16
“Lihatlah Saudaraku, aku menang taruhan. Sudah kubilang detektif ini akan dengan sangat mudah melepaskan ikatanku.”
Aku memutar kepalaku ke asal suara itu. Suara itu datang dari sisi kananku. Aku melihat dua orang sedang duduk bersandar pada dinding bangunan. Satu orang duduk dengan mulut ditutup dan tangan diikat, Charles Forrest. Meskipun keadaan sangat remang, aku dapat melihat salah sau matanya memiliki lingkaran gelap lebam. Charles terlihat lemas dan menatapku dengan penuh ketakutan. Satu orang yang lainnya, duduk dan terlihat bosan di sebelah Charles adalah Charlie Grant. Aku menelan ludah dan menatap Charlie Grant tanpa berkedip.
Charlie Grant perlahan mengangkat kepalanya dan menatapku. Dia tersenyum lebar dan perlahan mulai tertawa. Suara tawanya memberikan rasa dingin di punggungku. Aku menahan diri dan mencoba tidak memberikan reaksi apa pun. Sudut mataku menangkap keadaan di sekitar dan menyadari bahwa gudang ini jauh dari bangunan lainnya dan penerangan di sekitar sini sangat kurang.
“Silahkan, lanjutkan perjalananmu, Detektif,” Charlie Grant mengangkat satu tangan dan membuat gerakan yang mempersilahkan aku pergi. Aku berdiri diam di tempat. Permainan macam apa lagi yang sedang dia mainkan?
“Kenapa? Aku sudah dengan baik mempersilahkan kamu untuk pergi,” Charlie terdengar jengkel.
Perlahan dia berdiri dan berjalan mendekat. Aku menatap matanya dengan galak dan berani, walaupun di dalam hati aku sangat ketakutan. Aku menatap matanya saat dia berdiri hanya beberapa langkah dariku. Tiba-tiba dia mengangkat salah satu tangannya dan aku mendengar suara senjata pistol yang dimuat pelurunya. Aku tetap menatapnya tanpa berkedip. Aku telah belajar bertahun-tahun untuk tidak menunjukkan keterkejutan yang aku rasakan di hadapan tersangka dan pelaku dari kasus yang aku tangani.
“Apa yang kamu mau?” tanyaku. Suaraku terdengar sangat kecil dan aku mencoba menghalau rasa sakit yang datang dalam setiap suku kata yang aku ucapkan.
“Lihat Saudaraku, aku tidak menghancurkan lehernya cukup parah hingga dia tidak bisa berbicara lagi,” dia tertawa dan menekankan pistol ke keningku. Aku mengenali pistol itu, pistol itu milikku.
“Kenapa kamu membiarkan aku hidup?” tanyaku.
“Waktumu belum tiba,” jawabanya singkat. Dia memiringkan kepalanya dan menatapku dengan tetap tersenyum.
“Oh, dan waktu wanita-wanita itu telah tiba? Kiana Ailee? Maia Lou? Darcey Leighton? Alison Starker?” aku memberi penekanan pada nama Alison Starker. “Kamu yang berhak memutuskan usia seseorang?” tambahku.