Not Proscenium

Rima Selvani
Chapter #4

Empat: Topeng Tak Kasat Mata

Semua manusia, punya sisi diri masing-masing yang tak ingin di ketahui orang lain. Kita semua hanyalah orang asing yang berusaha saling mengenali topeng satu sama lain.

***

Seumur-umur Alona tak pernah merasa sehidup ini. Belum genap sehari ia berada di Bandung pikirannya sudah benar-benar teralihkan dari hiruk pikuk kota kelahirannya, Jakarta. Alona menghirup aroma jahe yang menguar di gelas genggamannya. Menyesapnya perlahan dan lambat laun merasa hangat.

"Kok lo bisa tau di sini ada jual beginian?" tanya Alona, ia menatap Aska yang kini sibuk memainkan ponselnya. Entah gadis cantik mana yang kini sedang Aska tatap, hingga membuatnya acuh dengan gadis cantik sejagat raya di depannya ini.

"Kamu masih butuh jawaban dari saya?" tanya Aska, ia masih tak mengalihkan pandang dari benda kotak kecintaan seluruh umat itu.

Alona mendengus, ditariknya ponsel pintar tuochcreen itu dari genggaman Aska lalu memberikan secangkir bajigur. "Kamu masih nanya saya tau dari mana?" Aska menatap lurus ke arah Alona tanpa ekspresi, ia menerima gelas pemberian Alona lalu menggelengkan kepala pelan.

Alona menjawab pertanyaan sarkas Aska dengan anggukan.

"Selain cantik dan pinter akting ternyata kamu polos juga ya," ujar Aska. Ia menyesap minumannya lalu menyunggingkan senyum kecil. Entah karena menikmati atau karena sifat Alona. "Antara benar-benar lugu atau bego," lanjutnya. Aska sengaja mengecilkan volume suaranya di ujung kalimat, berharap Alona tak mendengar kata terakhir dari kalimatnya.

"Gue denger yang lo bilang!" sentak Alona. Ia memukul punggung Aska dengan keras hingga menimbulkan bunyi nyaring. "Gue emang cantik, tapi gak bego," lanjutnya.

"Cukup jawab pertanyaan gue apa susahnya sih," omel Alona lagi. Aska yang tadi mendapati pukulan keras dari Alona masih sibuk mengusap-ngusap punggungnya yang terasa panas.

Lelaki bertubuh indah itu kesal, selain cerewat Alona ternyata memiliki tenaga yang kuat dan untungnya Aska bukan type lelaki yang suka membalas kekerasan dengan kekerasan. "Tempat ini adalah tempat wisata," Aska menjawab Alona dengan sesekali mengertakkan gigi, menahan kekesalannya. "Tempat ini dingin, jadi rasanya gak masuk akal kalo gak ada yang jualan minuman atau makanan sejenis ini," lanjutnya.

Aska kembali menyesap minuman yang sudah mulai dingin sampai tandas. Meletakkan gelas kosong itu ke meja dengan sedikit kuat. Alona yang melihat pergerakan Aska langsung meletakkan minumannya yang masih sisa setengah gelas dan mengejar Aska.

"Lo mau kemana?"

Pertanyaan Alona membuat tungkai panjang Aska berhenti melangkah. "Saya mau balik ke hotel," jawab Aska cuek. Ia bahkan tak peduli ponsel pintar kepunyaannya masih ada pada Alona.

"Dan lo mau ninggalin gue sendirian?" tanya Alona lagi. Aska bergerak maju, menatap tudung hoodie yang masih setia menutupi kepala bertopi baseball Alona.

"Alona..." ujar Aska dengan nada rendah. Ini kali pertama Alona mendengar Aska menyebut namanya dan ini kali pertama pula gadis itu merasakan desiran yang berbeda di dirinya hanya karena mendengar seorang lelaki menyebut namanya. Alona memerah, ia salah tingkah sendiri karena satu kata dari Aska.

"Saya bukan laki-laki yang suka lepas dari tanggung jawab. Saya pergi kesini bersama kamu dan kembali juga harus dengamu."

Bola mata Alona meliar. Ia sama sekali tak berani menatap ke arah Aska, bahkan hanya melihat sepatu putih lelaki itu saja ia tak mampu. Kalimat Aska terdengar sangat tulus dan Alona merasa tersihir.

"Ta-tapi lo ninggalin gue," ujar Alona terbata, ia sudah berusaha menghilangkan kegugupannya tapi ia masih saja terlihat seperti gadis bodoh.

"Saya gak ninggalin kamu. Saya tau kamu jalan di belakang saya, makanya saya jalan pelan supaya langkah kecil kamu itu sanggup ngejar saya."

"Yaudah, kalo gitu biar gue yang jalan duluan!" Alona langsung mendahului Aska dan akhirnya senyum kecil terbit di bibirnya setelah susah payah ia tahan.

Jaga image Lona, desis Alona dalam hati.

***

"Lo ngapain lagi sama dia?"

Vioni mendegus, menyesap sampanye yang lima belas menit lalu ia pesan. Vioni melirik Brian dari sela gelas bening minumannya, ia tersenyum samar melihat wajah Brian yang kusut.

"Lo kenapa? cemburu gue sama Ken?" tanya Vioni, ia menyeringai melihat Brian yang salah tingkah mendengar pertanyaannya. Lelaki dengan potongan rambut undercut  berwarna coklat terang itu menyisir rambutnya dengan jari.

"Lo gak terlalu manjain Ken ya?" tanya Brian lagi. Ia sama sekali tak menjawab pertanyaan Vioni karena menurutnya hal itu sama sekali tak penting untuk dijawab.

Vioni mengangguk, merapikan jaket kulit milik Ken yang tadi sengaja ia pinjam. "Gue gak sempat ngapa-ngapain sama dia," ujar Vioni acuh. Ia kembali menyesap minumannya, merasakan minuman beralkhohol itu mengaliri tenggorokan.

Tanpa sadar Brian tersenyum, ia menghela nafas lega. "Kalau bukan karena lo mungkin gue gak bakal balik ke tempat sialan ini!" maki Vioni yang langsung di jawab dengan tawa renyah Brian.

Lihat selengkapnya