17
Aku terbangun dan mendengar suara seorang perempuan berteriak. Teriakannya memekakan telinga dan membuat bulu kuduk meremang. Aku membuka mata dan langsung bangun dari posisi tidurku. Aku membuka selimutku dan memerhatikan kakiku lengkap dan tanganku baik-baik saja. Ternyata itu haynya mimpi. Mimpi yang terasa sangat nyata.
Saat itu aku baru sadar bahwa suara teriakan yang aku dengan berasala dari tenggorokanku. Sesaat kemudian, kedua orang tuaku berlarians masuk ke kamarku. Mereka duduk di sampingku dan merangkul aku.
“Shh, Avabelle. Tenang, ada apa Nak?” ibu mengelus pundakku perlahan.
Aku merasakan sebuah tangan dingin menyentuh keningku.
“Avabelle demam,” kata ayah kepada ibu.
Kemudian ayah keluar dari kamar dan aku duduk berdua dengan ibu saja. Seluruh tubuhku gemetar dan aku merasa udara kamarku lebih dingin dari yang sebenarnya. Air mata mengalir di kedua pipiku. Mimpiku masih tergambar jelas di kepalaku.
“Ada apa, Ava?” tanya ibu saat kami hanya berdua.
“Aku… bermimpi buruk. Tapi… mimpinya terasa sangat nyata,” ucapku.
Saat itu ayah masuk ke kamar membawa obat parasetamol dan air. Sebagai anak 13 tahun, aku sangat jarang mendapatkan mimpi dalam tidurku selama ini. Apa lagi mimpi seperti ini, penuh darah dan wajah mengerikan.
“Sudah Ayah bilang, jangan terlalu sering menonton film dokumenter dan film misteri kriminal,” ucap ayah sambil menyerahkan kepadaku obat dan gelas berisikan air ke tanganku. Aku menggenggam gelas dengan tangan yang masih gemetar dan meminum obat itu. Ibu telah menyelimuti aku lagi dengan selimut yang tadi aku buang ke lantai.
“Ibu temani Avabelle ya malam ini,” tawar ibu.
Aku mengangguk dan aku kembali berbaring. Ibu ikut berbaring di sebelahku sambil memeluk dan mengelus kepalaku perlahan. Ayah kembali ke kamarnya dan beristirahat. Setelah sesaat berbaring, aku tidak kunjung bisa terlelap. Memejamkan mata membuat semuanya lebih buruk. Kegelapan saat aku pejamkan mataku memberikan ruang untuk aku dapat melihat dengan jelas mimpiku lagi.
“Ava bermimpi apa?” Ibu bertanya saat menyadari aku tidak kunjung tidur.
Aku menceritakan mimpiku, dari aku yang diikat di sebuah meja panjang, kakiku dan tanganku yang tidak ada karena dipotong, darah dimana-mana, dan wajah mengerikan itu. Ibu tetap diam selama aku bercerita tetapi Ibu tidak berhenti mengelus kepalaku.