Di antara jutaan manusia, jutaan masa, dan jutaan ruang. Kenapa Tuhan membiarkanku berada di tempat itu, detik itu, dan bertemu kamu saat itu?
“Obengnya, Sen, obengnya!” desis Rachel sambil memperhatikan sekeliling. Jantungnya berdebar, takut ada yang memperhatikan. Namun, dengan cepat Rachel menepis pikirannya, mana mungkin ada orang keliling sekolah pukul 2.00 malam.
Sena membuka tas. Dengan penerangan seadanya, ia mencari obeng. “Lo jadi cewek sabar dikit kenapa, Hel?”
“Enggak ada neraka yang sabaran, Sen!” Gadis itu langsung mengambil obeng yang ditemukan Sena. Dengan susah payah, ia memasukkan obeng pada lubang kunci pintu berwarna cokelat di depannya. Pintu ruang musik yang kedap suara itu bergeming. Untuk apa dua orang siswa itu membobolnya? Untuk apa lagi jika bukan karena nilai kesenian mereka yang bobrok. Guru seni mereka sangat menyebalkan. Bisa dipastikan mereka akan tinggal kelas jika mendapat nilai C.
“Sen! Ini enggak bisa dibuk—” Belum sempat Rachel meneruskan ucapannya, mulut gadis itu sudah dibekap Sena.
“Sttt!” Telunjuk kiri Sena mengisyaratkan Rachel untuk diam. Suara derap langkah kini terdengar. Mungkinkah mereka ketahuan penjaga sekolah?
Cekrek!
Cahaya flash kamera mengarah ke mereka. Refleks, Rachel melepaskan bekapan Sena lantas berlari secepat mungkin. Bisa kacau jika sampai ketahuan pihak sekolah. Cowok yang memegang kamera itu tersenyum miring. Di belakangnya, berdiri salah seorang pembimbing Polisi Keamanan Sekolah. “Arsena Bramasta! Ikut saya ke ruang keamanan!” ucapnya tegas sementara Sena hanya pasrah. Benar, ide Rachel ini terlampau gila.
Rachel belum berhenti berlari meski kakinya sudah lemas. Deru napasnya seperti orang mau mati. Ia tersungkur di ubin koridor sekolah. “Gila!” decaknya menahan sesak, jantungnya dipompa lebih cepat.
Cekrek.