Jika di posisinya, mungkin kamu akan melarikan diri. Berusaha sebaik mungkin melupakan. Atau boleh jadi, kamu memilah topeng baru, berpura-pura baik-baik saja tanpanya.
***
Suara deruan mesin mobil itu baru saja berakhir. Keduanya telah sampai ditujuan dengan selamat. Kata Vioni tempat ini adalah neraka dan Brian sukses mengantar gadis itu ke nerakanya.
“Mau gue antar sama ke dalam?” tawar Brian. Vioni menatap jengkel ke arahnya tapi tak melarang Brian untuk tak mengikutinya melangkah masuk ke rumah. Brian sudah terlalu sering datang ke sini sama seperti Ken. Seluk beluk rumah ini sudah ia kuasai seperti dia lah pemilik rumah sesungguhnya.
Bunyi sepatu heels yang berbenturan dengan lantai marmer menggema, diikuti suara sepatu pentofel milik Brian. Keduanya sama-sama berjalan tanpa bicara sama sekali.
“Vioni, kamu baru pulang?”
Sapaan ramah itu Vioni abaikan, lelaki yang sedari tadi setia mengikuti dari belakang yang justru berhenti. Brian menyalami wanita paruh baya yang terlihat awet muda itu.
“Maaf ya tante, Brian yang bawa Vioni sampe pulang selarut ini,” ujar Brian.
Diana tersenyum maklum pada Brian, melihat ke arah Vioni yang kini sudah menapaki tangga ke lantai dua. “Iya gak pa-pa Bri, tante juga tau hari ini kamu ulang tahun kan? Tante juga mau minta maaf karena Alona gak bisa hadir ke pesta kamu.”
Seulas senyum terbit dari bibir Brian. Hidung mancung dan mata monolide nya membuat lelaki itu terlihat tampan saat tersenyum. Diana- ibu kandung Alona sekaligus ibu sambung Vioni- sangat baik, tak seharusnya Vioni bersikap buruk padanya.
“It’s oke tante.”
“Kamu mau nyusulin Vioni ke atas?” tanya Diana lagi.
Brian menoleh ke tangga menuju lantai dua, di sana sudah tak lagi terlihat gadis berambut panjang itu. “Enggak deh tan, Brian langsung balik aja.”
Setelah berpamitan Brian langsung melangkah ke luar. Memasuki mobil dan sejenak terdiam, melihat ke arah sebuah kamar dilantai dua yang lampunya masih menyala.
“Goodnight princess,” ujar Brian lembut.
Ia tau, Vioni takkan mendengar seruannya, tapi setidaknya setiap malam selalu ada yang mengucapkan selamat tidur untuk gadisnya.
***
Setelah mengawali hari dengan beberapa perdebatan, akhirnya Alona bisa sedikit merasa tenang. Tenang dalam artian yang sebenarnya. Seharian ia berdiam diri dikamarnya, membiarkan lamunan membawanya kesaat-saat bahagia hingga saat tersakit untuknya. Semoga saja apa yang ia lakukan hari ini mampu membuatnya sadar jika apa yang terjadi memang harus direlakan.
“You’re the one, Alona,” bisik Ken lembut membuat bulu kuduk Alona merinding mendengarnya.
Bahkan mengingat kenangan manis mereka masih memancing senyum terbit dari bibir Alona. Ia tersenyum tanpa sadar, tapi setetes air mata juga ikut setelahnya. Jari lentik itu menyeka air mata yang turun, kemudian merambat ke leher dan perlahan mengeluarkan sebuah kalung berliontin matahari pemberian Ken.
“Kenapa matahari?” tanya Alona saat menatap kalung berliontin matahari yang kini Ken perlihatkan padanya.
“Karena itu kamu dan aku adalah bunga matahari. Aku akan jadi bunga matahari yang akan selalu menatap ke arah matahari.”
Ken mendekat kemudian mengalungkan tanganya ke leher Alona dan kalung itu sukses tersemat di leher jenjang gadis cantik yang kini pipinya bersemu merah itu.
“I love you,” bisiknya, kemudian Alona berbalik badan. Keduanya saling menatap dan berakhir dengan sebuah ciuman manis yang tak menuntut sama sekali.
“Mau sampai kapan saya kamu tahan di sini?”
Lamunan Alona dari kenangan bersama Ken langsung buyar. Ia lupa jika ada satu makhluk menyebalkan bersamanya.
“Sampai gue minta lo buat balik ke kamar,” jawab Alona.
Aska kini menenteng dua bilah gelas berisi teh hangat, membawanya ke tempat Alona duduk kemudian meletakkan di meja depan mereka. Kini keduanya duduk berhadapan.
Aska diam saja, ia lebih memilih menyesap teh hangat yang baru saja ia seduh. Sesekali melempar lirikan pada tas kecil berisi sepatu yang tadi ia bawa. Lelaki itu ragu, apakah harus memberikannya sekarang, di saat yang tidak tepat seperti ini.