Not Everything is As It Seems

Erika Angelina
Chapter #12

11

11

 

Aku duduk di sebuah kursi dan terikat dengan ikatan yang longgar tetapi tanganku tidak dapat terlepas dari tali ini. Aku merasakan pipiku basah dengan air mata. Sepasang mata menatapku dengan senyuman itu, di alam sadarku aku sadar itu Charlie Grant.

“Aku sungguh berharap tidak begini akhirnya, Ali sayang,” ucapnya dengan senyuman lebarnya.

Aku terbangun dengan teriakan yang keluar dari mulutku. Kening dan tubuhku basah oleh keringat walaupun kamarku dingin oleh AC. Aku bergerak membuka jendela dan menghirup udara sebanyak mungkin. Sesuatu telah terjadi kepada Alison. Kami terlambat. Aku mengecek handphone dan tidak ada panggilan dari kantor. Waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Aku memutuskan segera berberes dan berangkat ke kantor. Aku tidak akan dapat tidur lagi dan juga tidak akan dapat merasa tenang dengan berdiam disini.

Aku pergi ke kantor dengan menggunakan taksi dan tiba di kantor dengan cepat karena jalanan masih kosong di waktu sepagi ini. Aku langsung naik ke lantai tiga dan melihat Henry tertidur di sebelah telepon. Aku meletakkan barangku di meja dan menghampiri Henry. Aku menepuk bahunya pelan.

“Henry,” panggilku pelan. Dia terbangun dengan kaget.

“Detektif Ava,” ucapnya antara sadar dan masih setengah tidur.

“Aku dapat menjaga telepon mulai dari sekarang,” ucapku.

“Baik, jam berapakah sekarang?” tanyanya.

“Jam 5.30 pagi,” jawabku. Keningnya berkerut.

“Kenapa Anda pagi sekali ke kantor?” tanyanya. Dia terduduk mengusap mata dan merenggangkan punggung.

“Tidak apa-apa. Aku sudah mendapatkan tidur yang sangat cukup, jadi aku memutuskan untuk ke kantor lebih awal,” jawabku.

Aku menyuruh Henry pulang dan beristirahat. Aku membuat kopi dari pantry dan menatap ke luar jendela. Tanda-tanda aktivitas di Highland mulai terlihat pada pukul 6 pagi. Aku mengingat mimpiku. Sebelum ini aku belum pernah mendapatkan mimpi dimana pelakunya berkomunikasi seperti tadi. Apa yang dia maksud dengan tidak begini akhirnya? Perasaanku sungguh tidak enak. Aku dapat melihat juga nyala lampu neon yang sama dari mimpi pertamaku mengenai Charlie Grant. Mereka di lokasi yang sama. Aku tersadarkan dari lamunan saat handphoneku berbunyi tanda pesan masuk. Aku melangkah ke meja dan mengangkat handphoneku. Gary mengirimi aku pesan.

‘Apakah kamu mau aku jemput nanti saat berangkat ke kantor?’

Aku segera mengetik balasan.

‘Tidak usah, aku sudah di kantor. Terima kasih.’

Saat itu telepon untuk saksi berdering. Deringannya menggema di ruangan yang kosong ini. Aku bergegas mengangkatnya.

“Kepolisian Pusat Highland, ada yang bisa dibantu?”

“Halo, saya sepertinya mengetahui keberadaan dari Charlie Grant yang sedang dicari. Saya baru melihat beritanya pagi ini sehingga baru menghubungi kalian. Saya pemilik Motel Juliane di Area Lapaza, tenggara Highland. Dia merupakan salah satu penghuni disini,” suara laki-laki terdengar di ujung telepon. Ini dia, pikirku.

“Baik, dapat Anda sebutkan identitas Anda?” tanyaku.

“Saya Matthew Juliane, pemilik motel,” jawabnya.

“Baik, tolong jangan mengkonfrontasi tersangka dan tunggu kedatangan petugas polisi di lokasi.”

Aku segera mematikan telepon itu dan menghubungi tim patroli. Dua mobil polisi terdekat segera ke lokasi dan aku bersiap untuk berangkat ke lokasi juga. Aku menelepon Gary sambil berlari menuju lift dan menjelaskan informasi yang baru aku dapatkan.

“Tunggu di lobi, aku sudah dekat dan akan segera tiba di kantor,” ucap Gary sebelum memutus telepon.

Aku berdiri di lobi dengan perasaan gelisah. Aku berjalan bolak-balik di depan pintu lobi dan baru diam saat aku melihat mobil Volvo biru gelap Gary mendekat. Aku langsung naik dan kami langsung meluncur di jalan. Gary mengendarai mobil dengan kecepatan semaksimal yang dimungkinkan di jalanan pagi yang cukup ramai. Aku begitu gelisah hingga terus menggigit bagian dalam pipiku dan menggerakan kakiku di sepanjang perjalanan. Aku dan Gary segera berlari keluar saat kami sampai di Motel Juliane. Empat petugas polisi sudah berdiri di dalam lobi saat kami sampai.

