Cahaya matahari menembus jendela ruang kelas, memantul di permukaan meja-meja kayu yang kusam. Kipas angin di langit-langit yang berputar malas memindahkan udara panas dari satu sudut ke sudut lain. Di luar kampus, suara kendaraan sesekali terdengar. Bercampur teriakan penjual gorengan yang menawarkan dagangannya di bawah pohon akasia.
Zura duduk di barisan kedua dari depan. Wajahnya tampak sedikit muram di naung hijabnya biru mudanya. Kulit wajahnya bersih. Matanya tajam tapi sering tampak redup. Di atas meja, buku catatan sudah terbuka, pulpen di tangan. Ia tidak banyak bicara, memilih mengamati sekitarnya sambil menunggu dosen datang.
Di sudut belakang, sekelompok mahasiswa berceloteh riang. Dina, salah satu gadis paling cerewet di kelas melirik ke arah Zura sambil tersenyum penuh arti.
“Eh, kalian tahu nggak?” tanya Dina kepada Rianti, “Kemarin aku lihat si Bagas, lelaki pujaannya Zura udah tunangan. Cantik banget calon istrinya. Kayaknya sih teman kantornya. Kalau tidak realistis, nanti bisa jadi perawan tua.”
Tawa meledak di antara mereka. Beberapa mahasiswa lain yang duduk di tengah ikut menoleh. Mereka saling berbisik sambil menahan senyum.
Zura menarik napas panjang. Mencoba tersenyum tipis. Seolah kata-kata getir itu tak berarti apa-apa baginya. Namun jari-jemarinya meremas ujung buku catatan. Dadanya sesak, telinganya panas.
Dina mencondongkan tubuhnya ke arah Zura, pura-pura bicara dengan nada bersahabat, padahal matanya memancarkan sinar puas. “Serius lho, Zu. Kamu itu pinter… tapi kalau terus-terusan milih lelaki kelas dewa, nanti bisa jomblo abadi.”
Rianti menutup mulutnya dengan tangan. Pura-pura kaget, tapi tawa kecilnya tak kuasa disensor.
“Stop bully!” pinta Fitri. Satu-satunya teman Zura yang membelanya. “Nggak baik ngurusi orang lain. Lebih baik urusi diri kalian sendiri!”