Not in Wonderland

Bentang Pustaka
Chapter #3

Chapter 2

Sebelumnya, tidak pernah ada yang berani menatapku seberani kamu. Bahkan, hanya dengan ditatap, aku rasa kamu terlalu lancang untuk ikut menyelusup masuk ke dalam pikir yang aku sendiri tak kuasai.

Bandung, 13 Mei 2019

Seorang siswi, Ralin Zaran (16) ditemukan gantung diri di ruang musik SMA Araswara. Setelah dinyatakan hilang pada Sabtu, 11 Mei 2019, ia ditemukan tak bernyawa. Pihak kepolisian masih mencari motif kematian gadis belia itu. Dugaan sementara, Ralin murni bunuh diri karena di dalam ruang musik hanya terdapat keyboard tidak berpenyangga, juga genangan air dan ruang itu dikunci dari dalam.

Dengan tangan bergetar, Rachel meremas kertas berbahan murah itu. Seluruh siswa heboh dengan kabar yang beredar.

Gadis itu masih terguncang. Di pojok kelas, ia tidak berbaur. Sena menuju bangkunya, cowok itu terlihat sama terpukulnya. “Untung, waktu itu kita enggak jadi masuk,” ucap Sena, mengusap bahu Rachel.

Rachel tidak menanggapi. Suara ketukan di pintu berhasil mendapatkan perhatian seluruh kelas. “Rachel Zui benar menduduki kelas ini?” tanya seorang polisi berseragam lengkap. Perhatian murid-murid langsung tertuju ke pojok kelas, tempat Rachel duduk. Gadis berwajah sembap itu bangkit. Diiringi wajah-wajah yang menatapnya aneh dan mulai mengeluarkan berbagai pendapat.

“Saya,” ucap Rachel, masih menunduk.

Polisi itu mengangguk. “Ikut saya untuk dimintai keterangan.”

Rachel memejamkan matanya, bisik-bisik semakin menjadi. Sena yang mendengar berbagai pendapat buruk itu menatap mereka tajam. “Jangan pernah mikir aneh-aneh tentang Rachel!” ucap Sena tegas, membuat semua murid mengunci mulutnya masing-masing.

Ruangan berwarna cokelat itu tidak tampak horor bagi keduanya. Hanya saja, mereka sedikit kalut. Polisi tadi membuka map berwarna cokelat. “Saya menemukan sidik jari kalian di pintu, sedang apa?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Niatnya cuma mau mengubah nilai, Pak,” jawab Rachel jujur. “Tapi berarti, kalian tahu kejadian tersebut? Kenapa tidak melapor?” cecarnya curiga.

Kepala sekolah menatap dua murid di depannya, mencari celah kebohongan dari ucapan mereka. “Saya kira mereka tidak bersalah, hentikan saja kasusnya. Bilang kepada orang tua murid itu jika anaknya memang murni bunuh diri. Saya tidak mau nama sekolah ini tercemar,” jelas Pak Affandi.

“Enggak bisa begitu dong, Pak!” Rachel berucap tegas. “Saya bersedia dimintai keterangan berapa lama pun, asal kasus ini berada di jalur seharusnya,” sanggah gadis itu.

Lathan menyeringai geli. Benar dugaannya, gadis ini keras kepala. Setelah cekcok beberapa saat, Pak Affandi menyuruh Rachel dan Lathan kembali ke kelas. Dengan kaki dientak, Rachel keluar. Ia kesal karena pendapatnya tidak diterima. Ditatapnya cowok yang namanya belum ia ketahui itu.

“Lo kenapa enggak bantuin gue tadi?” protes Rachel. Lathan menatapnya, tatapan yang Rachel tidak suka karena hanya dengan ditatap seperti itu kepala Rachel rasanya bolong.

“Gue enggak peduli,” ucap Lathan meninggalkan gadis itu.

“Sialan!” desis Rachel tambah kesal. Dia pun berbalik, menuju kelasnya. Tanpa aba, sebuah pikiran melintas, Eh, dia kok, ke gedung kelas XII? Dia kakak tingkat?

Gadis itu bodo amat dengan pikirannya. Suasana kelas sedikit mencekam, tidak ada yang mau bicara dengannya. Kursi di samping kanan gadis itu kosong. Rachel memperhatikan kursi yang dulu ditempati Ralin itu. Rest in Peace, Ralin Zaran, batinnya sungguh-sungguh.

Ketika bel istirahat berbunyi, Rachel langsung diseret Sena dan April ke kantin. Padahal, Rachel tidak membutuhkan asupan apa pun sekarang. Dan, yang membuat Rachel semakin malas, di sudut kantin, dilihatnya cowok berkamera tempo hari, kini tanpa kameranya. Cowok itu sedang berada di meja bersama kakak tingkat yang lain. Rachel tidak peduli, tapi yang mengganggunya adalah tatapan cowok itu yang lagi-lagi membuat kepala Rachel bolong.

Lihat selengkapnya