“Visual terkonfirmasi?” tanyaku kepada petugas yang sudah tiba terlebih dahulu. Salah satu dari mereka menyerahkan kepadaku sebuah foto dari rekaman CCTV lobi yang menangkap visual jelas dari Charlie Grant. Aku mengangguk.

Matthew Juliane menyerahkan kunci kamar dengan tulisan angka 405 kepada aku. Kami segera naik dengan membuat suara seminimal mungkin. Kami memosisikan diri di koridor selebar satu setengah meter di depan kamar 405 dengan senjata siap di tangan. Aku berdiri di belakang Gary yang ada di depan bersama seorang petugas polisi lain. Aku memberi kode untuk membuka kamar tersebut dengan mengangguk dan memberi kode hitungan, tiga, dua, satu.

Jantungku berdentum begitu keras dan aku dapat merasakan adrenalin yang mengaliri tubuhku. Ini dia, pikirku. Akhirnya kami akan menangkap dia. Kunci pintu diputar dan pintu langsung didorong terbuka. Kami tumpah ke dalam ruangan. Kosong. Aku langsung membuka pintu kamar mandi. Kosong. Kami tidak menemukan siapa pun. Aku mengerutkan kening. Berengsek, makiku dalam hati. Dimana mereka? Charlie Grant terus menyelinap dengan mudah melalui jari-jari kami.

“Niel, tolong temui Matthew Juliane dan periksa rekaman CCTV yang ada di bangunan ini. Cari waktu tersangka kita meninggalkan motel. Yang lain periksa setiap detail ruangan ini, saya tidak mau ada yang terlewatkan,” aku memberikan perintah.

Ruangan ini memiliki bau karat dan lembap yang kuat. Ruangan terlihat rapi dan hampir hanya terisi oleh perabotan yang berasal dari motel, yang anehnya diletakkan di pinggir ruangan. Aku menyalakan lampu dan dapat melihat jelas ada bagian tertentu di lantai dan dinding yang terlihat berbeda. Aku mendekat dan menyadari, seseorang telah berusaha menghapus bekas darah. Kami mengelilingi ruangan dan mencoba mengambil sampel darah, namun darah tersebut sudah kering karena usaha pembersihan yang dilakukan pelaku.

“Vincent, tolong ambilkan luminol dari mobilmu,” pintaku kepada salah satu petugas polisi yang ada di ruangan.

Aku berada di kamar motel, ruang yang berbeda dari kamar Charlie Grant di Rumah Sakit Locansania, tetapi kesan yang sama dapat terasa disini. Aku memeriksa laci-laci di meja dan lemari, tetapi semuanya kosong dan berdebu tanda tidak terpakai. Sesaat kemudian Vincent kembali membawa botol berisikan luminol. Aku segera menyemprot luminol tersebut ke dinding dan lantai yang memiliki bekas noda dibersihkan dan sekitarnya.

“Tolong tutup pintu, gorden, dan matikan lampunya,” pintaku. Kami semua berdiri di pinggir ruangan.

Saat lampu dimatikan, reaksi luminol bekerja menghasilkan cahaya pada area yang aku semprotkan. Cahaya tersebut menunjukkan bekas darah. Aku menyemprotkan lagi luminol di area sekitar dinding dan lantai yang telah memiliki reaksi luminol. Setelah aku selesai menyemprotkan luminol, ruangan terang dengan cahaya reaksi luminol dan darah. Luminol menunjukkan area terkonsentrasi, area yang terlihat bekas adanya sesuatu yang ditarik, dan percikan-percikan darah. Pada lantai di dekat pintu terlihat jejak sepatu. Aku tidak dapat membayangkan kejadian apa yang terjadi disini dengan darah sebanyak ini. Apa pun yang terjadi disini adalah hal yang sangat mengerikan. Aku segera menghubungi kantor dan meminta tim forensik untuk datang kesini.

“Halo, ini Detektif Avabelle Vernice, saya minta tolong untuk segera mengirimkan tim forensik ke Motel Juliane di Area Lapaza,” kataku.

Saat itu, sesuatu menarik perhatian mataku. Sebuah ventilasi udara dengan baut yang kendur dari tempatnya. Setelah mematikan telepon, aku menarik salah satu kursi dan menaiki kursi tersebut untuk membuka ventilasi itu. Aku menerangi ventilasi dengan senter dan menemukan sebuah buku. Buku tersebut bersampul biru dengan kertas yang mulai menguning. Aku mengambil buku itu dan turun dari kursi. Aku membuka buku itu dan melihat isinya. Buku itu terisi setengah dengan tulisan yang tidak masuk akal dan angka dimana-mana. Halaman pertama berisikan tulisan:

Lihat selengkapnya