Kisah cinta seperti sebuah investasi, hanya saja dalam kasus ini yang kau berikan bukan uang tapi sebuah perasaan. Dan jika kamu berani memberikan itu, kamu juga harus siap menerima kasih sayang yang berlimpah atau bahkan rasa sakit yang tak ada akhir.
***
"Ken, tunggu!"
Vioni yang sedari tadi mengejar dan memanggil namanya ia abaikan. Saat sampai di depan mobil sport kuning miliknya langkah Ken berhenti. Membuka kunci mobil dan segera masuk kedalamnya. Vioni mengikuti, duduk di samping kursi pengemudi.
"Lo kenapa gak bilang dulu ke gue kalau bakal datang di acara ulang tahun Brian?" tembak Ken langsung. Vioni memberengut kesal, wajah dingin Ken yang diperlihatkan untuknya membuat moodnya hancur seketika.
"Aku pikir kamu udah tau aku juga di undang," balas Vioni.
Ken menyalakan mesin mobilnya lalu menatap wajah kesal Vioni. "Ya mana gue tau, Brian gak ngomong apa-apa," jawab Ken. Kemudian ia mendekat pada Vioni. Membuat jarak mereka hanya terpaut beberapa senti saja. Vioni menahan nafasnya, berada sedekat ini dengan Ken membuat wajahnya memerah dan jantungnya berdebar tak karuan.
"Lo kebiasaan lupa make seatbelt," gumam Ken. Ia kembali ke posisi awal setelah memastikan seatbelt Vioni terpasang dengan benar.
Vioni berusaha kerasa agar bibirnya tidak melengkung ke atas, ia sedang dalam mode kesal pada Ken, jadi lelaki itu tak boleh melihat dirinya sedang tersipu.
"Kalo mau senyum gak usah di tahan."
Kini mobil sport milik Ken sudah melaju membelah kota Jakarta. Entah kemana laki-laki itu akan membawanya Vioni tak mau tau. Baginya mau di bawa ke nereka sekalipun Vioni ikut, asal bersama Ken. She's totally obsessed with him.
***
"Wah, gila ini sih cakep banget!"
Setelah menempuh perjalan sekitar kurang lebih satu jam akhirnya mereka sampai dan langsung di sambut dengan pemandangan yang sangat indah. Alona tak menyesal merelakan dirinya terombang ambing di motor bersama Aska karena rute menuju tebing yang lumayan ekstrim.
Membahas tentang sepeda motor dan rute menuju tebing keraton. Sebenarnya mereka berdua menuju lokasi menggunakan mobil. Namun, karena rute yang tidak memungkinkan mau tak mau mereka harus menyewa salah satu kendaraan tukang ojek yang mangkal di sekitar tanjakan. Awalnya tukang ojek itu menolak untuk menyewakan kendaraannya tapi karena Alona menyodorkan lima lembar uang seratus ribut, pak Tarno-tukang ojek itu- langsung memberikan kunci motornya pada Aska.
Tak hanya sampai disitu, setelah melalui jalan berbatu dan rute yang esktrim keduanya juga harus berjalan kaki sekitar lima menit untuk mencapai tebing. Bayangkan saja bagaimana kerja keras yang Alona keluarkan untuk mencapai tempat itu, jika tidak sebagus ekspetasinya maka Alona jamin ia takkan lagi kembali ke tempat ini.
"Cantik kan?" tanya Alona pada Aska yang sedari diam saja. Aska menoleh pada Alona lalu ia tersenyum singkat. Senyum pertama yang ia tujukan untuk Alona sekaligus senyum pertama pula yang membuat Alona tersipu. Senyum pertama yang membuat Alona lupa kejadian beberapa bulan lalu.
Alona mengeluarkan ponsel pintarnya lalu memotret pemandangan indah yang ada di depannya. Meraka datang tepat waktu, karena saat sampai di atas mereka langsung di sambut dengan fenomena matahari terbenam. Warna orange kemerah-merahan yang besatu padu dengan hutan lebat membuat pemandangan yang kini mereka lihat jadi lebih eksotis.
Alona masih tak berhenti memotret keindahan di depannya sampai-sampai ia sendiri tak sadar jika kini menjadi perhatian Aska. Sunset di depan Aska memang indah, tapi keindahan itu masih kelah dengan senyum merekah yang Alona tampilkan. Apalagi semburat jingga akibat matahari yang mulai runtuh itu kini menerpa wajah Alona membuatnya semakin terlihat sempurna.
Aska mengerjap matanya berkali-kali, sadar jika ia baru saja memuja Alona.
"Belum puas foto-fotonya?" tanya Aska.
Tangan lincah Alona masih tak berhenti memotret, dan karena mendengar pertanyaan Aska ia langsung berhenti.
"Belum," ujar Alona. Ia memberikan ponselnya pada Aska lalu berkata "Fotoin gue ya, please."
Sebelum menerima penolakan dari Aska, Alona sudah lebih memohon dan ia harap Aska cukup tenggang rasa untuk tak menolak keinginannya yang satu ini.
Aska menghebuskan nafas lelah. Kalaupun ia menolak, ujung-ujungnya Alona akan memaksa.
"Yaudah."