Dari terakhir kali kita bertemu, aku pikir debar itu takkan lagi kembali. Tapi, ia ada bahkan pada seseorang yang bukan kamu pula.
Dareen Mckenzie
Saat membuka mata, hal yang pertama Alona lihat adalah pemandangan wajah tertidur Ken yang terlihat seperti bayi. Senyumnya terulas saat melihat wajah tidur Ken yang tenang. Mengikuti kata hatinya, kini tangan Alona sudah menjelajahi bagian wajah Ken, mulai dari matanya yang tertutup, hidung mancungnya dan berakhir di bibir yang semalam baru saja ia rasakan.
Alona menoleh ke kanan, melihat jam di nakas samping tempat tidur mereka yang kini menampilkan pukul sepuluh pagi. Satu jama lagi menuju waktu janjiannya bersama Aska. Jika menuruti keinginan hatinya, mungkin Alona tak akan bangkit dari tempat tidur, tapi ini menyangkut harga diri, dan Alona tak ingin luluh begitu saja hanya karena apapun yang ia lakukan dengan Ken semalam.
“Lo mau kemana?”
Baru saja Alona ingin bangkit dari tempat tidur, suara serak khas bangun tidur milik Ken menyapa. Gadis itu dengan cepat menyingkap selimut yang menutupi tubuh mereka berdua. Dapat ia lihat dengan kedua matanya, Ken kini tidur menyamping dan bertelanjang dada.
“Mau balik,” jawab Alona singkat. Ia baru merasakan pening. Entah berapa banyak alkohol yang semalam ia minum yang jelas kini ia merasakan kepalanya sakit dan badannya sedikit kaku.
“Gak mau lanjutin kegiatan semalam?”
Ken ikutan bangkit, ia memindai tubuh Alona yang hanya menggunakan tanktop dan hotpens. Gadis itu berkedip-kedip berusaha mengingat hal apa saja yang ia lakukan bersama Ken semalam. Memori terakhir yang Alona ingat hanya saat keduanya berciuman di bar.
Alona diam saja, ia lebih memilih memungut pakaiannya yang bertebaran di lantai kamar hotel tempatnya berada. Memakai hoodie oversize hitam miliknya dan kemudian menatap tajam sekilas ke arah Ken yang kini tersenyum.
“Apapun yang gue lakuin sama lo semalam, anggap itu gak pernah terjadi,” ujar Alona. Ia menghela napas. Sudah terlalu sering melarikan diri, dan karena semalam ia dalam kondisi mabuk jadi apapun yang ia lakukan tak akan berarti apa-apa. Kesadaran Alona ada di tingkat terendah saat itu.
“Kenapa? Padahal lo yang mulai,” sindir Ken.
Alona tersenyum aneh, “Lo lupa, orang mabuk itu gak pernah sadar sama apa yang dia buat?”
Tawa Ken meledak saat itu juga. Ia berdiri, tubuh kekarnya yang berotot kini sudah terpampang jelas di depan mata Alona. Lelaki yang kini hanya memakai boxer berwarna merah dengan gambar ironman itu berjalan mendekati Alona.
“Lo gak tau, orang mabuk itu selalu melakukan apa yang dia ingin. Orang mabuk selalu jujur sama perasaannya. Dan tingkah lo semalam, jadi bukti kalau lo masih sangat menginginkan gue.”
Alona melangkah percaya diri menghampiri Ken yang berjarak tak jauh dari tempatnya. Niatnya ingin segera pergi dari tempat ini luntur begitu saja. “Dan lo tau, gue bisa have a sex tanpa pake perasaan sama sekali.” Alona membelai lembut pipi Ken, menatap mata lelaki itu tanpa takut sama sekali.
1 detik.... 2 detik.... 3 detik....
Alona menarik tengkuk Ken mendekat, kini jarak bibir mereka hanya terpaut satu ruas jari. Kelakuan Alona membuat pompa jantung Ken meningkat, lelaki yang sudah biasa melakukan skinship itu bahkan mengerjap beberapa kali untuk meredakan kegugupannya. Ken memang laki-laki brengsek, tapi Alona adalah lawan yang cukup tangguh.
“Jadi Ken, gak usah terlalu berharap gue bisa turn on sama lo,” bisik Alona, ada senyum kecil terbit seusai ia menyelesaikan kalimatnya.
Ken kehabisan kata.
Alona pergi begitu saja.
***
“Vioni!!!”
Suara teriakan yang menggema itu membuat Vioni harus bekerja ekstra mencari sumber suara di antara lautan manusia yang ada di bandara. Setelah kemarin susah payah mencari keberadaan Ken akhirnya Vioni mendapatkan info terkini keberadaan pujaan hatinya itu. Bukan dari manager ataupun orang terdekat Ken, melainkan info itu ia dapatkan dari akun-akun fanbase milik Ken.
Vioni mendengus melihat Brian yang dari kejauhan berlari ke arahnya. Tanpa memperdulikan lelaki berwajah tampan itu, ia kembali melangkah cepat untuk segera memasuki pesawat.
“Kenapa si Yan? Gue buru-buru,” ujar Vioni saat Brian berhasil menangkap pergelangan tangannya. Lelaki itu masih mengatur napasnya karena terlalu sesak mengejar Vioni.
“Lo mau pergi kenapa gak bilang gue?” protes Brian. Ia sebagai sahabat gadis itu sama sekali merasa tak dianggap. Padahal, Brian selalu memprioritaskan Vioni untuk apapun yang ia lakukan.