Ini hari pertama masuk sekolah seusai libur kenaikan kelas. Dipandangnya pantulan diri di cermin. Seragam kedodoran dengan rok span sepanjang lutut.
Rambutnya yang sudah rapi dikepang dua kanan kiri, dengan poni di depannya. Dia membenarkan letak kacamatanya. Perfect!
"Via." Terdengar suara bunda dari bawah. "Buruan abang udah mau jalan itu, nanti kamu ditinggal!" Rutinitas setiap pagi yang selalu dipenuhi teriakan.
Gadis itu mengambil tas punggungnya di atas meja, lalu turun menuju ruang makan. "Pagi Bun, pagi Yah, pagi Bang Hendra," sapanya dengan senyum ceria.
Oktavia, nama yang cantik tapi tak secantik orangnya. Kata mereka, dia ini aneh. Hanya karena penampilannya yang tak mengikuti trend mode masa kini.
Kata mereka dia ini udik, kampungan, norak, hanya karena Via tak bisa bergaul. Bahkan untuk menyesuaikan diri diantara mereka saja dia dibilang tidak pantas.
Yang lebih parah lagi, mereka selalu memanggilnya alien perpus. Jangan tanya alasannya kenapa, kalian pasti tahu.
Apalah arti sebuah nama yang bagus jika nama itu tak pernah disematkan. Yups! seperti Via, tak ada yang tahu namanya, yang mereka tahu dia si alien udik dari ruang perpus.
"Lo udah selesai?" tanya abangnya yang sudah berdiri. Cowok itu sangat modis dengan stelan jeans riped, kaus oblong yang dibalut jaket jeans serta topi yang dipakai terbalik.
Namanya, Hendra Aji Pamungkas. Karena ayahnya dulu penggemar pentolan persija, makanya waktu abang lahir dikasih nama Pamungkas.
Tapi percayalah Via dan abangnya sama sekali tak mirip, bahkan banyak yang tidak percaya kalo Via ini adiknya. Karena Hendra tampan sementara Via ... ah, sudahlah kalian pasti tahu.
"Udah." Via pamit pada bunda dan ayahnya, lalu mereka berdua berangkat bersama.
Kebetulan kampus abangnya tak jauh dari sekolah Via. jadi, setiap pagi dia akan mengantar Via terlebih dahulu.
Saat memasuki kawasan sekolah Dwidarma, segerombolan cewek sudah berjejer di depan gerbang. Mereka bukan temen Via, sama sekali bukan!
Karena mereka berjejer bukan untuk menyambut Via, tapi menyambut bang Hendra.
Lucu ya! Bahkan Via di sini hanya dianggap butiran rinso yang sekali kucek langsung hilang.
Tak peduli dengan teriakan para bucin bang Hendra, Via lebih memilih masuk ke sekolah. Lihatlah para mata yang menatapnya, dengan pandangan yang sulit diartikan.