Cerita ini karya fiksi. Tidak berkaitan dengan tokoh, peristiwa, organisasi atau latar asli.
***
"Apa? Liburannya batal, buna?"
Jadi ini alasanmu tidak menyiapkan outfit liburan ke Malioboro. Padahal sudah repot-repot memilih pakaian yang pas. Tapi, kenapa cuma aku yang tidak tahu?
Tatapan itu..
"Pastinya karena, aku nggak mau ngasih tau kamuu!"
"WAAHH YUNAA SI CURUTT!" aku mulai berlarian mengejarmu sambil mengambil langkah besar untuk menangkapmu. Namun kaki yang lebih panjang dariku itu tentu saja tidak bisa kukalahkan.
Ya Allah, haruskah aku punya adik kayak dia? Harus di-kick, nih, modelan kayak begini!
Jadi, akhir pekan ini akan dihabiskan di dalam rumah seperti biasanya. Tidak ada liburan. Hanya menonton TV sambil mengunyah permen karet yang ada di toples. Sampai pipi mengembung pu tidak masalah.
"Sarapan kali ini, buna bikin nasi pecel spesial," buna mencoba membujuk dengan makanan kesukaanku. Sebenarnya aku tidak marah pada buna yang sudah memberi harapan palsu, karena sudah biasa tidak libur akhir pekan. Tapi, tolonglah! Aku hanya kesal dengan bayi gede sepertimu.
"Mina bantuin ya, buna?"
"Udah ada aku. Telat kalau mau bantu sekarang."
"Aku tanya ke buna."
Buna hanya tersenyum sebagai jawaban dari pertanyaanku. Sekarang kita ada di dapur bersama buna. Aku harap kamu tidak dekat-dekat.
"Yuna, tolong ambil cabe di kebun belakang. Segenggam aja, ya." Kamu mengangguk antusias mendengar kata 'kebun' dari mulut buna. Memang kamu sangat suka pergi ke kebun, dan aku lebih suka ke taman.
Saat kamu melangkah keluar, aku bersemangat mengekor di belakangmu. Tentunya bukan untuk menemanimu kesana. Tapi,
BRAKK, CEKLEK!
Aku mengunci pintu belakang dari dalam. Dengan wajah panik, kamu menggedor-gedor pintu. Tapi tidak lama setelah aku menyeringai puas, kamu tiba-tiba memasang wajah tenang. Hari masih pagi. Dan jika kamu tidak masuk, buna yang akan membukanya. Karena buna butuh cabe. Jadi, kamu merasa aman?
"TERSERAH, AKU NGGAK TAKUT DISINI."
Setelah dipikir-pikir, memang tidak ada yang membuatmu takut kalau cuma mengunci pintu. Aku mengedarkan pandangan ke arah dinding. Mencari sesuatu yang membuatmu takut.
Tas itu! Tas milikmu yang saat disentuh sedikit, kamu pasti marah seperti sedang kesurupan.
"EH YUNA, LIAT AKU BAWA APA."
Kamu melotot melihat buku tebal yang ada di dalam tasmu ada di tanganku. Aslinya aku memang penasaran dengan isinya. Apa aku harus menggunakan kesempatan ini untuk mengintip?
BRAK!
"BUKAIN PINTUNYA, ATAU AKU PECAH!"
"Bikiin pintinyi, itiw iki picih."
"SIALAN, BUKA SEKARANG KAK!"
Tunggu.
Kamu terlihat sangat marah saat ini. Responmu semakin membuat buku itu terlihat misterius.
"Mina! Astaghfirullah buka pintunya. Buna butuh cabe-nya!" suara buna yang lebih seram dari ancaman-mu membuatku terkejut. Dengan terpaksa aku menaruh kembali buku-mu ke dalam tas dan membukakan pintu.
"Lancang banget sih tangannya! Awas aja nyentuh lagi, kamu bukan kakakku!"
"Kasar banget sih bahasanya! Kayak gini aja aku udah ngerasa kayak bukan kakakmu."
Itu adalah percakapan terberat yang pernah kita bicarakan. Saling tidak mau mengakui satu sama lain. Padahal sejujurnya, aku sangat takut dengan kata-katamu tadi. Mengancam, menendang, mendorong, dan melipat-lipat nyaliku.
"Mina, bantu buna blender kacangnya," awalnya aku malas karena harus menghampiri keberadaan-mu. Tapi karena buna yang meminta, aku harus melakukannya. Dan karena ini makanan kesukaanku, alih-alih kembali ke kamar, aku lebih baik memasak.