke lokasi lain mencari petunjuk,” jawabku. Kami berjalan keluar flat.
“Oh, kasus pembunuhan yang kemarin itu ya? Aku sudah dengar juga. Hari ini forensik juga masih disibukkan dengan barang bukti kasus itu.” Aku dan Charles berdiri di depan flat. Aku tidak berencana berlama-lama mengobrol dengannya karena sejujurnya aku tidak nyaman dengan dia.
“Betul, eh.. Charles,” kalimatku terputus saat aku melihat mobil Gary mendekat.
“Maaf Charles, aku sedang buru-buru. Aku duluan ya,” pamitku. Dia memberi salam juga dan mulai melangkah pergi ke arah tempat mobilnya terparkirkan.
“Cepat sekali kamu,” ucapku saat memasuki mobil Volvo biru gelap yang sudah mulai familiar ini. Gary menggunakan kemeja biru gelap yang dilapisi jaket hitamnya. Wangi Gary tercium kuat di dalam mobilnya, detail lain yang baru aku sadari lagi.
“Aku baru mau membelikan sarapan di mini market depan flat,” ucapku saat mobil mulai melaju.
“Kita bisa mampir sarapan dulu kok. Nanti kita berhenti di Delimbres dulu untuk sarapan, ya,” jawabnya.
“Oke,” jawabku. “Apakah tadi subuh kamu tidur?” tanyaku lagi.
“Untuk beberapa jam,” jawabnya.
“Kalau kamu nanti kelelahan kita bisa bergantian berkendaranya,” aku menyarankan.
Gary hanya menjawab dengan anggukan. Kami harus berkendara sekitar satu jam untuk mencapai Locansiana. Setelah berkendara sekitar dua puluh lima menit, kami berhenti di sebuah restoran dengan nama Delimbres untuk sarapan. Aku memesan nasi goreng dan secangkir kopi dan Gary memesan roti lapis dan teh.
“Tidak kah itu terlalu berat untuk sarapan?” Gary bertanya saat nasi goreng pesananku datang.
“Aku bosan makan roti dari semalam. Aku butuh nasi untuk energiku hari ini,” jawabku dengan cengiran. Kami makan dalam diam untuk sesaat.
“Oh, apakah kamu tahu anggota forensik baru dengan nama Charles?” tanyaku. Gary terlihat berpikir sesaat.