Not Proscenium

Rima Selvani
Chapter #1

Satu: Tempat bagi seseorang untuk pulang dan pergi.

Ada kalanya seseorang datang, lalu pergi. Ada pula yang pergi lalu kembali. Semuanya hanya tinggal menunggu waktu, untuk menentukan apakah mereka hanya datang untuk pergi atau kembali untuk menetap.

 ***

I love you,” ucap seorang lelaki pada gadis yang kini tidur dipangkuannya. Gadis itu tersenyum, mendengar ucapan yang tak ia sangka-sangka akan keluar dari mulut sang kekasih. Keadaan masih hening, saat perlahan sang lelaki menunduk dan mengecup lembut kening si Gadis.

“Cut!” ucap sutradara. Sutradara itu tersenyum puas, sementara aktris yang tadi dalam posisi tidur di pangkuan lawan mainnya langsung duduk dan senyum lembut yang ia tampilkan saat akting tadi berubah. Wajah yang cerah itu berubah ketus seketika.

Melihat wajah sang aktris yang begitu dingin sang manager mendekat. “Kenapa lagi sih Lona?”

Namanya Amanda Liona, publik dan juga para penggemar mamanggilnya Alona. Aktris cilik yang dari usia sepuluh tahun sudah terjun di dunia akting itu bahkan masih eksis sampai ia berumur dua puluh tiga tahun. Bahkan semakin deawasa gadis itu semakin bersinar dan cantik pula.

“Gue bosan kak, pengen istirahat sebentar. Seminggu aja. Bisakan?” pinta Alona. Sebenarnya sudah dari seminggu yang lalu ia merencanakan untuk rehat sejenak dari aktifitasnya yang sangat padat. Namun, karena ia tak ingin dicap tidak profesional maka Alona sengaja menunggu syuting filmnya kali ini benar-benar selesai.

Alona menunggu jawaban dari Nadia yang merupakan managernya. Setelah mendengar permintaan Alona tadi, Nadia langsung bergegas mendatangi sang sutradara yang duduk tak jauh dari mereka berdiri. Dalam diam, Alona mengamati taman besar yang kali ini menjadi lokasi syutingnya. Para kru yang bertugas terlihat mondar-mandir menyimpan barang-barang produksi.

“Gue udah pastiin sama pak Santoso, dia bilang project kali ini udah bungkus, jadi lo bebas untuk berapa minggu kedepan. Tinggal tunggu kapan keluar jadwal tayang dan premier aja,” jawab Nadia dan jawaban itu langsung membuat wajah suram Alona kembali cerah. Diciumnya pipi Nadia yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri, lalu berlalu pergi menuju tenda semi permanen yang dibuat untuk wardrobe.

***

“Alona....”

Alona baru saja selangkah memasuki ruang wardrobe tapi ia kembali memasang wajah ketus saat suara yang ia kenali menyapa. Gadis itu perlahan tapi pasti berjalan ke kursi samping tempat si pemilik suara duduk.

“Kenapa?” tanyanya, sedikitpun tak ada niat untuk memperbaiki intonasi suara agar lebih manis.

“Gak bisa bicara sedikit lebih manis ke Gue?”

Alona menoleh, menatap si lawan bicara dari wajah hingga ujung kaki, memindai tubuh lawan bicaranya dengan seksama. Sebelah kanan bibirnya terangkat, Alona menyunggingkan senyum meremehkan.

“Apa gunanya gue ngomong manis ke seorang Darren Mckanzie? Lo jadi makin terkenal kalo gue ngomong manis? Enggak kan, tanpa gue ngomong lo juga udah famous.” ujar Alona, sengaja menekankan suaranya pada kata famous.

Darren Mckenzie atau yang dikenal Ken adalah lawan main yang tadi baru saja beradu akting dengan Alona. Aktor blasteran tampan yang memiliki kualitas akting sama bagusnya dengan Alona.

“Lo ada masalah apa sih sama gue?”

“Gue gak punya masalah sama lo, tapi keberadaan lo di sini yang jadi masalah,” ucap Alona. Gadis itu kini sudah sibuk dengan cairan pembersih wajah miliknya. Alona ingin cepat-cepat pulang agar ia tak lagi bertemu dengan wajah memuakkan Darren Mckenzie.

“Capek ya?” Alona berhenti dari aktivitasnya. Ia menatap lurus ke arah cermin dan langsung melihat pantulan dirinya dan Ken yang berdiri di belakangnya. Lelaki itu tersenyum manis, lalu memijit bahu Alona. Alona diam sejenak, masih mencerna arti dari perlakuan manis mendadak yang Ken berikan. Alona menoleh ke arah pintu masuk tenda dan saat itu pula ia sadar alasan dari perlakuan manis Ken saat ini adalah karena kru yang bertugas untuk sesi dokumentasi sedang merekam mereka.

“Dikit.” Alona melirik sekilas ke arah kru yang memegang kamera, setelahnya ia kembali berucap “Makasih ya udah mau mijitin aku.”

Alona mencintai dunia seni peran, tetapi makin lama ia makin merasa jenuh. Bukan karena dunia seni peran membuatnya lelah, tapi karena ia tak lagi memiliki privasi. Semua yang ingin ia lakukan harus selalu melibatkan orang banyak dan terkadang hal itu membuatnya tak bisa membedakan apakah hal yang ia lakukan itu adalah untuk kebahagiannya atau hanya untuk membahagiakan orang lain.

“Udah kelar, sekarang lepas tangan menjijikkan lo itu dari gue.” Sebelum Ken memindahkan tangannya dari pundak Alona, gadis itu sudah terlebih dahulu menepis tangan Ken. Tadi setelah melakukan beberapa tanya jawab bersama kru dokumentasi dan memastikan mereka benar-benar sudah hilang dari pandangan, barulah Alona bernafas lega.

“Segitu bencinya lo sama gue?” tanya Ken, lelaki itu masih berusaha bersikap baik pada Alona. Tapi semua yang ia lakukan sia-sia dan Alona masih saja membencinya. Kata orang sabar itu ada batasnya dan Ken kini sudah berada di ambang batas kesabaran itu.

Lihat selengkapnya