Rasanya Kinara ingin mencak-mencak meluapkan seluruh kekesalannya. Hari minggu yang biasanya menjadi hari temaram kesayangannya kini seolah berubah menjadi hari terburuk sepanjang sejarah. Mungkin Kinara harus segera menandai kalender hari ini sebagai hari apes khususnya.
Bertahun-tahun tidak bertemu, tadi pagi Kinara justru harus bertemu si menyebalkan Arkasa Ananta dengan tampilan paling memalukan. Padahal kan Kinara ingin sekali seperti gadis-gadis di cerita fiksi yang seolah berhasil membalaskan dendam pada lelaki masa lalu mereka. Tumbuh menjadi gadis cantik nan sukses yang bisa pamer sehingga para lelaki bodoh itu menyesal menyia-nyiakan mereka.
Sayangnya, itu semua tinggal angan-angan saja. Arkasa sudah merusak khayalan sempurnanya itu. Tampilan Kinara tadi pagi menurutnya jelas memberi impresi buruk untuk pertemuan setelah sekian lama—sangat berantakan. Entah bagaimana cara Kinara mempertahankan dagu dan wajahnya tetap tegak sekarang ini.
Tapi masalah belum berakhir, bisa jadi justru memburuk. Belum selesai dengan rasa malunya akibat insiden tadi pagi, Kinara sekarang harus menahan diri untuk tidak berteriak merapalkan nama-nama binatang sekarang. Manusia yang paling ingin dia hindari justru kini berada di daam rumahnya—bahkan duduk berhadapan sangat dekat dengannya.
Bagaimana tidak? Selang hanya dua jam setelah kejadian memalukan pagi tadi, Arkasa justru datang berkunjung bersama ibunya kemari. Ironisnya, seolah telah ditakdirkan, bisa-bisanya kedua orang tua mereka saling kenal dan ternyata merupakan bestie semasa SMA. Sejak kapan sih dunia jadi sempit begini?
Arkasa duduk tepat dihadapannya, mengisi sofa ruang tamu kediaman Kinara. Saling diam dengan Kinara sementara duo mama sedang asik berbincang disebelah mereka. Kinara rasanya mau kabur dari situasi canggung ini, tapi dia masih punya malu. Dia tak mau dianggap ketus atau kurang ramah, makanya dia bertahan sembari memasang senyum pertahanan diri khas miliknya.
Tawa kencang dari dua bocah lelaki di sofa sedikit mengalihkan perhatiannya. Ada adik lelaki Kinara yakni Dikta yang kini menginjak kelas tiga sekolah menengah pertama sedang bermain game bersama Sean. Sean adalah adiknya Arkasa yang baru masuk sekolah menengah pertama tahun ini. Mungkin karena usia kedua bocah laki- laki itu tidak terpaut begitu jauh dan memiliki ketertarikan yang sama terhadap game, makanya mereka jadi cepat akrab.
Sementara orang-orang disebelahnya sibuk dengan dunia dan euforia mereka masing- masing, Kinara dan Arkasa justru duduk berhadapan canggung.
Keduanya? Mungkin sebenarnya yang merasa canggung hanya Kinara. Pasalnya sedari tadi Arkasa justru terlihat santai, sesekali dia menimpali percakapan duo mama sembari makan kudapan yang mama Kinara sajikan. Benar-benar santai seperti sudah di rumah sendiri.
Kinara enggan memulai pembicaraan, lebih-lebih karena Arkasa sedari tadi juga tidak memulai pembicaraan apapun dengannya juga.
Satu yang jelas. Meskipun sama sekali tak bicara, Arkasa secara terang-terangan menatap Kinara dengan jenis tatapan yang sulit diartikan. Jenis tatapan yang membuat Kinara merasa risih sampai-sampai rasanya ingin sekali menggunakan kentang goreng dihadapannya untuk mencolok mata kurang ajar Arkasa.
Tapi Kinara jelas tidak mau tampil bar-bar dan semakin merusak citranya. Maka dari itu dia lebih memilih untuk sesekali menimpali cerita duo mama dan juga lebih sibuk memainkan ponsel pintar di tangannya.
"Kinara sekarang kuliah semester akhir, ya?" Tanya Amira, Ibunda dari Arkasa yang sejak sampai benar-benar ramah.
Kinara mengangguk sopan, "Iya, tante. Kebetulan sudah selesai sidang dan sedang menunggu wisuda," jawabnya.
Tante Amira membulatkan bibirnya sembari melirik sang putra yang masih sibuk mengambil cemilan. "Wah, hebat banget! Berarti kuliah 3,5 tahun, ya? Kamu sama Arkasa kan satu angkatan juga," tambah Tante Amira yang perlahan diangguki Kinara.
Wanita usia lima puluhan awal itu lantas meledek putranya yang nampak cuek, "Tuh! Belajar sama Kinara! Kamu malah santai banget ngurus skripsi sampai mama ikut ditelpon sama Dosen Pembimbing kamu itu!"
Kinara melirik Arkasa diam-diam. Meskipun tidak begitu tertarik dengan topiknya, Kinara hanya ingin melihat respon Arkasa ditegur begitu oleh sang mama di depannya.
Bukannya menjawab, Arkasa hanya menyajikan cengiran khasnya. Kini malah mama Kinara yang berkomentar.
"Nggak apa, jeng! Kan memang normalnya empat tahun. Masih ada cukup waktu lho, asal tetap ada progresnya," bela Dianti.