Saat terlibat pada hal yang dinamakan patah hati, ada dua hal yang terjadi. Pertama, berakhir dengan membenci. Kedua, memanipulasi diri jika yang pergi akan segera kembali.
***
Lelaki berotot dengan lengan yang penuh dengan tato itu menatap ponselnya lekat, beberapa saat yang lalu ia baru saja mencoba menghubungi Alona. Wanita yang selalu bersikap buruk padanya itu berhasil mengusik ketentramannya. Baru saja sejam yang lalu ia mendarat, dan kini ia harus kembali mencari keberadaan Alona. Ken merindukan gadisnya dan harus segera ia temukan
“Apa benar di sini tempatnya?” gumam Ken sambil melirik jam Rolex-nya. Ini sudah kesekian kali ia menelfon Alona, berharap gadis itu khilaf dan tak sengaja menerima panggilannya.
Harus segera bertemu dengannya, pikirnya. Ia melenggeng masuk ke lobi hotel dan disaat yang sama langsung terlihat sosok Alona yang baru saja keluar dari dalam lift.
Ken mengangkat sebelah tangannya lalu tersenyum sangat lebar, ia begegas berjalan mendekati Alona tanpa takut di tolak sama sekali.
“Alona!”
Pandangan keduanya bersirobok, kemudian Alona lebih dulu memalingkan pandangannya, berpura-pura tak mendengar panggilan Ken lalu bergegas pergi menjauahi. Ken beranjak, melebarkan langkahnya agar bisa lebih mudah menjaungkau Alona.
“Lo mau kemana?” ujarnya saat pergelangan tangan gadisnya berhasil ia gapai.
Alona gelagapan, melirik kanan kiri sebelum gantian menyeret Ken untuk ikut. Tempat kini mereka berdiri terlalu ramai dan gadis bersurai coklat panjang terurai itu tak ingin keberadaannya dan Ken diketahui media.
Ken menyeringai, menatap genggaman tangan Alona yang begitu erat. Ia tersenyum singkat sebelum akhirnya senyuman itu dihancurkan dengan kalimat ketus yang keluar dari bibir ranum Alona.
“Ngapain lo di sini?” Alona mendengus melihat wajah menyebalkan Ken. Lelaki itu menggeleng, membuat anting yang melekat di telinganya ikut bergoyang seirama dengan pergerakan kepalanya.
“Mau nyusulin lo,” jawab Ken acuh.
“Buat apa?” pelipis Alona mengerut bingung.
“Karena merindukan gadis ketus ini.”
Alona tertegun, bahkan mendengar kalimat picisan seperti ini saja ia masih berdebar. “Lo lagi ngerayu gue?” tanyanya, ia berusaha sekeras mungkin untuk tak terlihat terganggu sama sekali dengan kalimat yang Ken lontarkan.
Terbit senyuman dari pihak lawan, membuat gigi kelinci kecil miliknya terlihat. Tak ada lagi aura mengintimidasi, yang ada hanya sosok Ken yang polos dan menggemaskan. Sosok lain dari lelaki itu yang sempat menjadi salah satu sisi yang Alona sukai.
“Ngerayu? Lo ngerasa sedang dirayu?”
Pada situasi seperti ini tak seharusnya Alona hanya diam dan merasa terintimidasi. Ia harusnya memberikan perlawanan yang setimpal agar tak dianggap sebagai gadis lemah yang mudah sekali dipermainkan. Cukup sekali Ken mempermainkannya, Alona tak ingin ada yang kedua kali.
“Ikut gue,” sentak Alona. Ia kembali menarik tangan Ken memasuki lift tempatnya tadi keluar kemudian menuntunnya bersama-sama memasuki kamar nomor enam. Pupus sudah kegiatan sarapannya pagi ini. Ralat. Sarapan yang terlambat.
“Sekarang, terus terang sama gue. Lo ngapain ke sini?” tanya Alona langsung. Padahal pintu kamarnya baru saja ditutup dan ia tak ingin membuang waktu berlama-lama dengan makhluk yang paling ia benci di dunia ini.
“Bukannya gak sopan kalau gak mempersilahkan tamu untuk duduk terlebih dahulu?” Ken tanpa permisi menjelajahi kamar vvip hotel ini, kemudian duduk di sofa empuk pilihannya. Alona sang pemilik kamar hanya diam, mengikuti pergerakan lelaki menyebalkan di depannya.
“Lo tamu gak diundang!” sentak Alona, namun meski berkata seperti itu ia tetap saja berjalan ke kulkas kecil yang disediakan hotel lalu mengambil sebotol minuman kaleng.
“Thanks,” ucap Ken singkat saat Alona secara tiba-tiba melempar minuman kaleng ke arahnya. Untungnya saraf reflek Ken bekerja gesit jadi lelaki itu bisa menangkapnya dengan baik.
“Gue mau ngomong,” gumam Ken kemudian meletakkan minuma kaleng yang sudah ia minum isinya.
Alona menoleh, kemudian ikut duduk di sofa depan.