Cerita ini karya fiksi. Tidak berkaitan dengan tokoh, peristiwa, organisasi atau latar asli.
***
BAPER ALERT!
Di cerita ini, kamu menjadi adikku.
Jangan kesal. Aku juga tidak mau punya adik sepertimu.
Jangan menyesal. Kamu sudah mengambil keputusan untuk hati dan pikiranmu.
Tapi memang aku hanya handal sebagai seorang kakak.
Kakak yang meski benci terhadapmu, tapi dibalik itu aku juga menyayangimu.
Huek kalau begitu, selamat membaca!
~ ~ ~
Saat itu, keluarga kita yang seperti rombongan tur haji datang ke daerah Jawa. Tepatnya di Kota Jogjakarta. Kamu tau alasan kita pindah kan? Jangan pura-pura tidak tahu. Kalau kamu begini, aku yang akan menceritakan kisah kita sampai akhir.
"Ceritain aja. Aku nggak peduli tuh."
Astaga.
Jadi kita pindah karena buna—nyonya Clara, ingin membuka kios donat di Jogja. Dan ayah yang mengaku bukan orang sultan—tuan Panji, membeli sebuah rumah dan kios minimalis yang terlihat apik sekaligus elite.
"Barang-barang sudah semua ya, Yah?" tanya buna pada ayah yang dibalas acungan jempol.
Semua terlihat sibuk dengan barangnya masing-masing. Tidak seperti aku yang kesusahan membawa barang yang dua kali lipat lebih berat. Aku kesusahan seperti ini karena kamu—bayi gede yang umurnya hanya berjarak 1 tahun denganku.
Sialnya kamu izin ke buna, saat itu perutmu sedang perih-perihnya. Jadi tidak bisa mengangkat barang-barang berat dulu. Kalau sedang seperti ini, kamu lemah.
Payah banget sih, Yuna..
Setelah semua barang aman di dalam rumah, saatnya waktu pembagian kamar tiba. Dua kamar anak bercat pink dan ungu menarik perhatianku dan kamu. Andai mereka bisa melihat wajahmu.
Wajah yang awalnya sok manis meminta barang miliknya dibawakan, menjadi tatapan tajam yang diharapkan membuat orang ciut. Tapi tidak berlaku untukku yang merasa tidak terpengaruh dengan semua itu.
Aku tau, kamu ingin yang warna pink.
Tapi aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
"Buna, aku mau kamar pink!" teriakanku membuatmu terkejut bukan? Tadi aku memang berusaha mengeraskan volume suaraku agar buna dengar.
"Astaghfirullah, Mina! Kamu bukan anak kecil lagi. Jangan teriak-teriak kayak gitu, deh, iseng banget."
Tahun ini aku akan naik kelas 2 SMA. Dan, nggak mungkin aku bersikap kayak tadi. Karena cita-citaku menjadi perempuan yang anggun dan berwibawa layaknya tuan puteri, mengatasi orang-orang sepertimu harus dengan cara yang classy.
"Ya udah, buna, Yuna yang warna pink ya!" Dengar, teriakanmu memenuhi ruangan ini.
"Yuna, kamu juga bukan anak kecil! Kalian berdua bikin buna malu. Pusing deh!" Akhirnya buna meninggalkan aku dan kamu bersama pak tukang yang berbau rokok.
"Kamu udah bikin buna marah, bocil!" Ingat saat kata-kata ini meluncur, matamu melotot penuh rasa dendam.
"Kamu lah yang bocil! Siapa coba yang mancing duluan?" kamu melirik tajam, tidak mau kalah.
Perdebatan ini berakhir karena pak tukang itu terus menyemburkan asap rokok yang menyesakkan. Mencium baunya sekilas saja sudah membuat kepala pusing. Kenapa buna kasih izin orang itu merokok di dalam rumah, sih?